19. Kenalan

9.1K 1.7K 227
                                    

Cukup lama, akhirnya ban mobil selesai diganti. Ban yang bocor serta peralatan sudah Dylan masukan ke bagasi mobil Tiffany.

Sengaja Tiffany membawa air mineral dari dashboard mobil untuk Dylan mencuci tangan. Tak lupa tissue dan handsanitizer. "Maaf, ya. Aku ini memang ada-ada saja. Chairman perusahaan besar malah dibiarkan mengganti ban mobilku," ucap Tiffany sambil nyengir kuda.

"Buat kamu apapun aku lakukan." Dylano mengelap tangannya dengan tissue yang Tiffany berikan. Benda itu Dylan buang ke tempat sampah. Baru kini ia memakai handsanitizer.

Tiffany ingat sesuatu. Dompet dari Dylan. Benda itu ia simpan di jok ke dua mobilnya. Ia buka pintu mobil dan mengeluarkan tas kertas dari sana. "Ini punyamu ketinggalan di dalam kantong topiku." Tas itu ia asongkan pada Dylano.

"Apa?" tanya Dylan heran.

"Ada dompet mahal di dalamnya. Punya kamu, 'kan?"

Dylano mengangguk, tetapi tetap tidak ia ambil tas itu. "Untukmu. Terimalah. Digunakan lebih senang."

"Ini mahal Dylan, aku nggak bisa menerimanya. Ambil lagi saja, ya?" pinta Tiffany.

Ia mendapat gelengan tanda penolakan dari Dylano. "Lagipula kalau aku terima lagi, akan di kemanakan? Itu dompet wanita, aku nggak mungkin pakai pun nggak mungkin dikembalikan. Terimalah, aku mohon."

Apa yang dikatakan Dylan ada benarnya. Apalagi ia sudah tak punya istri. Dompet itu mau dia berikan pada siapa? "Okelah, hanya ini bukan berarti apapun, ya? Aku hanya menghargai pemberianmu. Itu juga kamu yang maksa."

Sempat terdiam mereka. Dylano mengambil jas dan memakainya. "Kamu setelah ini mau ke mana?" tanyanya.

"Pulang, aku nggak akan pergi ke mana-mana kalau belum izin pada Bunda dan Ayah. Kamu tahu orang tuaku bagaimana."

"Baiklah, kalau begitu hati-hati saat menyetir," pesan Dylano. Tiffany mengangguk. Ia buka pintu samping kemudi dan masuk ke dalamnya.

"Aku pulang dulu, Dylan. Kamu juga hati-hati," balas Tiffany baru menutup pintu. Sambil menyalakan mesin mobil, ia sempat melirik Dylano dari spion mobil. Napasnya terasa seperti mengawang. Bahkan saat ia injak gas dan mobil melaju, masih sempat Tiffany melihat Dylano berdiri di sisi jalan melihat ke arah mobilnya.

Sesak. Seperti oksigen hilang dari sekitar. Ada rasa sakit yang tak bisa dijelaskan dan diungkap. "Memang begini kita seharusnya, tetap terpisah."

Sepanjang jalan Tiffany menahan air matanya untuk tak menetes. Ia berusaha untuk menahan rasa. Tak boleh ia masuk dalam kesedihan yang sama, karena itu ia tak ingin kembali pada Dylano Khani.

Perjalanan yang panjang dan akhirnya Tiffany sampai di rumah. Ia memasukan mobil ke garasi dan turun dari kendaraan itu. Lewat pintu samping, ia masuk ke dalam rumah. Sempat kaget ia, ternyata Bunda menunggu di sana.

"Pas banget kamu pulang, Fan. Cepat mandi sana," pinta Bunda yang tampak senang dan bersemangat. Bahkan sampai ia mendorong pelan tubuh Tiffany untuk naik ke lantai dua.

"Ada apa, Bun?" tanya Tiffany bingung.

"Mandi dan dandan yang cantik. Pakai baju yang sopan. Temannya Ayah mau datang dan makan malam di sini," ungkap Bunda.

Mendengus Tiffany. "Teman Ayah yang datang, kenapa Fany yang harus dandan?"

Bunda geleng-geleng. Ia terus memaksa Tiffany naik ke kamar. Setelah gadisnya itu menaiki tangga, Bunda mulai berjalan cepat ke dapur. Ia mengarahkan dua pembantu untuk menyiapkan acara malam ini. Sampai meja makan di tata rapi dengan taplak. Biasanya dibiarkan saja hanya dengan kaca hitam sebagai alas.

Selesai mandi, Fany siapkan diri dengan berdandan sesuai pesan Bunda. Ia kenakan dress berlengan sesikut dan rok di bawah lutut. Wajah juga lengkap dipoles dengan make up.

Turun ke lantai bawah, mata Tiffany terpaku akan kedatangan tiga orang asing di ruang tamu. Tiffany menyapa mereka satu per satu. Terlihat ketiganya kagum melihat sosok Tiffany.

"Anakmu ini, sejak kecil cantik. Sampai sekarang masih saja persis ibunya. Masa sih nggak ada yang ngelamar? Laki-laki mana juga pasti mau," ucap tamu pria dengan wajah lebih tua.

Ayah tertawa. Ia minta Tiffany duduk di antara ia dan Bunda. "Ini teman, Ayah. Ingat Oom Prapto yang dulu beliin kamu eskrim? Nah, ini. Yang punya bengkel mobil itu," jelas Ayah.

Hanya mengangguk dan tersenyum Tiffany saat meresponnya. "Ini loh, Ayahmu dan aku kemarin bertemu. Pas ngobrol, cerita tentang anak masing-masing. Katanya kamu belum menikah. Kebetulan anak Oom, Naufal ini belum menikah juga." Ia menunjuk pria di sampingnya.

Mata Tiffany sekilas melihat pria yang ditunjuk. Wajahnya memang tak setampan Daniel apalagi Dylano. Kulitnya sawo matang dan wajahnya manis. Hampir mirip Ariel Noah. Terutama di bagian mata yang sedikit sipit dan hidungnya.

"Salam kenal," sapa Naufal sambil tersenyum.

"Salam kenal juga," Tiffany membalas dengan malu-malu.

Setelah memperkenalkan Tiffany dengan Naufal, mereka sempatkan makan-makan. Terlihat jelas Ayah mengobrol akrab dengan Oom Prapto. Pria asal Jawa Timur itu banyak bercerita tentang usaha bengkelnya dan masa mudanya dengan Ayah dulu. Di sana Tiffany merasa cocok dengan Naufal. Paling penting dalam hubungan, antara orang tua saling dekat dan mengenal.

Selesai makan, kini Tiffany mengobrol dengan Naufal di halaman belakang. Mereka duduk di saung sambil menghadap ke kolam ikan. Masih menunduk malu Tiffany. Ia harus jaga image dulu tentu.

"Aku dengar dari Papa, kamu ini pintar buat roti? Hebat, donk!" puji Naufal. Cara bicaranya sungguh tak kaku. Malah sangat nyaman didengar dan terasa akrab. Jauh berbeda dari Dylano yang terlalu kaku.

"Makasih. Aku dengar juga kamu kerja di perusahaan negara. Pasti seleksinya susah. Aku saja dulu tes PNS nggak lulus terus," timpal Tiffany. Keduanya terkekeh.

"Kamu pernah tes PNS? Masa nggak lulus, sih? Papa bilang katanya kamu dapat beasiswa terus dan kuliah di luar negeri. Aku saja nggak keterima kuliah di universitas negeri di Indonesia. Aku yakin pasti kamu harusnya lulus." Naufal sedikit menundukkan tubuhnya.

Dengan tegas Tiffany menggeleng. "Justri nilai tesku rendah terus. Aku juga bingung. Mungkin rezekinya jualan roti."

"Jualan roti, tetapi penghasilannya fantastis. Kamu keren!" Naufal memperlihatkan dua jempol pada Tiffany sampai gadis itu tersenyum senang.

Dari sana mereka bercerita tentang hobi masing-masing. Ternyata mereka punya kesamaan. "Beneran, loh?"

"Iya, gara-gara Mama aku jadi suka. Terakhir nonton dramanya Song joong ki yang Vicenzo. Kamu nonton The King, nggak?" tanya Naufal membuat Tiffany berbinar.

"Iya aku nonton. Itu keren banget buat aku mikir keras. Sampai bingung, kok ini gini dan gitu. Pokoknya keren."

Cukup lama mereka mengobrol. Akhirnya, Tiffany temukan pria yang membuat ia nyaman berbagi cerita selain Daniel Hanif. Jika saja bukan karena Oom Prapto mengajak pulang, mungkin obrolan mereka akan bertahan hingga pagi.

"Aku hubungin kamu nanti, Fany!" pamit Naufal ketika Fany dan keluarganya mengantar mereka hingga ke teras.

Tiffany mengangguk. "Aku tunggu!" balasnya. Bunda dan Ayah sampai menyikut lengan Tiffany. Mereka turut senang, akhirnya ada juga pria yang mereka kenalkan dan nyangkut di hati anaknya.

🌳🌳🌳

🌳🌳🌳

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sepasang Sepatu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang