Sebelum mobil Fabian berhenti sempurna, Kinan sudah lebih dulu melepas sabuk pengaman dan menoleh ke jalanan. Dan saat berhenti, Kinan bergegas membuka pintu untuk turun. Sayangnya, sebelum dia berhasil melakukan apa yang diinginkan, Fabian sudah lebih dulu mencekal pergelangan tangannya.
“Kenapa?” tanya Kinan sambil memutar kepalanya.
Laki-laki itu terdiam. Fabian hanya memandangi wajah Kinan. Bukan hanya perasaan, Fabian yakin ada yang salah dengan kekasihnya itu. Seperginya dari toko kosmetik, Kinan menjadi lebih banyak diam. Dia juga tampak tidak bersemangat saat menonton film yang dibintangi Nindy Malayka, selebriti kesayangannya. Fabian ajak ke tempat lain pun, Kinan menolak dengan dalih mengantuk. Padahal, sejak kapan perempuan itu suka tidur siang?
“Kamu kenapa?” Fabian balik melemparkan pertanyaan. “Aku perhatiin dari tadi kamu enggak kayak biasanya. Kamu lebih banyak diemnya. Kamu sakit?”
Dengan sedikit memaksa, Kinan berhasil menarik kembali pergelangan tangannya. Kemudian, dia menggeleng sembari berujar, “Enggak, kok. Aku cuma ngantuk, dari tadi aku udah bilang sama kamu.”
“Aku rasa tidur kamu tadi udah cukup banget, deh, Ki. Dan kamu bukan orang yang biasa tidur siang. Weekend begini juga kamu biasanya main sama aku sampai malem, 'kan?” Fabian ikut melepas sabuk pengaman, ia memosisikan tubuhnya untuk menghadap Kinan. “Kalau aku ada salah, kamu bicara langsung aja. Aku enggak bakal tahu di mana letak kesalahan aku kalau kamu diem kayak gini.”
“Aku enggak apa-apa, kok. Aku cuma ngantuk, enggak ada apa-apa. Mending sekarang kamu pulang. Gak enak kalau kelamaan parkir di pinggir jalan.” Setelah mengatakan itu, Kinan benar-benar keluar dari mobil.
Fabian membuang napas panjang. Dia memang perlu banyak bersabar jika Kinan sudah ngambek. Tidak langsung pulang—seperti yang dikatakan Kinan—Fabian justru memarkirkan mobilnya di lapangan samping rumah Kinan. Dia bergegas keluar dan kembali menghampiri Kinan.
“Ki, aku minta maaf. Apa pun kesalahan aku, aku benar-benar minta maaf.”
Tangan Kinan—yang sedang membuka gembok gerbang—langsung terhenti. Dia kembali menegakkan kepalanya dan mematung. Dari bayangan kaca jendela, Kinan bisa tahu Fabian tengah menatapnya lekat-lekat, penuh putus asa.
Aku gak tahu itu salah kamu atau bukan, Yan. Aku gak tahu kamu memang harus minta maaf atau enggak. Tapi, melihat kebisuan kamu tadi, itu membuat aku kecewa. Kenapa kamu enggak bilang kalau kamu cuma teman sama Aya? Kenapa kamu diem aja?
Jika biasanya Kinan bisa dengan mudah mengutarakan semua perasaannya, kali ini dia hanya bisa berteriak dalam hati. Dia ingin marah, tapi entah siapa yang patut dia marahi. Fabian, Valya, atau perempuan yang mengira mereka kembali bersama?
Perlahan, Kinan memutar tubuhnya. Dia tersenyum tipis sambil merenggangkan kedua tangannya. “Sini, peluk aku.”
“Kamu maafin aku, 'kan?”
“Peluk dulu.”
Layaknya anak kecil, Fabian menurut-menurut saja. Dia memeluk tubuh Kinan lumayan erat. Tangannya mengusap rambut pendek perempuan itu. “Kamu jangan suka diemin aku tiba-tiba gini, dong, Ki. Aku bingung harus gimana kalau kamu enggak ngomong apa-apa. Aku juga enggak akan bisa pulang kalau kamu masih ngambek.”
“Makanya, jangan nyebelin jadi orang!” Tanpa ampun, Kinan memukul punggung Fabian.
“Apa salah—” Baru Fabian hendak menarik diri, Kinan malah mengeratkan pelukannya sehingga tubuh mereka bertabrakan. “Apa salah aku sampai bikin kamu kayak gini? Kasih tahu, dong, supaya aku bisa instrospeksi.”
“Kamu nyebelin karena kamu enggak bisa nemuin lipstik yang aku mau. Terus, tadi kamu juga salah beli minuman. Aku itu enggak suka soda, Yan. Lupa, ya? Terus, kenapa kamu malah beli popcorn asin? Kan, dulu aku selalu pesen popcorn yang manis. Kamu itu baru 26 tahun, masa udah mulai pikun, sih?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Dilemma [Tamat]
RomansCinta bisa datang karena terbiasa, beberapa orang setuju akan hal itu. Cinta juga bisa menyelinap diam-diam dalam interaksi dua insan yang kata orang 'tidak seharusnya mereka jatuh cinta'. Sejatinya, cinta adalah perasaan suci yang membawa perdamaia...