“Gue ke pantry dulu sebentar, ya. Agak sumpek, butuh kafein,” ucap Kinan sambil menutup telepon yang baru saja dia terima.
“Iya, Mbak,” jawab Ratih sambil mengangguk sopan.
Dengan cepat Kinan keluar dari meja resepsionis. Ia bertukar sapa dengan maid yang lewat. Wajah murungnya berubah semringah saat mendapati Fabian ada di sana. Pasti laki-laki itu sedang memeriksa lift yang rusak. Tidak jadi masuk pantry, Kinan lebih memilih untuk berdiri beberapa meter dari Fabian sambil bersandar ke tembok.
“Muatan maksimum lift delapan ratus kilogram, atau sekitar sepuluh sampai dua belas orang. Tapi, tadi pagi alarmnya bunyi, padahal hanya diisi enam orang, Pak,” jelas seorang karyawan dari bagian BSF—Building System Functions.
“Tapi yang lain aman-aman aja, 'kan? Cuma alarm yang ini?”
Laki-laki itu mengangguk. “Aman, Pak. Tadi pagi sudah kami tes, dan semuanya baik-baik aja. Cuma alarm yang di sini yang rusak.”
Fabian mengangguk mantap. “Baiklah kalau begitu, nanti akan saya sampaikan ke Mas Dinar. Sepertinya, sensitivitas alarm di sini emang udah rusak.” Dia mengedarkan pandangan. Matanya langsung bertemu dengan sepasang netra Kinan yang sedari tadi memperhatikannya. “Ada kerusakan yang lain tidak?”
“AC yang di lobi ada yang bocor, Pak. Padahal baru minggu lalu dibersihkan.”
Saat Fabian menyimak penjelasan bawahannya, seseorang datang menghampiri Kinan. Perempuan itu lantas tersentak, tetapi tetap berusaha untuk tersenyum ramah pada houseman yang tiba-tiba berdiri di hadapannya. Dia menegakkan tubuhnya dan menatap laki-laki itu. Mata Kinan langsung tertuju pada tanda pengenal di seragamnya. Sumantri, nama laki-laki itu Sumantri.
“Kinan, ya?” tanya Sumantri sambil tersenyum kaku.
“Ya, saya Kinan. Ada yang bisa saya bantu?” Meski kesal karena kegiatannya terganggu, Kinan tetap harus menjaga profesionalisme saat di hotel. Terlebih, Sumantri ini sesama karyawan The Bloem.
Sumantri mengulurkan sebuah keresek ke hadapan Kinan. “Ini, makan siang buat kamu. Nasi gorengnya buatan saya sendiri. Di sana juga ada jus mangga. Katanya, jus mangga baik untuk daya tahan tubuh sama kesehatan jantung.”
Sungguh, Kinan ingin marah saat laki-laki bernama Sumantri itu menarik tangannya paksa untuk menyerahkan keresek hitam itu. Dia ingin berteriak, tetapi harus sadar tempat.
“Maaf, kalau saya boleh tahu, atas dasar apa kamu kasih saya makan siang? Kalau saya enggak salah ingat, sebelumnya kita belum pernah berinteraksi dengan intens,” kata Kinan.
Ditanya demikian, tentu saja Sumantri gelagapan. Alasannya? Karena dia suka Kinan. Namun, lidahnya terlalu kaku untuk mengucapkan kalimat pengakuan itu. Dia hanya bisa berkata, “Enggak apa-apa, saya mau kasih aja sama kamu. Soalnya, kamu baik. Kalau begitu, saya permisi.” Dia mengangguk sopan, lalu memutar tubuhnya untuk kembali ke belakang.
Namun, Kinan tidak akan membiarkan Sumantri lolos begitu saja. Kinan bergegas melangkah dan menghalau jalan laki-laki itu. “Saya tahu, saya orang yang baik. Tapi, saya bukan orang naif yang bisa menerima kebaikan orang lain begitu saja. Saya perlu alasan dan penjelasan untuk makanan yang kamu kasih ini.”
“Gak ada alasan lain, kok. Cuma mau kasih aja.”
“Yang bicara sama Akang itu ada di depan, bukan di bawah,” sindir Kinan. Dia gemas karena Sumantri terus saja menundukkan kepala.
Perlahan tapi pasti, laki-laki berkulit sawo matang itu mengangkat pandangannya. Tiga detik pertama masih bisa dia tahan, dia masih bisa menikmati keindahan mata Kinan. Namun, itu tidak bertahan lama. Sumantri lebih memilih untuk membuang muka. Rasa panas langsung menjalar di permukaan wajahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dilemma [Tamat]
RomanceCinta bisa datang karena terbiasa, beberapa orang setuju akan hal itu. Cinta juga bisa menyelinap diam-diam dalam interaksi dua insan yang kata orang 'tidak seharusnya mereka jatuh cinta'. Sejatinya, cinta adalah perasaan suci yang membawa perdamaia...