Pandangan memiliki batas yang disebut cakrawala
Siang dan malam memiliki batas yang disebut senja dan fajar
Aku ingin cintaku padamu tak ada batasnya
Banyak barang atau jasa yang harus dibeli konsumen diukur menggunakan utilitas marjinal
Banyaknya partikel dalam satu mol zat disebut avogadro
Banyaknya rasa sayangku padamu diukur dan disebut sebagai cinta sejati-Dylano Khani-
🌳🌳🌳
FLASHBACK
"Kok ada batu sebesar ini di sini?" tanya Tiffany sambil memeluk batu besar yang ia temukan di tengah kebun teh. Pipinya menempel pada batu itu seakan tak takut menjadi kotor. Dia hanya punya masalah jerawat menjelang jadwal bulanan, selebihnya kulit Tiffany selalu licin seperti keramik.
Tangan Dylano menarik gadis itu menjauh. "Jangan peluk-peluk, aku cemburu," protesnya dengan wajah merengut.
Tawa Tiffany begitu renyah terdengar. "Hei, itu cuman batu. Masa cemburu sama batu!"
"Kamu bilang aku ini nggak romantis kayak batu. Kalau cemburu sama batu lainnya, maklum."
"Aku mau naik ke situ, mau lihat pemandangan dari atas," pinta Tiffany sambil merentangkan tangan. Dylano gendong tubuh Tiffany untuk naik ke atas. Begitu keinginannya terpenuhi, Tiffany berteriak. "Dylano Al-lail Khani! Aku cinta kamu!" Setelah itu ia langsung tertawa.
Iseng Dylano mencari pijakan untuk naik. Di atas batu itu kini ia berdiri sambil memegangi tangan Tiffany agar tak jatuh. "Tiffany Anggraeni putri, aku cinta kamu!" timpal Dylano. Suaranya jauh lebih menggema dibanding Tiffany.
Mereka sangat bahagia hari itu dan saling berpelukan di atas batu seolah tak merasakan bagaimana kesepiannya batu itu di sana. Kabut sore mulai menganyam diri di atas pucuk daun teh. Kini giliran mereka pulang. Dylano turun lebih dulu lalu disusul kekasihnya.
"Tunggu!" Tiffany menarik tangan Dylano. "Kita tandain batunya jadi tugu cinta kita berdua, yuk!"
Dylano mengangguk. Mereka berjalan ke bagian belakang batu yang menghadap ke timur. Tiffany membuka tas punggung dan mengeluarkan spidol dari sana. Spidol papan tulis yang berwarna putih itu terlihat jelas kalau digoreskan pada bebatuan.
"Mau tulis apa?" tanya Dylano.
"Kamu yang pikirin. Aku yang tulis," saran Tiffany.
"Kok aku yang mikir?"
"Soalnya tulisan kamu jelek."
Setelah lama mereka berdiskusi tentang tulisan yang akan digoreskan di atas batu itu, akhirnya mereka sampai dalam mufakat. Tiffany menulisnya dan di bawah tulisan, dibubuhi tanda tangan pun nama oleh keduanya.
Kami saling mencintai. Jika suatu hari sesuatu memisahkan kami, kami akan memilih bersama meski dalam keadaan mati.
-Dylano dan Tiffany-
FLASHBACK OFF
Nyatanya mereka memang menepati janji. Tepat saat Tiffany menerima undangan dari Dylano, ia berdiri di pinggir jalan dan berniat bunuh diri dengan menabrakan tubuh ke kendaraan yang lewat. Hari itu bersamaan dengan malam pernikahan Dylano. Malam saat pria itu pergi ke jembatan dan berniat menjatuhkan diri ke rel kereta.
Syukur, jika saja saat itu Daniel tak menolong Tiffany dan Dylano tak disusul oleh Ben juga Tedy, hari ini mereka tak akan duduk bersama di batu yang sama sambil memandang langit dan hamparan kebun teh.
"Heh, Dylan! Kita di sini hanya berdua. Jangan mikir macam-macam, ya!"
"Emangnya kamu kira aku akan ngapain?" Dylano melirik Tiffany dengan wajah masam.
"Kamu 'kan duda. Mana sudah empat tahun sendiri. Nggak mungkin kalau nggak merasa apa-apa ditempat sepi begini sama wanita secantik aku," jelas Tiffany sambil mengedip-ngedip manja.
"Kalau sama yang lain nggak ngaruh. Kalau sama kamu aku nggak jamin," celetuk Dylan. Seketika itu, Tiffany sedikit bergeser menjauhi Dylano. "Jangan mikir yang aneh-aneh!" Dengan telunjuk, ia toyor jidat Tiffany dan membuat gadis itu tertawa.
Mereka sempat terdiam dan menikmati dinginnya suhu di pegunungan sore hari. Tak lama Tiffany iseng melirik Dylano. Ia terpaku pada bahu pria itu yang kini terlihat bervolume. "Waktu SMA saja dia sudah kelihatan berotot, apalagi sekarang, ya," batin Tiffany.
"Bahu kamu lebar, ya? Pas banget buat nyandar kalau sedih. Tempat nyandar istri kamu, maksudnya," sindir Tiffany.
Mata Dylano melebar. Ia bertatapan kembali dengan gadis di sampingnya. "Kalau kamu jadi istriku, mau bersandar di sini?"
Seketika Tiffany meneguk ludahnya. Kemudian ia langsung mengembalikan kesadaran dan tersenyum jahil. "Nggak semudah itu Tuan Khani. Berjuang dulu sampai aku yakin!"
"Kamu paling bisa jual mahal."
Ada jeda lagi di antara mereka. "Kamu sudah baikan?" tanya Dylano. Tak lama ia menyesal menanyakan itu. Ternyata Tiffany sudah terisak sambil memeluk lututnya.
Tiffany sudah berusaha menahan tangis, tetap saja akhirnya tumbang juga. "Apa aku begitu buruk sampai pria baru peduli karena aku kaya? Aku ini jelek, ya? Apa aku ini membosankan. Iya sih, dulu ada pria yang bilang begitu. Aku memang tak pantas dicintai."
"Mau aku peluk?" tawar Dylano. Ia pikir Tiffany akan menolak dengan marah-marah. Menurutnya kalau Tiffany marah padanya, rasa sedih pada Naufal akan hilang. Ternyata salah, Tiffany memeluknya dengan erat. Bahkan gadis itu menyandarkan wajah di dada bidang Dylano. Lengan Dylan melingkar memeluk tubuh gadis itu. Tiffany terisak. Sedang Dylan hanya diam menatap kosong ke depan.
"Aku sendirian. Aku nggak ada teman. Temanku sudah menikah semua. Daniel punya Ema dan kamu nggak ada. Ayah dan Bunda ingin aku menikah, hanya laki-laki yang dikenalkan padaku selalu menilaiku membosankan. Bahkan sekalinya ada, dia hanya suka uangku. Kalau main aku hanya sendiri atau diam di kamar. Hidupku membosankan." Begitu serak dan lirih suara gadis itu.
Dylano mengusap rambut panjang dan hitam Tiffany. Saat itu, Tiffany mungkin berpikir hanya dia yang sedih. Dylano diam karena matanya berkaca-kaca dan tak lama air matanya jatuh. Amarahnya kembali. Mengawang ia mengingat sosok Abraham dan Tiara. "Ini yang kalian inginkan? Apa kalian bahagia melihat dia begini?" pikir Dylano.
Rintihan Tiffany semakin terdengar pilu dan pelukan Dylano semakin erat. "Dengar, kau berharga untuk Ayah dan Bunda. Kamu bilang sendiri. Aku juga, kali ini aku tak pergi lagi. Katakan kamu mau main ke mana, aku temani kamu."
Tiffany menggeleng. Tangannya meremas bagian belakang kemeja biru muda Dylano. Hangat dalam pelukan pria itu. Perlahan tangisan Tiffany mulai mereda. Dylan hapus air mata gadis itu. "Jangan menangis, kamu cantik kalau senyum. Kamu nggak perlu menyandar di bahuku. Kalau kamu sedih, aku akan peluk kamu seperti ini."
Tiffany mengangguk. "Kamu bilang hanya pergi sebentar. Kok lama, sih? Aku keburu jadi nenek-nenek!" protesnya.
Dylano tertawa. "Kamu jadi nenek-nenek juga masih cantik. Karena aku cinta kamu."
"Kenapa kamu cinta sama aku?"
"Aku tak tahu. Coba beri saja satu alasan kenapa aku harus mencintaimu. Jika menurutmu tak ada, biarkan. Aku tetap mencintaimu." Kecupan hangat Dylano mendarat di kening Tiffany.
Dengan mata yang basah Tiffany tersenyum. "Ini bukan artinya aku nerima kamu, loh! Jangan GR!"
"Iya."
🌳🌳🌳
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepasang Sepatu (TAMAT)
Romantizm(SUDAH TERBIT CETAK DI PENERBIT KATADEPAN) Tiffany terpaksa bertemu kembali mantan kekasihnya, Dylano dalam reumi SMA. Ia ingin membuat pria itu terpesona dan menyesal sudah memutuskan hubungan mereka. Apalagi delapan tahun lalu Dylano hilang begitu...