“Yang ini gimana, Ki?” tanya Tristan sambil menunjuk satu set alat masak.
Kinan tidak langsung menjawab. Dia malah memicingkan mata dan mengetuk-ngetuk bibirnya dengan telunjuk, persis orang jenius yang sedang berpikir. Sementara Tristan setia menunggu jawaban perempuan itu. Lalu, Kinan menggeleng mantap.
“Enggak, deh, Tan. Menurut gue, merah itu terlalu tua. Yang lain aja,” cetus Kinan sambil berlalu meninggalkan Tristan begitu saja.
“Dari tadi jawaban lo gitu mulu. Merah kayak orang tua, putih gampang kotor, pink gak sesuai sama karakter Neng Val. Udah 1 jam kita cuma muter-muter. Kaki gue pegel, Kinan!” gerutu Tristan panjang lebar. Lalu, dia berkacak pinggang sambil mengembuskan napas kasar. “Gue mulai kesel sama lo, Ki. Serius!”
Saat itu juga, Kinan memutar tubuhnya dan menatap Tristan malas. Laki-laki itu masih berdiri di sana, tepat di depan satu set frying pan berwarna merah. Saat masuk toko, ia terlihat sangat bersemangat dan cerah. Kini berganti dengan lesu dan kesal. Pegangan Kinan di tali paper bag yang sedari tadi ia pakai mengerat. Bukan hanya Tristan, Kinan juga mulai kesal.
“Tadi lo bilang apa? Mau beli alat masak yang bakal bikin Aya seneng, 'kan? Alat masak yang bisa bikin dia inget terus sama lo biarpun lagi di depan kompor. Kebetulan, di sini gue yang paling tahu selera Aya gimana, bukan lo. Kenapa lo protes mulu?” Sekarang, Kinan sudah berkacak pinggang. “Kalau lo enggak butuh saran gue, ya udah. Gue tinggal pulang aja.”
Dengan cepat, Tristan melangkah menuju Kinan dan menahan pergelangan tangannya. “Jangan gitu, dong, Ki. Kan, gue udah bantu lo cari baju buat Fabian, lo juga harus bantu gue.”
“Kalau mau gue bantu, lo jangan protes mulu, dong. Kuping gue udah panas dari tadi. Bentar lagi kepala gue meledak, nih!”
“Ya, maaf. Gue cuma kesel dari tadi enggak ada yang lo pilih. Gue juga capek, Ki. Laper banget ini perut,” jawab Tristan dengan suara yang memelas. Lalu, dia melepaskan pegangannya di tangan Kinan. “Sekarang, lo aja yang pilih. Gue ikutin aja, gak akan protes lagi.”
“Gitu dari tadi, kek!” dengkus Kinan sambil kembali meninggalkan Tristan.
Mereka sedang ada di toko alat masak. Tristan bersikukuh meminta Kinan menemaninya membeli hadiah untuk Valya. Setelah berpikir beberapa hari, satu set alat masak menjadi keputusan terakhirnya. Tristan membantu Kinan memilih baju futsal untuk Fabian, dan Kinan membantu memilih alat masak yang sekiranya sesuai dengan selera Valya.
Seiring berjalannya waktu, mereka menjadi semakin dekat. Jika Tristan ada masalah dengan Valya, dia pasti akan datang pada Kinan. Dan untuk perkara membeli barang yang disukai laki-laki, Kinan akan memilih Tristan untuk menjadi komentator. Tak jarang juga mereka pergi berdua jika pasangan masing-masing sibuk dengan pekerjaan.
“Yang ini lumayan, nih.” Kinan menunjuk frying pan hitam dengan gagang berwarna ungu pastel. “Gue jamin, Aya pasti suka.”
Tristan menoleh, menilai frying pan yang ditunjuk Kinan. Lalu, ia mengangguk kecil, setuju dengan pilihan Kinan. “Iya, yang ini cantik. Manis aja gitu.” Tristan melirik karyawan toko yang ada di dekatnya. “Mbak, saya mau yang ini, ya.”
“Baik, Mas,” jawab sang karyawan sambil bergegas menghampiri Tristan. “Mau beli yang ini aja atau ada tambahan lain?”
“Gimana kalau lo juga kasih knife set yang gambar bunga gitu, Tan? Serem aja kalau Aya pegang pisau gede mulu.”
Tanpa berpikir dua kali, Tristan langsung mengangguk setuju. Ia juga pernah lihat Valya saat memegang pisau daging. Kinan benar, perempuan pujaannya itu terlihat menyeramkan. Pasti akan sedikit mengalihkan kesan seram jika pisau yang dipegang Valya ada motif bunganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dilemma [Tamat]
Любовные романыCinta bisa datang karena terbiasa, beberapa orang setuju akan hal itu. Cinta juga bisa menyelinap diam-diam dalam interaksi dua insan yang kata orang 'tidak seharusnya mereka jatuh cinta'. Sejatinya, cinta adalah perasaan suci yang membawa perdamaia...