Dilemma 25

330 48 3
                                    

Keesokan harinya, Kinan bekerja seperti biasa. Untung saja, Dinda masih menyimpan baju kerjanya yang berukuran kecil, sehingga Kinan tidak perlu datang ke rumah. Dia berusaha bersikap profesional pada semua tamu. Tetap tersenyum ramah meski sudut bibirnya berdenyut nyeri, tetap banyak bicara untuk membuat para tamu merasa disambut hangat olehnya. Berulang kali Ratih menanyakan keadaannya, Kinan selalu menjawab bahwa dia baik-baik saja.

Hingga jam pulang datang, Kinan tidak bisa lagi menghindar dari mamanya. Tidak mungkin dia kembali ke rumah Fabian. Meski tidak membuat repot, Kinan tetap merasa tidak enak. Dia juga belum siap menceritakan apa yang terjadi pada Valya. Jadilah dia di sini, di depan ruang keluarga sambil menatap Sura yang sedang menonton televisi.

“Kakak udah pulang?” tanya Sura sambil menatap Kinan polos. Lalu, dia bangkit dari duduknya untuk menghampiri Kinan. Tanpa permisi, ia meraih tangan Kinan dan menciumnya. “Mama lagi di dapur,” lanjut anak itu sambil menunjuk dapur.

Tanpa sadar, Kinan sudah mendengkus pelan. Bukan hanya mengurus Sura secara sukarela, mamanya meminta Sura memanggil beliau dengan cara yang sama dengan Kinan.

“Sana, nonton lagi,” ucap Kinan dengan dingin. Lalu, dia melipir menuju kamarnya.

Semua ini terlalu tiba-tiba. Papanya datang di saat Kinan berbunga-bunga dengan perlakuan Fabian. Beliau datang bukan untuk Kinan, tetapi untuk anak itu. Beliau datang bukan untuk membayar semua rindu Kinan selama tujuh tahun ini, tetapi untuk menitipkan Sura, yang tak lain adalah hasil perselingkuhannya.

“Dan tadi kamu bilang apa? Kalian udah punya anak? Hebat sekali!”

Luka Kinan saat itu semakin menganga saat tahu papanya memiliki anak lain. Selama delapan belas tahun Kinan menjadi anak tunggal yang diguyuri kasih sayang melimpah, harus menerima kenyataan memiliki adik hasil hubungan terlarang.

“Sudah pulang?” tanya Bu Astika yang baru masuk ke kamar Kinan. Pandangan beliau tertuju pada luka di sudut bibir Kinan, hasil perbuatannya. Perasaan bersalah langsung menyelimuti hatinya. “Mama minta maaf atas kejadian kemarin, Ki. Mama benar-benar sudah lepas kendali sampai menampar kamu. Mama menyesal. Mama juga minta maaf atas semua perlakuan mama sama kamu selama ini.”

Jantung Kinan terasa diremas. Selama ini, dia selalu diperlakukan dingin oleh mamanya, tetapi tidak pernah sampai bermain fisik. Dan sekarang, mamanya itu sedang meminta maaf. “Udah, Ma. Semuanya udah terjadi juga,” jawab Kinan, seadanya. “Aku mau mandi dulu.”

“Ki,” panggil Bu Astika sebelum Kinan masuk ke kamar mandi. “Mama minta, kamu jangan bersikap dingin pada Sura. Dia masih kecil. Dia sama sekali tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dia tidak bersalah, dia juga korban. Bukannya dulu kamu pernah mau punya adik? Sekarang, Allah kirim Sura.”

“Mama minta aku enggak bersikap dingin sama anak itu sementara Mama selalu memperlakukan aku demikian selama tujuh tahun ini? Mama bilang, dia masih kecil, tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi? Aku gimana, Ma? Waktu itu aku baru delapan belas tahun. Keluarga yang selalu aku syukuri, hancur dalam sekejap. Aku bukan cuma kehilangan papa, tapi Mama juga.”

Bu Astika maju dan meraih tangan Kinan. Beliau memegang tangan putrinya itu erat-erat dan menatap netra Kinan dengan penuh penyesalan. “Mama benar-benar minta maaf, Sayang.”

Sayang? Aku lupa kapan terakhir kali Mama panggil aku kayak gitu.

“Selama ini, mama terlalu fokus dengan rasa sakit mama sampai lupa bahwa kamu juga tersakiti. Mama terlalu egois, sampai lupa bahwa kamu sangat membutuhkan kasih sayang mama. Mama benar-benar minta maaf.” Setiap kalimat yang keluar dari bibir Bu Astika, begitu penuh penyesalan. Beliau bersungguh-sungguh meminta maaf pada Kinan. “Mama janji, mulai sekarang, semuanya akan baik-baik saja. Mama akan memperhatikan kamu, menyayangi kamu, dan bersikap layaknya seorang ibu.”

Dilemma [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang