Begitu mendengar ketukan pintu, Valya bergegas keluar kamar. Senyum merekah Valya perlahan luntur saat mendapati bukanlah Bu Astika yang datang, melainkan Fabian. Dia langsung tersenyum kikuk. Valya baru ingat Kinan mengundang Fabian untuk sarapan di rumahnya.
“Lo nginep di sini?” tanya Fabian. Bukan hanya Valya, dia juga cukup terkejut bertemu di teras rumah Kinan begini.
“Iya. Tante Astika enggak pulang, jadi gue temenin Kinan di sini,” jelas Valya. Dia membuka pintu lebih lebar lagi, memberi jalan pada Fabian untuk masuk. “Masuk, Yan. Gue bangunin Kinan dulu.”
“Kalau dia belum bangun, biar gue aja yang bangunin. Gue lihat lo juga lagi nyapu.” Fabian melirik sapu yang berdiri bersandar ke tembok. Ia segera beranjak menuju kamar Kinan setelah mendapatkan izin dari sahabatnya. Dan ternyata benar, kekasihnya itu pasti terbaring di atas kasur. “Kinan, bangun. Hey, udah siang.”
Kinan menggeliat lalu bergerak memunggungi Fabian. “Bentar lagi, Ya. Gue masih ngantuk.”
Bukannya kesal, Fabian justru tersenyum melihat tingkah Kinan itu. Dia memilih untuk mengedarkan pandangan ke sekeliling. Kamar Kinan tidak banyak berubah dengan terakhir kali Fabian datang ke sini—saat mereka duduk di bangku kelas 12. Catnya masih pink pastel, temboknya masih dihias dengan lampu kecil, dan masih ada poster Nindy Malayka di dekat jendela. Hanya deretan tas sekolah yang kini berganti dengan tas tangan untuk bekerja.
Laki-laki itu bergerak mendekati wall grid yang ada di atas kepala ranjang. Ternyata, Kinan masih menyimpan foto kebersamaan mereka saat zaman SMA. Di sana, Kinan berdiri di tengah sambil menggandeng bahu Fabian dan Valya. Karena tinggi mereka yang lumayan jauh, Fabian sampai harus menunduk untuk mengikuti kemauan Kinan. Masa-masa itu memang yang paling indah.
“Udah bangun?”
Suara Valya membuat Fabian menoleh. Dia menggelengkan kepala. “Biasa, lah, nawar tidur lima menit lagi.”
Valya tersenyum. Memang, itu adalah karakter Kinan jika sudah dibangunkan. Dia langsung melangkah mendekati ranjang dan mengguncang tubuh sahabatnya itu. “Ki, bangun. Udah siang tahu, rejeki lo udah dicuri sama ayam tetangga, tuh.” Valya menggaruk lehernya. Usahanya tidak membuahkan hasil. Namun, dia patut kembali mencoba. “Ki, ada Fabian. Dia ke sini buat tagih janji lo yang semalam. Lo mau kasih makanan favorit dia pagi ini, 'kan?”
Bagaikan sihir, Kinan langsung membuka matanya. Dia berbalik, tersenyum pada Valya dan Fabian yang sudah terlihat rapi. “Ini bangun, kok. Nih, mata gue melek. Sekarang gue juga duduk.” Meski malas, Kinan tetap mendudukkan tubuhnya. Dia melirik Fabian sambil mengucek matanya. “Kok, enggak telepon dulu, sih?”
“Aku udah coba telepon. Tapi, nomor kamu enggak aktif,” jawab Fabian.
“Kan, bisa telepon ke Aya.”
Refleks Fabian melirik Valya yang ada di sampingnya. “Aku ... enggak punya nomor Aya.”
“Lho? Nomor Valya enggak ganti, kok. Masih sama dari yang dulu.” Napas Kinan tertahan. Dia menutup mulutnya dengan tangan kanan untuk menambah kesan dramatis. Lalu, dia melirik Valya yang masih diam. “Parah, sih, Ya. Masa dia hapus nomor lo? Wah, emang ini anak udah niat enggak kasih kabar ke kita pas keluar SMA.” Sekarang, Kinan sudah berdiri dan berkacak pinggang menghadap Fabian. “Enaknya kita apain ini cowok? Kalau lo jadiin manusia guling, enak gak?”
“Kalau dagingnya jadi topping pasta kayaknya enak, Ki,” timpal Valya sambil melayangkan tatapan tajam pada Fabian.
Alarm tanda bahaya dalam dirinya berbunyi. Dengan cepat Fabian mengangkat tangan dan beringsut mundur untuk menghindari serangan dari dua perempuan di hadapannya. “Ki, kamu tahu kalau HP aku dulu hilang, 'kan?” Fabian berusaha bernegoisasi. Lalu, dia melirik Valya sambil tersenyum penuh permohonan. “Gue juga udah kasih tahu lo, deh, Ya. Coba inget-inget lagi.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Dilemma [Tamat]
Lãng mạnCinta bisa datang karena terbiasa, beberapa orang setuju akan hal itu. Cinta juga bisa menyelinap diam-diam dalam interaksi dua insan yang kata orang 'tidak seharusnya mereka jatuh cinta'. Sejatinya, cinta adalah perasaan suci yang membawa perdamaia...