15. Gertakan

9.7K 1.8K 255
                                    

Maaf ya karena up tiap hari nggak sempat nyari visualnya 🤣🤣🤣. Jangan lupa baca Langkah Cinta Al-Aslami di KBM. Sudah update kok.

🌳🌳🌳

Kamu itu laut di kedalaman 1000 Kilometer
Tak ada cahaya yang menembus
Tengah malam terjadi sepanjang hari
Kamu penuh dengan tekanan dan misteri
Kamu ketenangan dalam senyap yang gelap

-Dylano Al-lail Khani-
Bandung, hari ini

🌳🌳🌳

"Kamu marah?" Serangan langsung Tiffany mendapat perlawanan instan. Jelas, apa yang ditakuti seorang Dylano dari Tiffany? Dari uang, kekuasaan dan popularitas tentu kalah jauh. Hanya satu, cinta membuatnya tak berdaya menghadapi gadis sebaya dengannya itu.

"Kenapa harus marah, itu urusan pekerjaanmu, 'kan. Aku tak berhak ikut campur." Tangan Tiffany melipat di depan dada. Sengaja ia tegakkan tubuhnya dan diangkat sebelah kaki untuk duduk di atas kaki yang lain. Posisi yang orang bilang, the power of emak.

"Ikut campur juga tak apa." Telak jawaban Dylano membuat Tiffany terbelalak. Ia sampai cegukan.

Mengambil napas dan mulai mengembalikan kesadaran, Tiffany sedikit menaikan dagunya. "Maksudnya?" Dan sedetik kemudian ia menyesal kenapa harus mengucapkan pertanyaan konyol itu.

Dylano hanya tersenyum tipis. Ia mencodongkan tubuhnya ke depan hingga wajah keduanya berdekatan. Sejurus kemudian, Tiffany menghindar dengan bergeser mundur. Sayang tubuhnya sudah berada di ujung sofa.

"Kamu berubah banyak." Lembut ucapan pria itu membuat tengkuk merinding. Tatapannya itu masih seperti pintu Insidious, misterius dan menakutkan. Namun, memancing rasa penasaran untuk membuka dan masuk ke dalam sana. Walau risikonya tak akan bisa keluar lagi.

Tak mau kalah dalam perang, Tiffany sengaja memajukan wajah hingga hanya tersisa beberapa senti ruang di antara mereka. "Apanya? Masih sama saja. Bukannya kamu yang berubah. Setahuku Dylano tak bisa bangun pagi."

"Aku pergi dulu," pamitnya tak melanjutkan obrolan.

"Sialan! Sudah buat baper malah pamit!" umpat Tiffany dalam hati. Ia tunjuk pintu kantor. "Silakan, pintu masih terbuka, kok."

"Aku harap nanti tak tertutup lagi."

Dylano bangun dari duduknya. Ia ingin di sana lebih lama. Hanya ada banyak tanggung jawab yang harus ia lakukan. Cinta tak bisa membuat orang menjadi egois. Karena pada dasarnya dalam kehidupan, cinta hanya menempati sebagian ruang.

Tiffany ikut berdiri. Ia antar Dylano ke lantai dasar di mana pintu keluar berada. Pria itu sempat melihat ke sekeliling toko. "Kamu hebat bisa bangkit sejauh ini," puji Dylano. Mereka berjalan bersebelahan.

"Tentu harus bisa. Aku belajar keras dari kehidupan. Rumus dunia ini tak sesederhana X kali X sama dengan X kuadrat dan X tambah X sama dengan dua X." Mata Tiffany terpaku pada pimtu keluar yang terbuat dari kaca dan berangka besi putih.

"Benarkah?"

"Aku yang bahkan nggak pernah tahu jalan di kota tempat aku lahir dan tinggal, merasakan tak punya uang dan menahan lapar di negara orang," ucap Tiffany sambil tersenyum perih.

Dylano berhenti berjalan. Ia tercekat. Matanya menatap lurus ke arah Tiffany dengan sudut mata yang melebar.

Fany sadar Dylano berhenti. Ia berbalik hingga keduanya kembali berhadapan. Hanya Tiffany memperlihatkan senyuman hangat. "Bukan cuman kamu yang berpetualang. Aku juga bisa berpetualang jauh dan ini hasilnya," ucap Tiffany dengan lepas.

"Luar biasa. Kamu memang hebat dengan cara kamu sendiri."

Setelah itu Dylano melangkah keluar. Tiffany berdiri di teras dan menatap pria itu berjalan ke arah mobil mewah dengan cat silver. Mobil yang berbeda saat mereka bertemu di lampu merah. Dylano tak melambai. Ia langsung masuk ke dalam mobil dan meninggalkan pelataran parkir.

"Setelah ini kita tak akan bertemu lagi, kah? Sebaiknya memang begitu. Sepertinya kamu bahagia dengan istrimu." batin Tiffany lalu ia berjalan masuk ke dalam toko.

Sementara Dylano masih menyetir mobilnya. Ia pegang erat kemudi. Pandangan matanya melebar. Pikirannya mulai kabur. Ini seperti kembali ke masa lalu.

(Paling males nulis kata ini karena tak mencirikan seorang penulis handal. Demi yang baca harus ngalah, FLASHBACK) 😭😭

Semalaman menulis sebuah surat, ia masukan dalam amplop yang diminta dari pembantu di rumahnya. Dengan susah payah ia simpan amplop itu di dalam kaos kaki. Ia takut jika sampai tasnya digeledah di pintu masuk.

Selesai kelas, Dylano melangkah menuju perpustakaan. Bodyguardnya selalu mengikuti dan itu membuatnya panik sendiri. Jika saja ia salah langkah, semuanya akan berakhir hari itu juga.

Syukur penjaga perpustakaan tak mengizinkan keempat penjaga itu masuk. Mereka berpencar menjaga di dua pintu perpus takut Dylano kabur. Tentu Dylano tak akan melakukan itu. Ia harus tetap di sini menjaga segalanya berjalan baik-baik saja sesuai janji Papanya.

Perpustakaan di kampusnya saat ia masih mengejar gelar Bachelor memiliki desain modern. Lumayan banyak mahasiswa datang ke sana. Duduk di depan seorang mahasiswa berwajah Asia, Dylano mengeluarkan pulpen dan kertas. Ia menggambar telapak tangan tanda permintaan tolong dan menggesernya ke tengah meja.

Syukur, mahasiswa di depannya melihat itu. Ia menatap Dylano dengan wajah khawatir, tetapi berusaha tak bertanya. Dylano memiringkan tubuh untuk mengambil surat di dalam kaos kaki. Surat itu langsung ia pindahkan ke dalam buku manajemen bisnis yang ia ambil di rak perpustakaan.

Pria itu langsung menutup buku begitu melihat Tiara datang menghampirinya. Ia tersenyum menatap gadis itu. "Kamu sedang belajar?" Tiara duduk di sampingnya. Sesaat itu juga Dylano semakin panik. Ia sempat melirik buku di meja. Tiara pasti datang karena melihat bodyguard Dylano menunggu di luar. Dia tak akan mungkin mudah dilepaskan sendiri begitu saja, sehingga Tiara yang masuk ke dalam.

"Iya, tapi aku lapar sekarang. Kita makan siang saja," ajak Dylano. Ia tahu harus membawa Tiara pergi dari sana sebelum siasatnya ketahuan. Syukur, Tiara mengangguk. Keduanya bangkit dan berjalan meninggalkan perpustakaan. Tiara memeluk lengan Dylano. "Sore nanti jangan lupa, kita ada undangan makan malam dengan Papaku. Dia ingin kamu memberi dia saran untuk pengembangan bisnis fashionnya."

Dylano mengangguk. Pikirannya masih terpaku pada surat di dalam buku. Dylano harap surat itu sampai pada orang yang alamat dan namanya tertulis di amplop, Daniel Hanif.

FLASHBACK OFF

Air mata Dylano mengalir. Mendengar Tiffany mengatakan kata menahan lapar batinnya tersakiti. "Apa surat itu tak sampai?" pikirnya. Di sana ia merasa hancur. Banyak hal yang tersembunyi dan ia tak tahu.

Tak ada yang tahu seberapa besar Dylano mencintai Tiffany dan seberapa dalam lukanya. Ia selalu menahan itu sendiri. "Kamu salah, Tif. Kamu salah menyuruhku belajar menyayangi. Kamu bilang dengan menyayangi kamu, aku juga harus belajar menyayangi semua orang. Ketika aku bisa menyayangi mereka, aku malah kehilanganmu. Katakan, apa mereka peduli pada perasaanku? Apa mereka datang menolong saat kamu membutuhkan? Nyatanya kamu menderita sedalam itu."

Ia memukul kemudi. Sebenarnya masih banyak waktu ia bisa habiskan dengan Tiffany saat itu. Hanya Dylano tak pernah kuasa menahan air matanya. Ia bukan pria yang mudah membagi kesulitan dengan pasangan. Ia hanya ingin Tiffany bahagia dengan cara apapun. Nyatanya kebahagiaan yang pernah ia ciptakan untuk Tiffany ternyata tak pernah benar terjadi. Papanya mengingkari janji.

🌳🌳🌳

🌳🌳🌳

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sepasang Sepatu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang