Dilemma 29

298 51 1
                                    

“Pokoknya, kalau ada apa-apa, langsung telepon aku.”

“Udah jadi kewajiban aku buat jaga kamu.”

“Aku juga sayang sama kamu. Aku cinta banget sama kamu, Ki.”

Semua kalimat penuh kasih itu terus berputar di kepala Kinan. Bagaimana Fabian menatapnya lembut, tersenyum manis, memberikan sentuhan hangat, semua itu terus terbayang. Fabian Aristides, laki-laki yang selalu ada di saat Kinan bersedih dan sukarela memberikan sandaran, yang selalu membuat Kinan tersenyum penuh syukur karena memilikinya, yang selalu memiliki cara tersendiri untuk menunjukkan cintanya.

Namun, kini laki-laki itu tidak bisa memeluk Kinan meski dia tengah menangis deras. Karena Fabian ada di sana, di ruang UGD dan sedang tangani oleh dokter.

“Ki, minum dulu,” ucap Aldy sambil memberikan botol air mineral pada Kinan. Dia mengusap bahu Kinan yang bergetar. “Jangan terlalu khawatir, nanti lo malah stres. Fabian lagi butuh lo, lo harus terus di samping dia. Gue juga yakin, dia enggak bakal kenapa-kenapa, dia orang yang kuat.”

Kinan mengembalikan botol air itu dengan tangan bergetar. Dia sudah mencoba untuk tenang, tetapi tidak bisa. “Seharusnya, gue aja yang pergi ke mobil. Seharusnya, gue aja yang ... yang kecelakaan, bukan Fabian.” Kinan kembali tergugu, menunduk dengan tangan yang menutupi wajah. “Gue takut dia ninggalin gue, Al. Gue takut banget.”

“Sssuut ...  jangan ngomong gitu. Fabian pasti bertahan, Ki. Kita berdoa aja yang terbaik buat dia.” Lagi, Aldy berusaha menenangkan Kinan.

Iya, Fabian pasti bertahan, tegas Kinan dalam hati. Lalu, dia menoleh pada remaja laki-laki yang duduk di ujung kursi tunggu. “Kalau terjadi apa-apa sama cowok gue, gue pastikan lo masuk penjara!” ancam Kinan pada remaja itu.

Remaja itu menunduk. Rambut gondrongnya sangat berantakan, pelipis kirinya biru karena tonjokan Aldy, wajahnya terus menunduk karena perasaan bersalah. Usianya remaja itu masih 16 tahun, masih ilegal untuk membawa kendaraan sendiri. Namun, dia justru membawa mobil melintasi Jalan Kebon Jati dengan kecepatan tinggi. Dan Fabian yang menjadi korban, nyawanya sedang dipertaruhkan saat ini.

Begitu dokter keluar dari ruang UGD, ketiganya langsung berdiri.

Dengan langkah cepat Kinan menghampiri dokter tersebut. Dia mengusap wajah kasar dan mengembuskan napas kasar. “Bagaimana keadaan pac—”

“Bagaimana keadaannya, Dok?” seloroh Valya dengan cepat.

“Pasien mengalami fraktur tengkorak, tetapi untungnya tidak sampai terjadi kebocoran cairan otak. Untuk mencegah adanya komplikasi, kita harus segera melakukan operasi,” jelas sang dokter. Lalu, dia melirik Kinan dan Valya secara bergantian. “Apakah pasien memiliki riwayat penyakit atau alergi pada obat tertentu?”

“Enggak, Dok. Dia sangat sehat. Tidak ada riwayat penyakit atau alergi obat.” Kali ini, Kinan yang menjawab dengan cepat. “Saya mohon, lakukan yang terbaik untuk Fabian, Dok.”

Dokter tersebut mengangguk paham. “Baik, kami akan berusaha sebisa kami.” Dokter itu menoleh saat ada perawat yang lewat. “Tolong, segera siapkan OR.”

Saat petugas medis sudah berlalu, Kinan langsung menghampiri remaja itu. Dia menamparnya tanpa ampun. Lalu, Kinan menarik kerah kemejanya dengan kencang. “Lo dengar apa yang dokter katakan barusan, 'kan? Keadaan cowok gue serius sampai butuh pertolongan operasi. Sekarang, apa yang mau lo lakuin, hah?! Lo bisa bertanggung jawab?!” bentak Kinan, sampai suaranya menggema ke koridor Rumah Sakit Santosa.

“Ki, tenang.” Aldy berusaha menarik tangan Kinan tetapi gagal. “Ki, lo harus tetap berpikir jernih di saat kayak gini. Jangan bertindak gegabah.”

Dilemma [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang