38. Hukuman

9.8K 1.6K 162
                                    

Aku selalu ingin meninggalkannya dulu, karena merasa tak pernah pantas untuknya. Karena harta, popularitas dan sifat kami jauh berbeda. Namun, dia begitu keras ingin bersamaku.

Berpisah dengan Dylan membuatku sadar, aku tak bisa hidup tanpanya. Berpisah jauh lebih sulit daripada bertahan dalam perbedaan. Pernikahan Dylano bukan pengkhianatan, itu hukuman untukku. Aku yang selalu mudah mengatakan ingin putus dan menjauhinya. Aku memang harus dihukum dulu baru sadar.

Kini, aku tak akan meninggalkannya lagi. Perbedaan ada untuk kita berusaha menerima dan menguranginya dengan usaha. Aku akan berusaha untuk mewujudkan keinginannya, bersama.

Tiffany
Bandung 2020

🌳🌳🌳

FLASHBACK

Tiffany terkejut. Ketika dia datang ke sekolah hari itu, Dylan tak ada. Hanya saja Ben dan Tedy selalu mengikuti. Tentu saja Tiffany merasa tak nyaman.

"Dylan ke mana?" tanya gadis yang kini sudah kelas dua itu. Sepatunya masih sama, yang dibelikan Dylan.

"Sakit dia. Tadinya nggak mau bilang takut kamu khawatir," ungkap Ben.

Tiffany menunduk sedih. Dia menghela napas dan menggigit sedikit bibir. "Ingin jenguk juga nggak bisa. Mamanya pasti akan usir aku. Aku takut, Ben. Kalau mereka pulang ke Amerika juga, pasti penjaganya yang nggak izinin." Dilema Tiffany. Pertama kali datang ke rumah Dylano dan bertemu ibunya, ia dimaki, dipelototi sampai diusir. Sedihnya, dia hanya bisa menangis di belakang punggung Dylan dan melihat pria itu bertengkar dengan orang tuanya.

Galau tak bertemu Dylano, Tiffany tak berkonsentrasi hingga tersandung di jalan. Sore ini sepulang sekolah ia harus mengantar gorengan. Biasa pekerja di sekitar jalan Cicadas akan memesan gorengan sebagai camilan sore. Kali ini ia harus mengantarkan gorengan lebih jauh, tepatnya ke daerah Antapani.

Di sini pertokoan ramai oleh pengunjung. Banyak tempat makan, toko pakaian hingga apotek. Sakit jari kaki Tiffany melawan kerasnya batu trotoar. Sengaja ia menepi dulu dekat jendela kaca sebuah restoran. Nyeri di jari kaki masih terasa hingga tak kuasa berjalan lagi.

Sempat ia melirik ke dalam restoran yang menurutnya ayam goreng di sana mahal. Banyak orang-orang sedang makan dengan lahap. Mereka beruntung menurut Tiffany, bahkan ia tak pernah tahu rasa ayam goreng di sini. Ia tak tahu rasanya pizza, tak tahu rasanya burger. Bahkan tak tahu cara makan di restoran itu. Bisa makan saja untung.

"Nanti kalau aku kuliah, aku mau kerja di tempat yang gajinya besar. Aku mau ajak Clara, Ayah sama Bunda makan ayam ini," tekadnya.

Tanpa sengaja ia melihat seorang lelaki tengah mengantarkan makanan. Tiffany kenal dengan lelaki itu walau ia mengenakan topi. Wajah tampannya menyita perhatian para pengunjung di sana. Terlebih wajah bulenya lebih dominan.

"Dylano?" Tiffany masih memperhatikan apa yang Dylan lakukan di sana dan membuat kesimpulan.

Setelah mengantar gorengan, Tiffany kembali ke restoran itu. Ia tunggu Dylano keluar agar tak memancing keramaian.

"Sedang apa kau di sini?" tegur Tiffany begitu Dylan keluar dari dalam restoran.

Dylan kaget melihat Tiffany sudah berdiri di depan pintu. "Tif, kamu membuatku terkejut! Kamu sendiri kenapa bisa ada di sini?" dia malah balas bertanya.

"Aku menunggumu dari tadi. Dan kamu baru keluar sekarang. Lagi apa di sini?"

Dylan kelihatannya bingung menjawab pertanyaan Tiffany. "Hanya main," jawabnya.

Tiffany memelototi lalu memukul lengannya. "Jangan berbohong. Untuk apa kau main di sini sambil memakai seragam karyawan di sini? Aku lihat kamu mengumpulkan piring kotor dan membersihkan meja."

Sepasang Sepatu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang