Valya mendaratkan bokongnya di salah satu kursi kafe. Dia melirik cangkir red eye yang tinggal setengah. Berpindah ke kotak kue putih, Valya ingat hari ini adalah ulang tahun Bu Astika, mama Kinan. Matanya bergerak melirik sahabatnya, langsung terpusat pada pipi Kinan yang tampak merah.
“Pipi lo kenapa?” tanya Valya sambil sedikit menyentuh permukaan pipi sahabatnya.
Sontak saja Kinan mendesis saat perih kembali terasa. “Jangan disentuh, Ya. Masih perih banget.” Ia bergerak mundur, menghindari sentuhan Valya. “Tadi pagi ada banteng ngamuk di hotel. Ibu-ibu minta lihat daftar tamu. Gue enggak salah apa-apa, malah ditabok juga. Mana kenceng banget lagi, kuping gue sampai budek gitu. Nih, sampai sekarang masih merah juga. Gue pasti jelek, ya?”
“Emang kapan lo cantik?”
“Kampret!” dengkus Kinan menatap Valya malas.
Lalu, dia menarik napas dalam-dalam, memuaskan rongga parunya dengan pasokan oksigen. Kemudian, mengembuskan perlahan. Kinan berharap itu bisa membuat perasaannya menjadi lebih baik, ternyata tidak berhasil.
“Gue udah bilang sama mama, mau ngerayain ulang tahunnya malam ini. Rencananya, mau ajak lo sama Fabian juga. Eh, dia lebih pilih pergi sama temen-temennya.”
Tidak ada jawaban yang terucap dari bibir Valya. Di saat seperti ini, yang Kinan butuhkan hanya pendengar. Valya akan selalu bersedia menjadi pendengar semua cerita Kinan, baik yang suka maupun duka.
“Terus, mama juga bilang kalau gue itu kekanakan, gak dewasa di umur gue yang sekarang. Apa hubungannya, coba? Emang salah kalau anak mau rayain ulang tahun mamanya? Lagian, gue juga enggak undang badut, gak dekor rumah pakai balon, atau pecahin telur di kepala mama. Cuma makan bareng apa susahnya, sih?”
Tidak. Sama sekali tidak ada yang salah dengan keinginan Kinan itu. Valya tahu pasti bagaimana susahnya Kinan untuk membuat waktu bersama dengan mamanya. Mereka tinggal satu atap, tetapi seperti orang asing.
“Coba kalau papa gue enggak pergi, Ya. Pasti semuanya enggak akan kayak gini,” ucap Kinan dengan lirih.
Masih terpatri dengan sangat jelas kejadian 7 tahun silam. Di mana Kinan yang masih remaja, yang baru bisa mempersiapkan diri untuk menghadapi Ujian Nasional, harus dihadapkan dengan kenyataan bahwa papanya mendua. Senyum ceria saat ia mengucapkan salam luntur saat mendapati mamanya menangis di ruang tamu.
***
“Mama kenapa?” tanya Kinan sambil bergegas duduk di samping mamanya. Dia tak kunjung menerima jawaban, membuat Kinan akhirnya melirik papanya yang duduk membisu. “Pa, Mama kenapa?” Sekali lagi, Kinan bersuara.
“Kamu pilih Mama atau papa?” Bukannya memberikan jawaban, papa Kinan justru melayangkan pertanyaan. “Papa enggak bisa lagi tinggal sama Mama, papa harus pergi dari rumah ini. Dan sekarang papa tanya kamu, kamu mau tinggal dengan siapa?”
Jantung Kinan terasa diremas hingga berganti berdetak untuk beberapa saat. Dia menatap papanya tidak percaya. “Apa maksud Papa? Kenapa Papa enggak bisa tinggal di sini lagi? Kenapa kita harus hidup terpisah?” Kinan tersenyum getir, berusaha menampik pikiran buruk di kepalanya. “Pa, Papa sendiri yang selalu bilang sama aku untuk bisa lebih dewasa dan aku harus bisa menyelesaikan masalah dengan kepala dingin. Aku enggak tahu apa yang bikin Mama sama Papa ribut, tapi pasti ada jalan keluarnya, 'kan?”
“Ya, semuanya memang pasti ada jalan keluarnya. Semuanya pasti bisa dibicarakan baik-baik. Tapi tidak dengan perselingkuhan!” teriak Bu Astika tiba-tiba. “Papa kamu selingkuh, Kinan! Dia punya perempuan lain!”
Dunia Kinan runtuh seketika. Dia memang masih remaja, tetapi ia paham betul apa artinya 'perselingkuhan'. Kinan menggeleng tak percaya. Ia menatap papanya dengan mata berkaca-kaca. “Papa ... selingkuh?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Dilemma [Tamat]
RomansaCinta bisa datang karena terbiasa, beberapa orang setuju akan hal itu. Cinta juga bisa menyelinap diam-diam dalam interaksi dua insan yang kata orang 'tidak seharusnya mereka jatuh cinta'. Sejatinya, cinta adalah perasaan suci yang membawa perdamaia...