Dilemma 20

353 54 1
                                    

Kinan langsung menggandeng lengan Valya dan 'menculiknya' dari Tristan. Ia membiarkan Fabian yang pendiam berjalan beriringan dengan Tristan. “Kalian udah jadian?”

“Belum, Ki. Gak mungkin segampang itu, lah,” jawab Valya sambil menengok ke belakang. Ia tahu pasti, Tristan tidak nyaman harus berdiri di samping Fabian yang sedari tadi diam. “Kenapa lo nyamperin gue segala, sih? Lo pacaran aja sama Fabian.”

“Lo gak mau banget diganggu sama gue?” Kinan menyikut perut Valya pelan. Dia menengok ke belakang. Dua laki-laki itu masih saling mendiamkan. “Jadi, gimana ceritanya lo mau jalan sama Tristan? Kan, gak gampang buat bikin lo mau jalan-jalan. Biasanya juga diem di kamar sambil periksa laporan keuangan kafe. Kalau gue ajak jalan juga, susahnya suka minta ampun. Tristan punya jimat apa sampai mau bikin lo keluar dari rumah? Emang om gak ada?”

Valya menarik napas dalam-dalam. Sudah sepuluh tahun, tetapi kadang dia masih kesal jika Kinan melayangkan banyak pertanyaan sekaligus. “Ayah lagi di Bogor, ada urusan pekerjaan. Gue mau jalan sama Tristan karena penasaran juga sama festival makanan di sini, bukan karena dia punya jimat khusus. Lagian, kan, lo sendiri yang selalu minta gue buat buka hati. Dan itu yang lagi gue lakuin sekarang.”

Langkah Kinan terhenti. Lilitannya di lengan Valya juga membuat perempuan itu tidak bisa melangkah. Dan karena tidak ada komando apa-apa, dua laki-laki di belakang langsung rem. Baik Fabian maupun Tristan, mereka tidak mau menyakiti pujaan hati mereka.

“Oh, Valya kesayangan gue udah dewasa.” Tanpa permisi, Kinan mencolek dagu sahabatnya. “Ternyata dari dulu lo selalu gagal bangun hubungan karena Yang Maha Pencipta udah menyiapkan Tristan buat lo. Konspirasi semesta memang selalu menakjubkan.”

“Konspirasi semesta mata lo juling! Buruan jalan, jangan bikin kemacetan!” dengkus Valya sambil menarik tangan Kinan untuk melangkah.

Mereka berempat sepakat untuk berhenti di gerobak batagor. Menikmati makanan berkuah dengan bahan utama bakso dan tahu goreng yang berisi ikan tenggiri. Kinan dan Valya semangat untuk menambahkan bumbu kacang, kecap, dan jeruk nipis ke mangkuk batagor mereka.

Festival Makanan Tradisional Sunda adalah festival rutin setiap tahu yang digelar di sepanjang jalan Asia Afrika. Dari Alun-alun Bandung sampai Jalan Saad, akan membentang gerobak makanan tradisional Tanah Sunda yang akan memanjakan lidah.

Bukan hanya pandangan makanan yang merayakan festival ini. Pedagang baju, suvenir, dan mainan anak juga ikut mengais rejeki. Dari anak kecil yang gemar digendong sampai orang tua dengan rambut putih, semuanya sangat menikmati makanan di sini. Dan festival selama tiga hari ini juga adalah momen yang pas untuk membuat kenangan indah bersama orang tercinta.

“Eh, Ya, ikut gue sebentar, deh.”

“Tunggu, Ki. Pelan-pelan.” Terpaksa Valya harus menjeda makannya untuk menurut keinginan Kinan. Ia dibawa ke pedagang sepatu yang berjualan di mobil box. “Mau ngapain, sih?”

“Kalau gue beliin Fabian sepatu futsal, pasti dia makin sayang sama gue, Ya. Tapi, gue belum tahu pasti selera dia itu kayak gimana. Makanya, gue seret lo ke sini buat bantu gue,” jelas Kinan. Dia mengambil sepatu futsal berwarna hijau. “Ini gimana?”

Dengan cepat Valya menggelengkan kepalanya. “Jangan, Fabian enggak suka sama barang yang warnanya nge-jreng gitu.”

“Yang ini?” Kinan mengambil sepatu yang lain. “Ini bagus, deh. Kayaknya cocok buat Fabian.”

“Dia enggak suka warna merah.”

Bapak-bapak yang menjual sepatu di sana menatap Kinan dan Valya secara bergantian. Beliau sudah memerhatikan mereka sejak awal. Namun, sepertinya ada yang salah. “Sebenarnya, neng-neng ini mau beli sepatu buat siapa? Buat pacarannya neng yang rambut panjang atau yang rambut pendek? Kok, dari tadi saling adu pendapat?”

Dilemma [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang