Mencari Alasan

13.9K 1.9K 212
                                    

"Kamu sakit?" Penelope cukup terkejut. Janji bertemu dengan Tiffany di sebuah cafe, ia disajikan dengan kantung mata hitam di bawah mata gadis itu.

Tiffany baru saja tiba. Ia melempar jaket lalu duduk dengan lemas di hadapan Penelope dan Amelia.

"Jangan bilang kamu nggak bisa tidur karena bayangin Daniel malam pertama sama Ema," todong Amelia dengan cara yang kejam hingga menusuk ke ulu hati.

Tak ada kekuatan bagi Tiffany untuk berdebat. Ia merebahkan kepalanya di atas lipatan kedua tangan di meja. "Aku terus bermimpi hal yang sama. Kupikir harus pergi ruqiyah."

Penelope menaikan sweater pinknya yang menurun akibat tak dikancingkan. "Mimpi sesuatu yang erotiskah?"

Jujur itu seperti mengguyur Tiffany di saat kedinginan. Dengan mata kosong, Fany mendongak. "Bukan. Ini soal arwah. Apa menurut kalian orang bisa gentayangan?"

"Mana ada. Jangankan buat nakutin orang, dia saja sibuk ditanyai malaikat munkar dan nakir." Amelia punya keyakinan jika hantu dan sebangsanya itu hanya rekayasa jin dan keluarganya.

Jemari Tiffany menjentik. Perempuan yang memakai kaos hitam berlengan panjang itu lekas duduk dengan tegak. Rambutnya yang terurai beralih karena gerakannya. "Tepat. Nggak mungkin arwahnya. Mungkin ini hanya karena rasa bersalah."

Mereka tengah makan siang di sebuah cafe di kawasan Dipati Ukur untuk mengenang masa kuliah dulu. Walau kini fakultas mereka telah dipindah seluruhnya ke Jatinangor.

"Memang kamu diganggu orang yang sudah meninggal?" Sambil menyobek kertas pembungkus sedotan yang diberikan pelayan cafe, Penelope ingin menepis rasa penasarannya.

Kepala Tiffany mengangguk. "Dulu waktu ke pemakaman Madame dengan Daniel, aku pernah menolong wanita hamil yang pendarahan. Ia sempat menitip pesan padaku untuk suaminya, tetapi tak sempat aku sampaikan. Daniel mengajak pulang. Sampai hari ini saja belum ada kabar yang jelas. Aku merasa bersalah. Apalagi ini sudah empat tahun berlalu," jelas Tiffany.

Baik Penelope dan Amelia biasa saja menanggapi itu. Mereka tahu sahabatnya sangat tidak enakan. "Tak ada nomor kontak?" tanya Lia.

Terdengar suara Tiffany menganjur. "Kalau ada, aku tak akan penasaran. Pasti sudah aku hubungi suaminya dan menyampaikan pesan itu."

"Benar juga." Meski tak gatal, Penelope menggaruk pipinya. Ia mengenakan kemeja putih hari ini.

Ketiganya berdandan kasual, tak senada dengan gaya cafe yang mereka kunjungi. Bangunan bergaya kolonial dengan tembok tebal dan fasad simetris menjadi tempat cafe ini berdiri. Jendela besar dengan rangka bergaris kotak-kotak hitam menghadap langsung ke jalan. Tak jarang cermin bergantung di tembok yang di bagian sisi kanan dan kiri ruangan depan terlapisi kayu.

Amelia akhirnya mendapatkan makanannya. Hanya menu sederhana pengganjal perut sebelum makan utama sore nanti. "Kalau begitu kamu harus ke rumahnya."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sepasang Sepatu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang