Fabian menatap layar ponselnya dengan perasaan sedih. Selama berhari-hari, Kinan tidak mengirimkan pesan atau meneleponnya. Datang ke rumah sakit saja tidak pernah. Terakhir kali mereka bertemu adalah seminggu yang lalu, dengan tatapan terluka Kinan meninggalkan ruang rawatnya. Dan sekarang, perempuan itu juga tidak datang untuk mengantarkan Fabian pulang. Padahal, Fabian sudah mengirim 5 pesan untuk memberi tahu Kinan. Sayang, semuanya tidak dibalas dan panggilannya juga tidak diangkat.
“Fabian, kita pulang sekarang, Nak,” ucap Pak Ridwan. Beliau sudah siap sejak 15 menit yang lalu. Namun, ada yang menahan semua orang di sini.
“Bentar lagi, Yah. Kita tunggu Kinan dulu.” Fabian kembali memanggil Kinan. Nada sambung jelas terdengar, tetapi tak kunjung diangkat. Untuk kesekian kali, Fabian harus menelan kekecewaan. “Kinan pasti di jalan, jadi gak bisa angkat telepon Fabian.”
Di sofa sana, Valya juga resah memikirkan sesuatu. Sama halnya dengan Kinan yang tidak bisa dihubungi, Tristan juga semakin menjauh darinya. Tidak ada pesan ucapan selamat pagi, panggilan singkat untuk sekadar memberi tahu Tristan sudah sampai rumah, atau gombalan receh yang Valya terima seminggu ini. Tristan seakan membuat sekat tinggi di antara mereka.
“Yan, mungkin Kinan sibuk, jadi enggak bisa ikut antar kamu pulang,” tutur kakak ipar Fabian. “Gak apa-apa, nanti pasti dia jenguk kamu di rumah. Kita pulang sekarang aja, ya? Kasihan Kak Dinda sama Ayah, mereka perlu istirahat.”
Sontak saja Fabian menatap kakak dan ayahnya secara bergantian. Ternyata benar, mereka terlihat sangat lelah. Dan akhirnya, Fabian mengangguk pasrah. “Ya udah, kita pulang sekarang aja.”
Dengan bantuan sang kakak ipar dan Valya, Fabian berhasil mendudukkan diri di atas kursi roda. Mereka semua segera keluar dari ruang rawat setelah berpamitan dengan dokter dan para perawat yang sudah membantu pemulihan Fabian selama ini. Harusnya, Fabian senang karena dia akan kembali ke kasur kesayangannya. Namun, justru hatinya terus gundah memikirkan Kinan.
“Kinan enggak chat lo, Ya?” tanya Fabian begitu duduk di kursi mobil. Suaranya terdengar lesu, sama sekali tidak bersemangat.
“Gak ada, Yan,” jawab Valya sambil menggelengkan kepala. “Kamu tenang aja, aku udah chat dia, kok. Kasih tahu kalau kamu udah di perjalanan ke rumah. Nanti dia pasti jenguk kamu di sana.”
“Dia enggak lagi dalam masalah, 'kan? Atau sakit? Gue takut dia lagi kesusahan sekarang, sementara gue enggak bantu dia dulu.”
Mendengar itu, Dinda langsung menggandeng bahu adiknya. Dia tersenyum, berusaha memberikan kekuatan pada sang adik. “Kamu jangan mikirin dulu yang lain, Yan. Sekarang, kamu fokus aja dulu sama kesembuhan kamu. Kalau kamu terlalu banyak pikiran, nanti sembuhnya lama. Kinan juga udah gede, dia pasti bisa handle masalahnya sendiri. Jangan terlalu khawatir.”
“Dia emang udah gede, tapi tetep aja udah jadi tugas Fabian buat jaga dia, Kak,” ketus Fabian sambil mengalihkan pandangan. Suasana hatinya benar-benar buruk.
Pak Ridwan terkekeh melihat wajah putranya yang cemberut. “Anak ayah udah gede ternyata, ya. Udah bisa komitmen sama tanggung jawabnya,” tuturnya sambil melirik Fabian yang duduk di jok belakang. “Tapi, apa yang dikatakan kakak kamu itu ada benarnya, Fabian. Yang harus menjadi fokus kamu saat ini adalah kesembuhan kamu. Untuk urusan Kinan, nanti Valya yang ambil. Iya, 'kan, Nak Valya?”
“Iya, Om,” jawab Valya dengan cepat. Lalu, dia menoleh untuk menatap Fabian. “Habis antar kamu, aku langsung ke rumah Kinan, kok. Nanti aku tanya ada apa sama dia, terus kasih kabar ke kamu.”
“Gue pegang kata-kata lo. Gue enggak akan tidur kalau belum tahu kabar Kinan.”
Kakak ipar Fabian—sedang menyetir—ikut terkekeh kali ini. “Ini namanya bukan tanggung jawab buat menjaga, Yah. Tapi bucin. Budak cinta.”

KAMU SEDANG MEMBACA
Dilemma [Tamat]
RomansaCinta bisa datang karena terbiasa, beberapa orang setuju akan hal itu. Cinta juga bisa menyelinap diam-diam dalam interaksi dua insan yang kata orang 'tidak seharusnya mereka jatuh cinta'. Sejatinya, cinta adalah perasaan suci yang membawa perdamaia...