Dilemma 38

424 52 1
                                    

Valya tergugu seketika. Pandangannya yang penuh kecewa kini berganti kosong. Sama sekali tidak ada pembelaan yang bisa dia katakan pada Kinan. Karena semua yang dikatakan sahabatnya itu benar. Valya adalah kandidat terkuat yang akan mengorbankan kebahagiaannya untuk Kinan. Jika—hanya jika—Valya sangat mencintai Fabian, ia pasti akan melepaskan laki-laki itu jika Kinan juga mencintainya.

Namun, tidak begitu kenyataannya. Bukan seperti itu.

Ya, Valya akan mengakui, dia terlalu berlebihan untuk memerhatikan, mengkhawatirkan, dan merawat Fabian selama ini. Ia mengaku salah. Namun, Valya sama sekali tidak ada niatan untuk menyakiti Kinan, sekali pun pemikiran itu tidak pernah ada di kepalanya. Semua itu Valya lakukan untuk membayar rasa bersalahnya di masa lalu, untuk menuntaskan luka yang tidak diketahui oleh orang lain. Termasuk Kinan.

“Namanya Galih,” ucap Valya setelah terdiam lumayan lama. “Sahabat gue waktu SMP.”

Kinan tidak mengerti ke mana Valya kan membawa perdebatan mereka ini. Namun, ia akan setia mendengar pembicaraan sahabatnya itu. Kinan ikut mendaratkan bokong di atas sofa dan menatap Valya.

“Dia adalah sahabat pertama gue. Kita selalu bareng setiap hari. Di sekolah, di rumah, atau di luar, gue selalu sama dia. Dia selalu jaga gue sebagai sahabat sekaligus seorang cewek. Banyak yang salah paham sama kedekatan kita, tapi hubungan kita adalah sahabat. Sampai akhirnya dia harus pergi.”

Wajah ceria anak laki-laki Galih itu berputar di kepala Valya. Laki-laki bertubuh kecil dan bermata sipit yang selalu memakai topi terbalik membuat Valya kembali diseret ke masa lalu. Namun, senyum ceria anak itu berganti dengan ingatan tragedi berdarah yang membuat Valya jatuh ke titik terendah.

“Hari itu, harusnya kita ketemu di Festival Gedung Sate. Harusnya, kita seneng-seneng sampai malam di sana. Tapi, gue malah harus lihat pemandangan Galih yang tertabrak dan berlumuran darah di jalan. Gue juga harus lihat dia yang tersenyum buat terakhir kalinya, sebelum akhirnya dia mengembuskan napas terakhir di pelukan gue. Gue gak bisa berpikir, gue cuma bisa menjerit dan menangis hari itu.”

Mendapati Valya mulai berubah gelisah dan mulai menangis, Kinan langsung bangkit untuk memeluk sahabatnya. Jika selama ini selalu Valya yang memberikan ketenangan pada Kinan, sekarang Kinan yang harus melakukan hal itu.

“Gue gak bisa bantu dia, Ki. Gue malah nangis dan jerit-jerit kayak orang bego. Bukannya melarikan dia ke rumah sakit, gue malah terus peluk dia di sana. Seandainya gue bisa berpikir lebih rasional, pasti semuanya enggak akan kayak gini. Galih pasti masih hidup, masih sama gue. Gue emang bego!”

“Enggak, Ya, lo sama sekali gak bego. Apa yang terjadi hari itu bukan kesalahan lo.” Kinan semakin mempererat pelukannya. “Lo gak bego. Lo masih terlalu kecil, wajar kalau lo enggak bisa kendalikan situasi hari itu.”

“Tapi, gue ... gara-gara gue ... Galih meninggal, Ki.”

Kinan menggeleng kuat, tidak membenarkan ucapan Valya. “Bukan gara-gara lo, Ya. Hari itu adalah waktunya untuk dia pulang. Kematian sepenuhnya kuasa Allah, kita gak bisa ganggu gugat keputusan-Nya.” Tangan Kinan terulur untuk mengusap rambut panjang Valya. Dia sama sekali tidak tahu jika sahabatnya itu menyimpan luka dalam sendirian. “Berhenti salahin diri sendiri. Itu semua bukan salah lo. Lo sendiri yang selalu bilang, apa pun yang terjadi sama kita, itu adalah skenario terbaik dari Allah. Lo harus percaya sama semua itu, Ya.”

Pelukan itu terlepas, Kinan langsung berjalan menuju dapur dan kembali sambil membawa air hangat. Dengan penuh hati-hati ia membantu Valya minum. Dia juga menghapus jejak air mata di pipi Valya. Lalu, mereka saling menatap dengan begitu dalam.

“Gue minta maaf,” ucap Valya setelah merasa lebih tenang. “Kecelakaan Fabian mengingatkan gue sama kejadian itu. Gue gak berpikir panjang, gak mikirin perasaan lo, gak mau tahu sikap gue bisa bikin lo salah paham. Gue cuma fokus rawat Fabian untuk menuntaskan rasa bersalah gue sama Galih.” Valya menggenggam tangan Kinan erat. “Tapi, percaya sama gue, Ki. Gue sama sekali enggak ada perasaan apa-apa sama Fabian. Gue cuma—”

“Iya, gue paham. Semua ini enggak sepenuhnya salah lo, salah gue juga yang langsung menyimpulkan semuanya tanpa nanya sama lo.” Kinan balik menggenggam erat tangan Valya. Dia menatap sahabatnya tu penuh kesungguh-sungguhan. “Gue minta maaf, Ya. Gue minta maaf karena udah nuduh lo yang enggak-enggak. Maaf karena gue selalu meragukan kesetiaan lo.”

Valya melepaskan genggaman tangan mereka dengan sekali hentakan. “Selalu? Ini bukan kali pertama lo ragu?” Ia langsung menyilangkan tangan di depan dada. “Jadi, kapan lo ragu sama gue?”

Kinan langsung tertunduk, menghindari tatapan penuh selidik dari Valya. “Selain kejadian di mal, gue pernah ragu sama lo karena kejadian di festival. Waktu kalian sibuk cari gue, gue lihat interaksi lo sama Fabian. Ngelihat cara dia perhatian sama lo, bikin gue takut kalau sebenarnya kalian masih ada rasa.”

Terdengar decakan keras dari Valya. “Bukan gue yang bego, lo juga ternyata.”

“Heh! Siapa aja yang lihat interaksi kalian, pasti salah sangka, lah! Bukan gue doang!” sewot Kinan, tidak terima disebut bodoh oleh Valya. “Lagian, sih, kalian enggak ada penjelasan apa-apa juga sama gue. Gimana gue enggak mikir yang enggak-enggak?”

“Pembelaan lo gak masuk akal!”

Bibir Kinan langsung maju. Dia mendelik. “Tapi, ada ketakutan gue yang lebih besar dari itu, Ya. Gue takut, gue menyakiti lo selama ini. Gue takut, lo merasa sakit karena hubungan gue sama Fabian dalam momen tertentu. Gue takut lo merelakan sekaligus menahan luka atas hubungan gue sama Fabian.”

“Kinan Danisha, harus berapa kali kita bahas ini sampai lo bener-bener paham? Gue udah enggak ada rasa apa-apa sama Fabian, jadi gue gak akan terluka sama hubungan kalian. Yang ada gue seneng, karena yang pacaran sama lo itu Fabian. Kalau cowok lain, udah pasti dia angkat tangan sama lo, beda sama Fabian yang selalu sabar. Dan gue percaya, dia yang bisa bikin lo bahagia.” Valya mengusap bahu Kinan. Ia tersenyum, lalu berucap, “percaya sama gue, ya? Fabian di mata gue cuma temen. Dia adalah pacar lo, bukan mantan pacar gue.”

Kinan mengangguk, lalu dia memeluk Valya erat.

Beginilah mereka, mudah saling marah, tetapi tidak sulit juga menemukan jalan tengah untuk kembali berdamai. Kinan memang kekanakan, tetapi dia juga bisa menjadi dewasa untuk persahabatan mereka. Valya itu cuek, tetapi bisa sangat peduli pada sahabatnya. Mereka sama-sama menyadari, akan aneh jika hidup tanpa kehadiran satu sama lain. Terlalu mulus, kurang menantang.

“Sekarang, gue harus jelasin semuanya sama Tristan. Gue gak bisa kehilangan dia begitu aja,” gumam Valya tiba-tiba.

“Apa lo bilang?” sahut Kinan sambil melepas pelukan mereka. Dia menatap Valya penuh selidik. “Lo gak bisa kehilangan Tristan?”

Valya mengangguk kecil. Tidak ada keraguan sama sekali dalam dirinya.

“Lo?!” Kinan langsung menjerit. Dia melotot tak percaya, tetapi juga tersenyum penuh bahagia. Dia mengatur tubuh Valya supaya menghadap padanya. “Sejak kapan? Udah resmi? Kalau belum mau kapan diresmiin? Dia tahu perasaan lo? Terus, kapan mau kasih penjelasan ke dia? Perlu bantuan gue, gak?”

Valya tersenyum lebar. Dia geleng-geleng kepala tanpa menjawab satu pun pertanyaan Kinan. Dia malah menghubungi seseorang dari ponselnya, menunggu untuk beberapa saat, lalu tersenyum semringah saat panggilannya diangkat.

“Bisa kita ketemu di kafe? Ada yang perlu gue jelaskan sama lo. Juga ... ada sebuah pengakuan yang harus lo dengar.”

*
*
*

Jadi, udah lurus ya. Valya gak ada niat apa-apa. Dia baik, kok.

Bini Ceye,
19.00, 24 Desember 2021.

00, 24 Desember 2021

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Dilemma [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang