Dalam rangka memperjuangkan cinta, Tristan langsung menuju Paledang begitu kegiatan magangnya selesai. Dia setia duduk di salah satu meja sambil berulang kali mengintip ke belakang kafe. Ia sengaja tidak memberi tahu Valya, supaya menjadi kejutan. Dengan senang hati Tristan akan menunggu dan berharap nanti diperbolehkan mengantarkan Valya pulang.
Sayangnya, Tristan harus rela kegiatannya itu diganggu oleh seseorang yang tiba-tiba duduk di sampingnya tanpa permisi.
“Temannya Valya?” tanya Anggun. Dia sengaja membuat ekspresi wajah, senyuman, dan pergerakan seanggun mungkin. Tentu dengan harapan Tristan akan tertarik padanya. “Atau ... pacarnya?”
“Baru calon, sih. Tapi gue yakin, suatu hari nanti pasti bisa menyandang gelar 'Pacar Valya',” jawab Tristan dengan penuh percaya diri.
Anggun mengangguk kecil. Matanya tak lepas dari Tristan sejak lima menit yang lalu. Gila, sih, ini cowok tipe ideal gue banget. Ganteng, wangi, punya senyum manis. Gak cocok sama Valya, mending sama gue! Ia menunduk, berusaha menyembunyikan senyumnya yang tiba-tiba mengembang. “Terus, kenal Valya di mana?”
“Dulu kita satu kampus. Kebetulan kita juga pernah jadi panitia acara kampus sama pernah ketemu waktu aksi di Jakarta. Cuma, baru dekat dua bulan ini, dikenalin sama temen waktu main ke sini.” Diam-diam, Tristan memperhatikan penampilan perempuan yang ada di depannya. “Lo ... karyawan di sini?”
Senyum Anggun luntur seketika. Dia menatap Tristan tak percaya. “Karyawan?” Anggun tertawa sumbang, sama sekali tidak menyangka pikiran Tristan bisa sependek itu. “Gue juga pemilik kafe ini. Valya sama gue kerja sama buat bangun Lycka dari nol. Bedanya, dia menjabat jadi ketua koki, sementara gue bagian kasir. Kalau cuma karyawan, gak mungkin gue berani datang ke meja lo, lah.”
Tidak ada rasa bersalah di hati Tristan. Dia malah mengangkat bahunya tak acuh sambil mencebikkan bibir. Mau karyawan biasa atau rekan kerja sama Valya dalam membangun Lycka, menurut Tristan sama saja. Perempuan itu sama sekali tidak menarik.
“Oh, iya. Nama gue Anggun,” tutur Anggun sambil mengulurkan tangannya. “Nama lo siapa?”
Tristan menatap tangan Anggun ragu-ragu. Dia memang senang membangun pertemanan dengan banyak orang, tetapi tidak dengan siapa saja. Salah satunya dengan perempuan kecentilan. Namun, Mengingat dia akan sering datang kemari, Tristan harus menerima uluran tangan itu.
“Gue Tristan.”
“Pokoknya, kalau lo mau ke sini, tinggal dateng aja. Kalau enggak ada Valya juga enggak apa-apa, kok. Gue juga bisa masak.”
“Kalau enggak ada Valya di sini, gue enggak bakal datang. Makanan opsi kedua, Valya yang utama,” jawab Tristan sambil tersenyum miring, jelas mengejek rayuan Anggun yang sama sekali tidak bekerja padanya. Lalu, perhatiannya teralihkan pada seseorang yang baru keluar dari dapur. “Neng Val!” panggilnya sambil mengangkat tangan.
Valya tersenyum. Dia segera melepas apron dan melangkah menuju meja Tristan. Dan kedatangan itu membuat Anggun kesal. Dia langsung bangkit dari duduknya dan kembali ke meja kasir dengan langkah yang dientak-entakkan. Valya hanya meliriknya sekilas, acuh tak acuh. Lalu, dia duduk di samping Tristan.
“Ngapain di sini? Goda sepupu gue?”
“Enggak, lah. Kurang kerjaan banget gue goda dia. Kan, gue udah bilang mau serius usaha buat deketin lo, masa mau belok ke cewek lain?” Tristan memerhatikan rambut Valya, lalu menyelipkan beberapa anak rambut ke belakang telinga perempuan itu. “Biarpun berantakan, tetep cantik, kok.”
“Maaf, makanan di sini gak bisa dibayar pakai gombalan.”
Sontak saja Tristan terkekeh karena candaan Valya. Lalu, dia terdiam, memutar kembali kenangan saat mereka bertemu di teras Lycka dua bulan lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dilemma [Tamat]
Storie d'amoreCinta bisa datang karena terbiasa, beberapa orang setuju akan hal itu. Cinta juga bisa menyelinap diam-diam dalam interaksi dua insan yang kata orang 'tidak seharusnya mereka jatuh cinta'. Sejatinya, cinta adalah perasaan suci yang membawa perdamaia...