"Iya, siapa lagi kalau bukan Dylano Khani. Dia ngaku sendiri di ruang kepala sekolah. Ya ampun, keren banget dia. Gentle!" puji Arinda, salah satu siswi di kelas Tiffany.
"Gentle? Apanya? Dia jelas-jelas nyiram komputer sekolah pakai kopi dan mengakui, apanya yang gentle? Memang dia sudah menyelamatkan dunia? Dia malah lebih pantas disebut mesin penghancur," batin Tiffany.
Awal masuk ke bangku SMA, dia merasa jadi anak paling beruntung di dunia. SMA Berbudi, salah satu SMA kelas tinggi di Kota Bandung memiliki program menerima sepuluh siswa tak mampu yang akan mendapat beasiswa sekolah gratis. Tiffany salah satu yang mendaftar dan lolos. Ia bisa saja masuk SMA Negeri. Hanya ia ingin terlihat lebih keren saja dari putri Uwanya yang rese dan lebih elegan karena masuk SMA elite.
Keberuntungan itu datang di awal. Begitu masuk, ia merasa menyesal. Anak-anak di sini memang tak ada yang suka membully secara fisik, hanya secara verbal juga sikap. Contoh saja di kelas tak ada yang mau mengisi meja di depan dan samping Tiffany. Kecuali dua orang, ketua kelas dan sepupunya : Lorna dan Irma.
Bisa dibilang Tiffany ini murid ghaib, karena hanya Lorna dan Irma yang melihat keberadaannya sejak pertama masuk sekolah. Sedih? Biasa saja. Bagi Tiffany lebih baik punya dua sahabat setia daripada ratusan teman yang baik di depan dan menusuk dari belakang.
Bagian paling menyedihkan adalah saat banyak orang membicarakan tentang kenakalan seorang siswa bernama Dylano Khani. Siswa yang tak kenal takut hingga seluruh siswa lain tunduk dan para siswi di sekolah ini jatuh hati padanya. Mendengar perilakunya saja Tiffany sudah merasa takut. Hingga ia melihat bentuk makhluk itu, semakin takut dan merinding tubuh Fany.
Ingat pria yang Tiffany omeli akibat cimol? Iya, benar sekali. Pria itu Dylano Khani. Awal bertemu Tiffany sudah mengibarkan bendera perang. Kalau sampai dia tahu Tiffany ada di sekolah ini, apa kabarnya gadis itu? Akhirnya Tiffany hanya bisa berikhtiar, sembunyi jangan sampai Dylano melihat wajahnya.
"Dih, wajah tampan memang bisa membuat wanita bego tambah bego," omel Lorna. Ia memutar kursi menghadap ke meja Tiffany. Mungkin ikut gaya Shahrukh Khan, sengaja ia menyampirkan lengan sweater di bahu. Sedang bagian badannya menggantung di punggung.
"Dylano itu iblis, tapi mereka kenapa pada suka, ya? Sampai Dylano datang disambut kayak nyambut presiden. Benar-benar nggak punya otak," timpal Irma.
Beruntunglah orang tampan di dunia ini. Contohnya Dylano yang sudah tercipta sebagai pembuat ulah, ia masih dicintai para wanita. Bahkan dipuja seperti pahlawan. Dia memang bukan tukang bully. Hanya saja sudah memecahkan rekor kenakalan siswa di sini.
Hari pertama masuk sekolah, ia datang terlambat. Karena gerbang di tutup, ia tabrak gerbang dengan mobil. Hari kedua, ia bakar ban di kelas akibat tak terima ditegur senior yang memimpin kegiatan MOS. Hari ketiga, ia mengatai kepala sekolah botak saat upacara penerimaan siswa baru akibat kepala sekolah terlalu lama berpidato.
Jika harus diurutkan kenakalannya sejak pertama masuk hingga tiga bulan ini, KBBI saja kalah tebal. Banyak siswa yang protes agar Dylano dikeluarkan. Sayangnya siswi kecentilan sekolah ini menolak. Siapa juga yang bisa mengusir Dylano dari sini. Orang tuanya langsung menyumpal dengan sumbangan besar.
"Apa orang tuanya tak memarahi dia?" tanya Fany sambil berbisik takut ada yang mengadu pada Dylano.
"Kamu bercanda? Orang tuanya pengusaha, sibuk. Dia dilempar ke sini lantaran di Amerika nggak ada satu pun sekolah mau menerimanya. Makanya dititip ke nenek dan kakeknya. Katanya Dylano lebih nurut sama nenek dan kakeknya," jelas Lorna.
"Intinya dia dibuang," tambah Irma lebih kejam.
Kelas saat itu sedang ribut hingga obrolan mereka tak terdengar jelas oleh siswa yang lain. Masih ada sepuluh menit lagi hingga bel masuk berbunyi. Kelas Tiffany sangat kental suasana khas seperti kelas-kelas di sekolah negara Jepang. Bangunan dengan desain modern dan jendelanya menghadap keluar. Pintu keluar menghadap lorong yang memisahkan dengan kelas di sampingnya. Lorongnya cukup luas hingga beberapa kursi panjang disimpan di sana.
"Dia itu tiga bersaudara. Adik dan kakaknya sangat baik dan berprestasi. Kakaknya atlet catur dan adiknya pianis. Dia anak gagal satu-satunya. Orang tua Dylano yang dipuji pengusaha lain akibat sukses mendidik kakak dan adiknya mendadak jatuh karena kelakuan Dylano. Lebih baik anak itu disembunyikan, 'kan?"
Tiffany enam belas tahun lalu dan kini di tahun 2020 akan selalu berpikir hal yang sama, "Tak ada anak yang gagal. Hanya orang tuanya saja tak tahu apa kelebihannya."
Benar, Dylano bukan lagi anak nakal yang dibuang orang tuanya. Dia berubah menjadi pria yang disegani banyak orang akibat kemampuannya dalam memimpin perusahaan.
"Setelah ini, mungkin kita nggak akan ketemu. Paling tidak, aku tahu kamu bukan sampah masyarakat lagi," batin Tiffany sambil menyetir mobil.
Ia sengaja lewat daerah Cicadas sebelum belok ke Supratman. Jam lima sore biasanya martabak Mang Saswi sudah buka di sana. Hingga kini martabak itu menjadi favorit Tiffany.
Menepikan mobil di pertokoan tak jauh dari pasar, Tiffany kaget bukan main. Ada banyak seng yang menutupi sisi trotoar menjadi semacam pagar. Dari mulai pertokoan ini, berjajar hingga bermeter-meter jauhnya. Harusnya ini menjadi perkampungan tempat Tiffany tinggal dulu. Kini jalan gangnya juga ditutupi seng.
Berjalan sepanjang pagar yang memiliki gambar sebuah apartemen mewah, Tiffany dipenuhi tanya. Ia hanya melihat cetakan nama pengembang di pagar seng, PT Bangun Bersama dan Rubber Property. Tak ingin dibuat lama penasaran, Tiffany bertanya pada Google. Rubber Property, perusahaan yang menjual properti berupa rumah dan apartemen ini ternyata holding companynya adalah Khan & Y Grouph yang Tiffany tahu pimpinannya adalah Dylano Khani.
"Ah, sial! Kalau tahu dia akan meratakan tempat tinggalku yang dulu, aku bunuh saja dia tadi. Dia memang kurang ajar! Maksudnya apa? Dia nggak mungkin tak tahu aku lahir dan besar di kampung ini. Dia sering main ke kontrakanku. Memang dasar nggak punya otak kamu, Dylano!" maki Tiffany tak sadar itu bukan dalam batin.
Saat berbalik, dia kaget orang-orang yang lewat bergidik melihatnya. Tiffany hanya bisa nyengir kuda. Akibat malu, ia urungkan niat membeli martabak lalu kembali ke mobil dan mengunci pintunya.
Duduk di kursi kemudi, emosi Tiffany kembali bangkit. Tangan Tiffany mengepal ke udara. Matanya tajam ke arah depan mobil. "Kita akan ketemu lagi saat kamu mengembalikan topiku, 'kan? Lihat saja, aku akan sindir kamu habis-habisan. Kamu pikir aku takut apa?" omelnya. Kaki sampai menendang dashboard mobil.
"Kalau perlu aku siapkan pohon cikur untuk gantung kamu di sana." Mungkin Tiffany tak tahu kalau pohon cikur alias kencur batang pohonnya sangat pendek hingga daunnya menyentuh tanah.
🌳🌳🌳
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepasang Sepatu (TAMAT)
Romance(SUDAH TERBIT CETAK DI PENERBIT KATADEPAN) Tiffany terpaksa bertemu kembali mantan kekasihnya, Dylano dalam reumi SMA. Ia ingin membuat pria itu terpesona dan menyesal sudah memutuskan hubungan mereka. Apalagi delapan tahun lalu Dylano hilang begitu...