Dilemma 1

1K 95 5
                                    

Semua orang yang mengenal Kinanti pasti setuju bahwa perempuan satu itu terlalu 'cewek'. Selera berpakaian, sifat, emosi, semuanya terlalu perempuan. Dan salah satunya adalah ketidaksukaan Kinan—begitulah orang-orang menyapanya—adalah dibuat menunggu.

Anehnya, itulah yang sedang dia lakukan saat ini. Duduk di sofa lobi hotel tempatnya bekerja sambil memainkan Candy Crush di ponsel pintarnya, Kinan sedang menunggu seseorang. Sesekali dia mengangkat kepala dan celingak-celinguk berharap orang itu muncul dan menyudahi penantiannya yang sudah berlangsung 10 menit. Dirasa tidak ada siluet yang diharapkan, Kinan akan kembali fokus pada permainannya. Sampai tiba-tiba sebuah jari besar menyentuh layar ponsel sehingga Kinan kalah.

“Yah!” dengkusnya dengan kesal. Dia melirik tajam seseorang yang berdiri di sampingnya. “Kan, aku udah bilang, jangan ganggu kalau aku lagi main game! Kamu itu usil banget, sih?!”

Bukannya merasa bersalah, sang tersangka malah tersenyum lebar. “Masa gitu doang marah?”

“Siapa yang enggak marah kalau dibikin nunggu lama terus diganggu gitu? Kalau kamu jadi aku juga pasti bete!” jawab perempuan rambut sebahu itu sambil menyimpan ponselnya ke dalam tas. “Kenapa lama banget, sih?”

“Iya, maaf. Tadi aku bantu Mas Dinar dulu. Ada beberapa ruangan yang butuh AC baru.” Laki-laki itu menyelipkan jemarinya di sela jemari Kinan. “Ayo, jalan. Aku udah lapar banget ini.”

Kinan bangkit dari duduknya, lalu berjalan meninggalkan sofa. “Makan di Lycka aja, gimana? Aku udah chat Aya, dia belum pulang katanya. Lagian, aku kangen juga sama pasta buatan dia. Tadi siang aja kebayang-bayang terus, saking kangennya sama masakan dia. Kamu juga, 'kan?”

“Iya, kita makan di sana.”

Meski jawaban laki-laki itu terlalu singkat untuk celotehannya yang lumayan menguras tenaga telinga, Kinan tetap tersenyum lebar dan mempererat genggaman mereka. Laki-laki itu memang begini adanya. Kinan akan tetap menyukai dia bagaimana pun karakternya.

Dia adalah Fabian Aristides, laki-laki yang selama 3 bulan ini resmi menjalin kasih dengan Kinan. Mata bulat, alis tebal, hidung mancung, pipi berisi, kumis tipis, rahang tegas, dan tubuh tinggi, membuat Kinan nyaman terus memandangnya meski harus sedikit menengadah. Di usianya yang baru 26 tahun, Fabian menjabat sebagai Assistant Chief Angeener di salah satu hotel bintang lima Bandung, The Bloem.

“Tahu, gak? Tadi ada Nindy Malayka, lho,” tutur Kinan dengan wajah berbinar. “Terus, aku foto sama dia. Nih, lihat. Cantik banget, 'kan?” Ia menunjukkan layar ponsel yang menunjukkan sebuah foto ke depan Fabian.

“Aku lagi nyetir, Ki,” jawab Fabian setelah melirik ponsel Kinan sekilas.

Kinan mengerucutkan bibirnya karena sikap Fabian. Kemudian, dia tersenyum sembari menatap fotonya bersama penyanyi idola, Nindy Malayka. “Kalau aku punya suara yang bagus dikit aja, pasti aku udah jadi penyanyi besar kayak Nindy juga. Enggak mustahil juga aku bisa jadi penyanyi internasional kayak Agnez Mo. Iya, 'kan?” Lagi, Kinan melirik Fabian yang berusaha fokus dengan jalanan.

Fabian melirik Kinan sekilas, lalu geleng-geleng kepala. “Yakin banget bisa kayak Agnez Mo?”

“Iya, lah!” jawab Kinan dengan penuh percaya diri. “Kamu juga sering denger aku nyanyi di kamar mandi, suara aku emang bagus.”

“Aku curiga air yang di kamar mandi mendadak kering.”

“Fabian!” Kinan memukul lengan kekasihnya lumayan keras untuk melampiaskan kekesalannya. Namun, kemudian, dia bersandar di bahu Fabian masih dengan mata yang tertuju pada Nindy Malayka. “Nindy cantik banget, deh. Aku aja yang cewek suka banget sama dia, enggak pernah bosen lihat wajahnya. Apalagi cowok.”

Dilemma [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang