Dilemma 36

442 61 4
                                        

Baru saja Kinan selesai mengunci pintu rumahnya, dia sudah sangat siap untuk berangkat bekerja. Namun, rupanya Kinan harus datang terlambat hari ini. Hanya 2 meter dari tempatnya berdiri, ada Fabian dan juga kakaknya. Tatapan mereka sangat berbeda. Fabian dengan penuh kekecewaan, sedangkan Dinda penuh harap. Dan Kinan hanya bisa berusaha memasang wajah senormal mungkin di depan mereka.

“Bisa kita bicara?” tanya Fabian, memecah keheningan di antara mereka. “Aku tahu, kamu harus kerja sekarang. Tapi, aku juga enggak yakin pulang kerja nanti kamu bakal pulang ke sini setelah tahu aku datang.”

Kinan melirik jam tangannya. “Nanti aja, ya, Yan? Aku bisa terlambat kalau—”

“Aku maunya sekarang,” potong Fabian. “Aku mau tahu kenapa kamu hilang selama seminggu ini, gak jenguk aku, gak kasih aku kabar. Aku mau tahu alasan kamu menjauh dari aku, Ki. Sekarang.”

Terdengar helaan napas panjang dari bibir Kinan. Dia menatap Fabian dan Dinda secara bergantian, lalu kembali membuka pintu rumah dan mempersilakan mereka masuk. Ia mengatur meja supaya kursi roda Fabian bisa masuk. Setelah selesai, barulah dia duduk di seberang meja, menghadap Fabian. Sedangkan Dinda lebih memilih untuk menunggu di mobil supaya mereka leluasa menyelesaikan masalah.

“Sekarang, kasih tahu aku. Kenapa kamu gak jenguk aku lagi setelah hari itu? Kenapa kemarin kamu gak datang ke rumah sakit padahal tahu aku pulang? Kenapa kamu gak bales chat aku, gak angkat telepon aku?” Begitu tinggal berdua, Fabian langsung menyerang Kinan dengan pertanyaan.

“Aku sibuk, Yan,” jawab Kinan dengan penuh percaya diri. “Hotel lagi rame-ramenya. Aku langsung istirahat pas pulang. Jadi, gak sempet periksa HP.”

Kening Fabian lantas berkerut mendengar jawaban Kinan. “Sibuk, Ki? Kamu sesibuk itu sampai gak ada waktu buat tanya kabar pacar kamu yang lagi di rumah sakit? Kamu gak peduli lagi sama aku?”

“Tanpa ditanya pun aku udah tahu jawabannya, kok. Jelas kamu bakal baik-baik aja, karena ada Aya yang rawat kamu. Pasti dia yang kasih kamu makan, bantu ganti baju, bahkan bisa aja dia juga yang lap badan kamu. Iya, 'kan?”

Lipatan di kening Fabian semakin menjadi. Dia menatap kekasihnya dengan mata yang memicing. Jelas, ada kecewa. Lebih dari itu, Fabian bingung dan heran. Ia menuntut penjelasan sikap menjauh Kinan selama berhari-hari ini, tetapi nama Valya ikut terseret. Dan melihat adanya emosi di wajah Kinan, Fabian bisa menarik satu kesimpulan.

“Kamu cemburu?”

Mata Kinan sempat membola, lalu dia mengalihkan pandangannya dari Fabian. “Buat apa aku cemburu?”

Fabian membuang napas panjang. “Baik, aku akui, emang Aya yang selama ini rawat aku di rumah sakit. Kalau bukan dia, siapa lagi? Ayah gak bisa, Kak Dinda kerja, dan kamu ....” Fabian menjeda kalimatnya. Tidak sedetik pun pandangannya beralih dari Kinan. “Kamu malah menjauh tanpa alasan yang jelas.”

Kini, Kinan menjadikan Fabian pusat atensinya lagi. Dia membagi bibirnya dan menatap Fabian lekat. “Oke, kita perjelas aja semuanya, Yan.” Kinan menarik napas dalam-dalam, sampai paru-parunya penuh. Kemudian, dia memgembuskannya perlahan. Setelah tenang, baru dia berkata, “Aku mau putus.”

“Pu-putus?” tanya Fabian, memastikan dia tidak salah dengar. “Kamu mau ... putus?”

“Iya, aku mau putus,” ulang Kinan.

“Tapi, kenapa? Kenapa kamu tiba-tiba mau putus? Perasaan, waktu terakhir kita ketemu, kita baik-baik aja.” Di tengah keterbatasan geraknya, Fabian berusaha mencapai tangan Kinan dan menggenggamnya erat. “Ki, kalau aku ada salah, omongin baik-baik. Biar aku bisa introspeksi, biar kamu juga lega. Gak kayak gini.”

Dilemma [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang