12. Sama Saja

11.5K 1.8K 237
                                    

Melati itu ....
Warnanya hanya putih
Tak memiliki banyak mahkota bunga
Tak memiliki banyak pola
Kecil
Pohonnya tersembunyi disemak
Dia hanya wangi
Wangi yang tak semua orang suka
Aku suka

-Dylano .A. Khani-

🌳🌳🌳

"Pada akhirnya, aku hanya melihat punggungmu menjauh," batin Tiffany. Berjalan keluar setelah acara berakhir, ia terpaku pada sosok Dylano yang berjalan cukup jauh darinya. "Dia bahkan tak pamit, tak bilang apa-apa lagi. Ah, aku ini mikir apa? Bagus, donk!"

Namun, melihat punggung Dylano rasanya seperti terhipnotis masuk dalam mesin waktu. Punggungnya tak selebar itu waktu SMA dulu. Dia tak mengenakan jas. Tahun 2004, sebelum Indonesia mengenal Laudya Cynthia Bella dalam film Virgin, Tiffany lebih dulu bertemu dengan Dylano Khani.

🌳🌳🌳

Bandung, 2004 sebelum hari pertama masuk sekolah

Polusi sudah menemani tahun itu. Di atas trotoar yang masih tertempel ubin dengan pola barisan bulat menonjol - sebagian pecah karena waktu dan pemotor nakal - berdiri gerobak tepat di depan pasar Cicadas.

Itu memang menyalahi aturan kota, hanya urusan perut dan keluarga menjadi alasan utama. Yang penting, sedikit memberi ruang untuk pejalan kaki. Trotoar itu sebenarnya cukup luas hingga masih ada ruang pejalan kaki di antara pedagang kaki lima dan pertokoan.

Gadis itu duduk di atas bangku kayu yang seratnya semakin terlihat jelas akibat waktu. Miring sedikit bangku itu berbunyi persis seperti rem yang ampasnya kotor.

Tak ada ponsel saat itu, bukan belum dicipta, tetapi belum dibeli. Lebih tepatnya ponsel tak terbeli olehnya. Hiburan baginya hanya sebuah radio tape kecil yang disimpan dengan cara digantung pada tiang gerobak menggunakan tali rapia merah. Bukan oleh listrik, radio itu menyala karena baterai ukuran D sebanyak dua buah.

Ditemani suara Andi Meriem Matalatta dengan lagunya Jumpa Lagi, gadis itu memasukan gorengan ke dalam bungkus kertas saat pembeli datang. Gerobak bertuliskan Gorengan Jatmika di kaca, selalu ramai. Rangka kayu berwarna merah membuat penampakannya begitu cerah baik di siang atau malam hari.

Jatmika, nama Ayah Tiffany. Pria itu sudah menjadi tukang gorengan sejak masih bujangan. Hingga ia menikah dan memiliki dua orang anak, Davis dan Tiffany. Sayang, istri pertamanya meninggal setelah melahirkan Tiffany. Tiga tahun kemudian, Jatmika menikah lagi dengan tetangganya. Dari istri kedua dia memiliki anak perempuan yang masih TK bernama Clara.

"Nuhun, Kang." Kantong kertas itu ia berikan pada pemesan setelah diisi cabe rawit hijau. Jangankan manusia, rawit pun punya pasangan sendiri. Rawit hijau kecil itu lebih enak dicamil dengan gorengan daripada jadi sambal seblak.

Ayahnya tak kunjung kembali. Langit sudah gelap. Dari jam tangan Doraemon yang ia beli dengan harga lima belas ribu saat lari pagi ke Oray Tapa dengan Ayah, terlihat angka delapan. Sama sekali Tiffany tak takut. Ia santai saja mengusir laron alias siraru yang terbang akibat tertarik oleh lampu petromak. Padahal ia masih SMP, senin besok baru sah jadi anak SMA. Tiffany sudah biasa menunggu gerobak gorengan jika ditinggal Ayahnya.

"Teh, ada cireng?" tanya seorang pria yang baru menepikam motor sambil berteriak dengan maksud agar Tiffany mendengar.

Kepala gadis itu mengintip dari sisi kanan gerobak. Ada seorang laki-laki yang mungkin seusia dirinya hanya lebih tinggi, masih duduk di motor. Wajahnya bule, tetapi fasih bertanya dalam bahasa Indonesia.

"Habis, Mas," jawab Tiffany juga sedikit berteriak akibat kalah dengan suara kendaraan yang lewat.

Pria itu melihat dari balik kaca seolah tak percaya. "Itu ada!" tunjuknya pada benda bulat kecil yang menggunung dalam wadah baskom hijau muda dan berada paling kiri dekat dengan penggorengan.

Sepasang Sepatu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang