Dilemma 26

347 51 2
                                        

“Sore, Om,” sapa Tristan pada laki-laki paruh baya yang sedang membaca koran di teras rumah Valya. Wah, ini pasti calon ayah mertua gue, nih.

Tristan mengangguk sopan sambil tersenyum. Sebisa mungkin dia tidak melakukan kesalahan. Karena yang dipertaruhkan saat ini adalah masa depan hubungannya dengan Valya.

“Sore,” jawab Pak Hamdan—ayah Valya—sembari menurunkan korannya. Beliau memerhatikan anak muda yang ada di hadapannya dari ujung kepala sampai ujung kaki. “Siapa, ya?”

Sekoyong-koyong Tristan membuka sepatu dan menginjak teras rumah Valya untuk menyalami Pak Hamdan. “Saya Tristan, Om, teman dekat Neng Val.”

Sontak saja kening Pak Hamdan berkerut. Beliau yakin tidak pernah bertemu dengan Tristan ini, tetapi anak itu sudah mengklaim dirinya sebagai teman dekat Valya. “Setahu saya, teman dekat Aya itu cuma Kinan. Dia enggak pernah bilang punya teman dekat yang namanya Tis ... Tis apa tadi?”

“Tristan, Om,” koreksi Tristan, masih dengan senyum yang tercetak di wajahnya. Dia harus super hati-hati, meski kumis tebal ayah Valya cukup membuatnya gugup. “Baru dekat dua bulan ini, sih, Om. Terus, kita juga enggak sempat ketemu karena Om selalu di luar kota. Tapi, kalau ketemu sama tante udah pernah, kok.”

Pak Hamdan mengangguk, tidak sedetik pun matanya lepas dari Tristan.

Laki-laki itu rapi, Pak Hamdan akui. Rambut tersisir ke belakang, wajah bersih tanpa minyak, kemeja biru yang jauh dari kata kusut, celana jins panjang longgar, serta wangi hutan yang tercium dari tubuh tegapnya. Namun, rasanya ada yang lain dari laki-laki ini yang perlu beliau pastikan.

“Yakin cuma teman? Bukan pacar anak saya?”

“Baru calon, Om. Mohon doanya, semoga lancar sampai pelaminan,” ucap Tristan sambil mengusap lehernya.

Pak Hamdan mencebikkan bibirnya. Dia sudah dengar itu dari sang istri. Ada laki-laki tampan yang memperkenalkan diri sebagai calon pacar putri sulung mereka. “Emang kamu punya apa sampai berani ngomong gitu sama saya? Valya itu bukan perempuan yang mudah didapatkan laki-laki, lho. Anak saya cantik, cerdas, pintar masak, bussiness woman, taat ibadah. Kamu gimana?”

“Saya juga ganteng, Om. IQ saya 129, EQ saya 110. Saya bisa benerin mobil, pintu rusak, sama atap bocor. Saya calon pengacara top Indonesia. Religius, bertanggung jawab, kerja keras, itu motto hidup saya,” jawab Tristan dengan penuh percaya diri. “Gimana, Om? Udah bisa disebut calon mantu idaman, 'kan?”

Tanpa ragu, Pak Hamdan mengangguk, mengiyakan pertanyaan Tristan. Namun, ada hal yang lebih penting dari poin-poin yang disebutkan anak muda itu. “Valya mau sama kamu?”

Yang ini berhasil membuat Tristan terdiam seketika. Dia hanya nyengir kuda sambil menggaruk kepala bagian belakang. Dan Tristan sangat bersyukur dengan kedatangan Valya saat itu juga.

“Lho, udah sampai? Kenapa enggak chat gue?” tanya Valya sambil meletakkan kopi hitam ayahnya di atas meja. “Bentar, gue bawa tas dulu. Habis ini kita langsung jalan.”

“Emang, Kakak mau ke mana?” sewot Pak Hamdan sambil menatap putrinya yang sudah rapi. Sepertinya mereka memang berencana keluar. “Kemarin Kakak protes sama ayah karena sibuk kerja mulu. Giliran ayah udah ada di rumah, Kakak malah mau pergi. Terus, enggak bilang apa-apa dulu sama ayah lagi. Main pergi-pergi aja.”

“Tadi pagi aku udah bilang mau keluar, lho, Yah. Dan Ayah juga udah kasih izin. Masa lupa?”

Pak Hamdan mengambil kopinya terlebih dahulu. Menyeruput nikmat sambil terus memerhatikan Tristan. Ini kali pertama Valya undang laki-laki ke rumah, pasti ada apa-apa di antara mereka. Dan sebagai orang tua, saya gak bisa biarkan mereka pergi begitu saja. Setelah selesai, barulah beliau menjawab, “Ayah pikir keluar sama Kinanti, makanya langsung dikasih izin. Kalau tahu sama laki-laki, gak akan semudah itu, lah. Udah, jangan ke mana-mana. Diem aja di rumah.”

Valya menggeleng, sama sekali tidak menyangka ayahnya akan berkata seperti itu di depan Tristan. “Yah, orangnya udah jemput aku, lho.”

“Ya udah, tinggal ajak ke dalam saja.”

Wajah kecewa Tristan langsung berubah semringah mendengar ucapan ayah Valya. Dia langsung melirik wanita pujaannya dan mengangguk mantap, setuju dengan ide 'calon ayah mertua'. Mendekati keluarga Valya bisa menjadi jalan alternatif 'kalau' ada kemungkinan ditolak. Karena Tristan ingat betul pesan yang pernah ibunya katakan saat lebaran tahun lalu.

“Kalau suka sama perempuan, dekati bapak ibunya. Anaknya gak mau, orang tuanya pasti bantu merayu.”

Sambil terus melangkah, Tristan celingak-celinguk memerhatikan setiap detail rumah Valya. Keluarga hangat yang penuh kasih sayang, sepertinya memang itu tema untuk rumah mereka. Dinding dipenuhi foto, piala penghargaan dipajang dengan susunan rapi, sampai kertas bergambar sebuah keluarga yang Tristan yakini hasil tangan anak kecil.

“Wih, ada pacarnya Kak Aya, nih!” tutur Yuda dengan senyum penuh arti. Dia mengalihkan perhatiannya dari layar TV—menampilkan video game sepak bola—untuk menyambut kedatangan Tristan. “Selamat datang di rumah kami, Kak. Aku Yuda, adiknya Kak Aya.”

Tentu saja Tristan langsung menjabat tangan Yuda. Dia senang sekali disambut baik oleh adiknya Valya itu. “Tristan, calon anggota baru di rumah ini,” jawabnya sambil menaik-turunkan alis. Lalu, dia melirik layar televisi. “Wih, suka MU?” tanya Tristan sambil menunjuk layar televisi.

“Iya, dong. Kakak suka juga?” Yuda balik bertanya dengan mata yang berbinar.

“Liverpool, dong.” Dengan bangganya, Tristan menyebut klub sepak bola kesukaannya. “Kayaknya, kali-kali kita harus main PS bareng, deh.”

“Harus, Kak. Gue enggak akan kasih kendor pokoknya!”

Bersamaan dengan perbincangan heboh itu, datang Bu Rini yang baru keluar dari kamar. “Lho, enggak jadi pergi, Kak?” Beliau tersenyum senang saat Valya menggeleng lesu. “Ya udah, pacarannya di rumah aja. Lebih hemat, lebih sehat, lebih praktis. Lagian, mumpung ada ayah juga. Jadi, Nak Tristan bisa kenalan sama calon mertuanya.”

“Tante makin cantik aja, nih,” gurau Tristan sambil menyalami Bu Rini. Dia terkekeh ketika mendapat cubitan ringan dari perempuan paruh baya itu. “Tadi saya udah ketemu sama om di depan, udah kenalan juga. Cuma, kayaknya saya numpang makan malam di sini, deh, Tan. Enggak dikasih izin pergi soalnya.”

“Gak apa-apa, makan malam di sini aja. Lebih enak juga makanan rumah, apalagi kalau Valya yang masak. Kalau ada Nak Tristan, pasti meja makan tante jadi makin ramai.”

Dengan lesu, Valya menyimpan nampan hitam di tangannya ke atas meja. Sebenarnya, dia ingin pergi bukan karena tidak mau makan malam bersama keluarga, tetapi karena ingin menonton film horor Indonesia yang baru saja rilis. Namun, apa mau dikata? Ayahnya tak memberi izin.

Sebagai gantinya, Valya kini melihat pemandangan yang tak biasa di rumahnya. Setelah magrib, ayahnya lebih senang membaca koran sambil ditemani kopi di teras rumah. Adiknya lebih senang main PS sendirian. Dan sang ibu senang melakukan perawatan di kamar. Namun, kali ini mereka semua berkumpul di ruang keluarga sambil berbincang dan tertawa. Bahkan, Tristan juga mampu membuat ayah Valya berani bermain PS melawannya.

Ajaib! Dalam waktu sekejap, Tristan bisa membaur dengan keluarga Valya seakan-akan dia sudah resmi menjadi anggota baru di rumah ini.

*
*
*

Ada pendukung Tristan di sini?

Bini Ceye,
19.00, 08 Desember 2021.

00, 08 Desember 2021

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Dilemma [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang