Dilemma 19

305 48 0
                                    

Tristan turun dari Vespa hitamnya sambil memegang ponsel. Jalan Ciguriang No. 17, gerbang warna putih, cat temboknya warna abu-abu. Rumah yang menjadi pemberhentiannya sama persis dengan pesan singkat yang dikirim Valya magrib tadi. Sekarang, dia tinggal mengirim pesan pada pujaan hatinya itu.

To : Neng Val
Kakanda sudah di depan rumah Adinda.

Laki-laki dengan jaket kulit cokelat itu terkekeh sendiri melihat pesannya. Dan tidak membutuhkan waktu lama centang di layar ponselnya berubah biru, pertanda dibaca. Tristan memilih untuk kembali duduk di jok Vespa sambil menatap pintu utama rumah itu dengan harap-harap cemas. Bukan apa-apa, Tristan hanya khawatir Valya tidak menyukai dandanannya malam ini.

"Iya, nanti kakak isi bensinnya, kok!" teriak Valya sambil bergegas keluar. Dia melambaikan tangan sambil tersenyum hangat. Namun, kemudian senyumnya luntur saat ia melihat Tristan ternyata duduk di atas motor.

"Kenapa?" tanya Tristan sambil bangkit dari duduknya. Jqntungnya mendadak berdegup kencang saat melihat perubahan ekspresi Valya. "Lo gak nyaman naik motor, ya? Ya udah, gue balik lagi aja buat ambil mobil." Tristan segera mengenakan kembali helmnya dan menyalakan mesin Vespa. "Gue gak bakal lama, kok. Lima belas menit-"

Valya memegang tangan Tristan yang siap menarik gas. "Gue enggak masalah kalau naik motor, kok." Lalu, dia menunjukkan kunci motor dengan gantungan minion yang sudah dipegangnya. "Malahan, gue udah bawa kunci motor adek gue. Kalau pakai mobil, pasti macet sama susah cari tempat parkir."

Terdengar helaan napas panjang dari bibir Tristan. Dia merasa lega. "Perasaan gue udah gak enak banget barusan. Gue kira, lo enggak mau naik motor. Gue udah takut usaha gue berhenti sampai di sini. Aduh, lo emang paling bisa bikin jantung gue hampir copot."

"Tenang aja kali. Gue gak ada masalah apa-apa sama motor, kenapa harus gak enak gitu? Barusan gue kaget aja, lo bisa pinter juga ternyata." Valya terkekeh. Melihat ekspresi Tristan beberapa saat yang lalu membawa hiburan tersendiri untuknya. "Lo tunggu di sini, gue balikin kunci motornya dulu."

Tristan hanya mengangguk. Lagi, dia melepaskan napas kasar untuk mengusir gundahnya barusan. Dia pikir, Valya masuk ke golongan perempuan yang hanya ingin naik mobil. Ternyata, Tristan salah. Dan dengan kejadian ini, Tristan semakin yakin untuk terus maju mendekati Valya. Ia berjanji tidak akan membiarkan laki-laki lain mencuri kesempatannya. Jika nanti hubungan mereka sudah resmi, Tristan juga tidak akan melepaskan Valya.

Dan membayangkannya saja sudah cukup membuat hati Tristan berbunga.

"Ekhem!"

Kegiatan berimajinasi Tristan berhenti seketika. Dia menoleh, mendapati seorang wanita paruh baya dengan daster merah muda tengah memperhatikannya. Tristan bergegas turun dan membuka helm. Ia sangat yakin, wanita paruh baya ini adalah ibu Valya, calon mertuanya.

"Malam, Tante," sapa Tristan. Ia maju dan mengulurkan tangan, bersyukur ibu Valya tidak menolak ulurannya untuk bersalaman.

"Namanya siapa?" tanya Bu Rini. Beliau sudah terpesona dengan ketampanan Tristan, tetapi harus menjaga image wibawa untuk melihat karakter laki-laki yang akan mengajak anak perempuannya keluar. "Nak Tristan, bukan?"

Hampir saja Tristan menjerit. Ada rasa bangga yang tak terduga saat calon ibu mertua mengetahui namanya. "Iya, Tan," jawabnya sambil tersenyum lebar. "Kalau boleh tahu, Tante tahu nama saya dari mana? Valya pernah cerita?"

"Bukan, tapi sahabatnya, Kinanti."

Tidak apa, Tristan masih bahagia.

"Mau jalan ke mana?" Lagi, Bu Rini melayangkan pertanyaannya. Diam-diam beliau memerhatikan penampilan Tristan. Anaknya rapi, wangi juga. Enggak akan malu-maluin jalan sama Valya. Lalu, beliau melirik Vespa yang ada di depan gerbang. Bawa Vespa. Berarti tipe romantis. Cocok sama Valya yang kaku.

Dilemma [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang