Dengan napas terengah-engah, Kinan memencet bel berulang kali. Dia berjinjit, berharap ada seseorang yang keluar dari salah satu rumah di Jalan Vihara. Sekali lagi, Kinan memencet bel. Dia langsung tersenyum lebar saat seseorang datang dan membuka gerbang untuknya.
“Kinan?”
“Hai, Kak Dinda,” sapa Kinan pada orang itu.
Dinda celingak-celinguk, mencari seseorang yang datang dengan kekasih adiknya itu. “Kamu ke sini sama siapa? Terus, kenapa napasnya ngos-ngosan begitu?”
“Aku naik ojol. Tapi, tadi mogok di tengah jalan, makanya aku lari ke sini.” Walaupun napasnya masih sangat berantakan, Kinan tetap melempar senyum pada Dinda. Apalagi saat dia bertanya, “Aku boleh masuk, 'kan, Kak?”
“Astaga!” Dinda langsung menepuk keningnya. “Maaf, maaf, kakak lupa. Ayo, masuk.”
Akhirnya, Kinan melangkah memasuki rumah itu. Dia mengedarkan pandangan, berusaha mencari sosok Fabian. Namun, rupanya laki-laki itu tidak ada di ruang tengah. Secara refleks perhatian Kinan kini tertuju pada pintu kamar Fabian.
“Kamu mau minum apa?” tanya Dinda begitu mereka sudah di dalam.
“Gak perlu repot, Kak. Aku bisa ambil minum sendiri, kok. Barangkali Kak Dinda lagi istirahat, silakan dilanjut. Aku mau langsung ketemu sama Fabian aja.”
Tatapan Dinda kian melembut saat mendengar penuturan Kinan. Seperti dugaannya, ucapan Valya lebih bisa masuk dibandingkan Fabian. Dinda juga bisa bernapas lega karena kesedihan adiknya akan segera berakhir dengan kedatangan Kinan ini. Ia sangat senang hubungan mereka akhirnya bisa diperbaiki.
“Fabian ada di kamarnya,” cetus Dinda.
“Aku izin masuk, ya, Kak,” pamit Kinan sembari melangkah. Dia mengetuk pintu beberapa kali, lalu membuka kenopnya. “Hai.”
Fabian langsung menegakkan duduknya. “Kinan?”
“Boleh aku masuk?”
Tanpa pikir panjang, Fabian langsung mengangguk. “Boleh.”
Kinan melangkah masuk kamar Fabian setelah menutup kembali pintu. Dia duduk di ujung ranjang, tepat di samping laki-laki itu. Lalu, Kinan mengusap wajah Fabian penuh sayang. “Maaf, aku baru bisa datang sekarang.”
Tangan Fabian terangkat untuk mencapai tangan Kinan. Ia menggenggamnya erat. “Kedatangan kamu ke sini bukan buat minta pisah lagi sama aku, 'kan, Ki? Kamu datang ke sini buat tarik semua kata-kata kamu tadi pagi, 'kan? Kamu masih mau mempertahankan hubungan kita, 'kan?”
Sudut bibir Kinan terangkat saat bertukar pandang dengan Fabian. Perasaan bersalah bersarang di dadanya. Betapa bodohnya Kinan karena sempat berpikir untuk melepaskan laki-laki ini. Padahal dia sendiri sadar betul, tidak bisa hidup tanpa Fabian. Tidak bisa jika laki-laki yang ada di sampingnya bukan Fabian.
Perempuan itu menggeleng. “Aku datang ke sini bukan minta pisah, Yan. Aku datang ke sini buat memperbaiki hubungan kita, buat tarik semua kata-kata aku sama kamu.” Tatapan Kinan kian mendalam pada Fabian. “Aku mau kita tetep lanjut. Dan aku minta maaf atas semua kesalahan aku tadi pagi.”
Saat itu juga, Fabian langsung menarik Kinan ke dalam pelukannya. “Makasih banyak, Ki. Makasih karena kamu udah dateng ke sini dan kasih tahu aku kalau kamu berubah pikiran. Aku sayang sama kamu.”
“Aku juga sayang kamu, Yan. Aku benar-benar minta maaf, ya, aku udah nyakitin kamu. Maaf karena aku gak bisa di samping kamu selama ini. Maaf karena aku terlalu pecundang untuk memperjuangkan kita. Maaf karena aku sempat ragu sama kamu, sama Aya.”

KAMU SEDANG MEMBACA
Dilemma [Tamat]
RomanceCinta bisa datang karena terbiasa, beberapa orang setuju akan hal itu. Cinta juga bisa menyelinap diam-diam dalam interaksi dua insan yang kata orang 'tidak seharusnya mereka jatuh cinta'. Sejatinya, cinta adalah perasaan suci yang membawa perdamaia...