Dilemma 16

351 52 1
                                    

“Mbak, ada yang nyari di depan,” ucap seorang waiter.

Kening Valya lantas mengernyit. Ini masih jam sembilan, mustahil Kinan datang ke kafe. Selain itu, biarpun jarak rumah ke kafe lumayan dekat, tetapi ibu Valya selalu memberi kabar terlebih dahulu jika akan datang. Valya melepas toque dari kepalanya, lalu bergegas keluar dari dapur. Secara refleks saja mata Valya tertuju pada seseorang yang berdiri di ambang pintu.

“Hai,” sapa Tristan, lengkap dengan senyum manisnya.

Dia mengenakan kemeja hitam panjang dan celana chino berwarna mocca. Rambut tertata rapi ke belakang, dan aroma hutan menyeruak dari tubuh tegapnya.

“Gue enggak ganggu lo, 'kan?”

“Enggak, kok. Gue lagi enggak terlalu sibuk. Duduk dulu, Tan.” Valya menarik kursi dan mendaratkan bokongnya. Dia terkesiap saat sekuntum mawar merah tiba-tiba ada di depan wajahnya. “Ini ....”

“Buat lo. Tadi ada anak kecil yang jualan di perempatan Jalan Jawa. Karena bunganya cantik, bikin gue ingat sama lo, jadi gue beli aja. Suka, 'kan?”

Valya mengangguk kecil. Dia menerima bunga itu tanpa mengalihkan pandangan dari Tristan. Wajah laki-laki itu masih terlihat segar. Bajunya juga masih sangat rapi. Namun, entah mengapa, Tristan terlihat ruwet. Dan hal yang wajar jika Valya khawatir, bukan? Mereka teman, sudah sepatutnya Valya memberikan perhatian.

“Lo gak apa-apa? Kelihatannya lo lagi banyak pikiran.”

Sudut bibir Tristan terangkat semakin tinggi. “Gue seneng lo perhatian sama gue. Biarpun cuma pertanyaan basic, tapi udah cukup bikin dada gue berbunga-bunga,” cetusnya dengan nada canda. Kemudian, wajahnya berubah serius. “Jam 1 nanti gue ada persidangan kasus pembunuhan. Dan tiap kali ada kasus besar yang naik ke persidangan, gue selalu khawatir gak jelas. Makanya, gue datang ke sini, supaya bisa lebih tenang.”

“Emang apa yang bisa gue bantu?” tanya Valya. Pertanyaan itu bukan sekadar basa-basi, Valya sungguh ingin membantu Tristan. Karena rasanya cukup aneh melihat orang yang periang dan suka bercanda mendadak lesu. “Lo mau makan apa? Biar gue masakin.”

“Gak usah, Neng Val. Duduk di sini, temenin gue, itu udah cukup, kok. Gue gak mau bikin lo repot.” Tristan menopang dagu, matanya masih tertuju pada wajah cantik Valya. “Tipe cowok yang bisa berpeluang jadi pacar lo itu yang kayak gimana, sih? Kali aja gue ada kesempatan.”

Perkataan Tristan sukses membuat Valya terkekeh. Rasa khawatirnya sedikit meluruh. “Lo ngomong kayak gini sama siapa aja? Kayaknya, gampang banget itu bibir ngomong masalah pacar-pacaran.” Valya geleng-geleng. “Untung aja gue bukan cewek yang gampang baper, jadi lo enggak perlu tanggung jawab.”

“Kalau kebawa perasaan juga gak apa-apa, kok. Dengan senang hati gue bakal tanggung jawab.” Tristan masih setia memandangi Valya. Melihat perempuan itu terkekeh sambil membuat bola matanya malas, entah bagaimana, berhasil membawa ketenangan dalam jiwa Tristan. “Kalau gitu, kasih tahu gue semuanya tentang lo. Makanan kesukaan lo, minuman kesukaan lo, judul film, genre buku, musik, tempat wisata, semuanya yang lo suka. Apa yang bikin lo senang sama sedih. Kasih tahu gue semuanya.”

“Buat apa?”

“Supaya gue lebih bisa mengenal calon pacar gue, lah. Buat apa lagi?” jawab Tristan dengan entengnya. Bahkan, dia juga tidak peduli jika telinga beberapa karyawan dan pengunjung di sana menangkap ucapannya. “Tipe ideal itu gak penting. Yang penting, gimana gue bisa memperlakukan lo. Kalau gue udah tahu apa yang lo suka dan enggak, pasti gue bisa bertindak lebih baik ke depannya. Terus, lo jatuh cinta sama gue, kita jadian, deh.”

Valya juga menopang dagu di atas meja. Tatapannya lurus pada mata Tristan yang terus menatapnya dalam. “Terus, nanti gue didemo sama cewek-cewek yang lo gombalin. Dih, ogah banget! Gue gak mau juga punya pacar buaya, ya.”

Dilemma [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang