Dilemma 42

390 45 0
                                    

Sedari tadi, tatapan Valya sama sekali tidak lepas dari Tristan. Sesekali dia melirik Kinan, tetapi sahabatnya itu berpura-pura sibuk dengan buku menu. “Jadi, kalian ngapain di sini?”

“Mau makan, lah,” sahut Kinan dengan cepat. Dia mengangkat kepalanya, lalu tersenyum kikuk. “Kalau itu, lo udah tahu jawabannya, ya?” Ia tertawa sendiri. Baru berhenti saat Tristan menyikut tangannya. Lalu, dia menatap Valya dan Fabian secara bergantian. “Kita jalan-jalan aja, kayak biasanya. Udah biasa juga gue jalan sama Tristan, 'kan? Kenapa enggak bilang sama kalian? Takutnya ganggu aja. Kan, kalian orangnya sibuk banget.”

Fabian membanting punggungnya ke sandaran kursi. Sama halnya dengan Valya, ia juga curiga pada gerak-gerik dua orang yang ada di hadapannya. “Jadi, kalian cuma jalan-jalan biasa?”

Baik Kinan ataupun Tristan, keduanya langsung mengangguk dalam waktu yang bersamaan.

“Abis belanja apa?” Tatapan Fabian turun ke paper bag hitam yang ada di samping kursi Kinan. “Kenapa sampai diumpetin gitu? Biasanya juga kamu suka langsung pamer kalau belanja barang baru.”

“Sama, kamu juga, Tan,” cetus Valya. “Biasanya, kamu cuma jajan makanan kalau ke BIP. Kenapa sekarang belanjaan kamu banyak banget gitu?”

Di bawah meja sana, Kinan dan Tristan saling menyenggol lutut satu sama lain. Mereka sama-sama bingung harus menjawab bagaimana pertanyaan pasangan mereka. Niat hati ingin memberi kejutan, malah terjebak interogasi. Jika terus disudutkan, mereka bisa sama-sama membongkar rencana masing-masing. Rencana menjadi pasangan yang romantis akan gagal total.

Berusaha mengalihkan topik pembicaraan, Kinan segera menyambar paper bag kecil yang ada di atas meja. “Ini apa, Yan? Lucu banget.”

“Jangan dibuka!” seru Fabian sambil berebut kembali barang berharganya dari tangan Kinan. Ia menyimpan paper bag itu ke dalam tas, supaya tidak bisa lagi dijangkau kekasihnya. “Anu ... itu ... Mas Dinar nitip sesuatu sama aku. Itu barangnya.”

“Emang, Mas Dinar suka sama warna pink sama Hello Kitty, ya?” tanya Kinan sambil mengangkat sebelah alisnya. Dalam hati ia bersorak gembira, berhasil mengambil alih keadaan.

Tentu saja, Tristan juga tidak bisa tinggal diam. Dia melirik tas Valya yang tampak mengembang. “Yang di tas kamu itu apa, Neng Val? Kayaknya barangnya gede. Beli apa, sih?”

“Kenapa malah pada balik tanya, sih? Langsung jawab aja!” bentak Valya tiba-tiba. Ketenangannya berubah menjadi keganasan. Namun, jelas terlihat Valya merasa disudutkan. “Udah, gak usah banyak tanya! Cukup jawab aja, kalian ngapain ke sini?! Abis belanja apa?! Apa yang lagi kalian rencanain?!”

“Dih, kok, lo malah sewot gitu? Kayak yang panik banget. Kenapa? Ada yang lo sembunyiin dari Tristan?” Kinan menyerang balik. Kemudian, dia menatap Fabian tajam. “Kamu juga! Udah berani bohong sama aku, ya? Diajarin siapa? Aya?”

Tristan berdeham. Dia mengangguk sopan pada semua orang yang melirik meja mereka dengan tatapan terganggu. “Maaf, Mas, Mbak. Enggak ada apa-apa, kok. Mereka cuma lagi latihan drama,” ucapnya dengan senyum kikuk. Lalu, dia meraih tangan Valya. “Jangan teriak, Neng Val. Semua orang lagi perhatiin kita.”

Ah! Tristan hampir lupa bahwa Valya sedang datang bulan. Jadi, pantas saja tatapannya malah semakin tajam karena ucapannya barusan. Menghindari tatapan tajam itu, Tristan melirik Kinan yang sedari tadi terdiam. Ternyata, sama saja. Dia sedang berusaha membunuh Fabian melalui matanya. Niat hati ingin membahagiakan pujaan hati, malah terjebak situasi sulit seperti ini.

Fabian membuang napas kasar. Sepertinya, Kinan tidak akan melunak jika tidak diberi tahu yang sebenarnya. Ia berbalik untuk mengambil paper bag merah muda itu dan kembali menyimpannya di atas meja.

Dilemma [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang