37. Aku Bukan Wanita Lemah

9.6K 1.9K 437
                                    

Kenapa sih kita harus terpisah delapan tahun lamanya? Kenapa aku harus lewati jejak hidup yang sulit tanpa kamu? Kenapa aku harus masuk dalam dunia baru sendirian tanpa teman?

Sementara kamu, ke mana kamu pergi? Aku seperti bermimpi melihatmu dan saat bangun kamu tak ada. Kamu tahu, sulit sekali menarikmu keluar dari dalam mimpi. Dan aku tidak berdaya akan ketidakmampuan itu. Kamu nyata, tetapi hanya menjadi milik mimpiku saja. Padahal dulu, tangan ini bisa memelukmu. Telinga ini bisa mendengarmu. Kamu kini hanya angan yang terdengar dari embusan angin dan terasa, tetapi tak tersentuh.

Bandung, 2011

-Tiffany Anggreni Putri-

🌳🌳🌳

Tiffany tahu ia kuat dalam menghadapi ekonomi keluarga. Namun, ia lemah dalam menghadapi manusia. Setiap kali ia dirundung karena menjadi gadis miskin, ia hanya bisa diam. Ia biarkan mental dan fisiknya jadi korban. Ia hanya tahu tak bisa apa-apa.

Ketika Dylano datang, Tiffany menjadikan pria itu pelindung. Ia mulai berani bersosialisasi karena tahu ada nama Dylano tempat ia bergantung. Ketika Dylano pergi, ia tak bisa apa-apa lagi.

Keadaan memaksanya untuk keluar dari semua itu. Tinggal di negara orang bukan hal yang mudah. Harus angkat galon sendiri ke lantai tiga, mencari makanan halal, melewati jalanan penuh es yang licin bahkan kepedihan tak punya uang sementara orang tua jauh di sana.

Ketika pagi menjelang, segelas air putih ia minum untuk menahan lapar. Kadang sepotong roti ia bagi untuk tiga kali makan. Perlahan Tiffany mulai beradaptasi. Ia tahu manusia makhluk sosial dan membutuhkan orang lain. Ia mulai belajar meminta seseorang untuk menolong dan memberi pertolongan.

Temannya mulai bertambah dari berbagai karakter berbeda. Sedikit demi sedikit Tiffany belajar tentang watak orang dan lama kelamaan, ia mulai menyesuaikan diri untuk menghadapi setiap karakter orang, termasuk cara melawannya.

Andai itu Tiffany delapan tahun lalu. Membaca isi surat Dylano pada Daniel, ia hanya akan duduk diam, menyesal, merasa bersalah dan menangis. Bahkan menelpon Dylano dan meratap minta maaf. Tidak, ini Tiffany yang sudah menaklukan dunia.

Berbekal nama yang Dylano tulis dalam surat, ia mulai mencari siapa orang itu. Banyak artikel muncul dan akhirnya mengantarkan Tiffany pada seseorang yang harus bertanggung jawab atas semua ini.

Melewati gerbang tinggi, halaman luas, teras yang seluas lapangan futsal dan pintu sebesar mobil akhirnya Tiffany tiba di ruang tamu sebuah rumah.

"Kamu?" Wanita paruh baya yang tinggal di rumah itu lansung menunjuk wajab Tiffany.

"Saya Tiffany Tante, saya calon istrinya Dylano. Calon menantu anda," jelasnya membuat Cecilian Khani terbelalak.

"Lancang kamu! Memang kamu ini siapa? Gadis miskin berani-berani mengaku ingin menjadi calon istri putraku!" Melotot mata Cecilia.

Ini sudah pernah Tiffany hadapi waktu SMA dulu dan ia hanya menangis. Kini lain ceritanya.

"Aku nggak miskin, Tante. Pendapatanku kemarin saja seratus juta. Aku Tiffany, seorang master lulusan Sorbone. Aku pernah menghidangkan roti untuk Presiden Indonesia dan Prancis. Usahaku mendapat penghargaan top brand dan masuk ke dalam banyak majalah nasional," jawab Tiffany.

Cecilia mengeluarkan decakan dari mulut. "Terus kamu pikir itu sepadan dengan putraku?"

"Sepadan, karena aku dan dia saling mencintai. Kalau dia tak ingin denganku, itu namanya paksaan. Cinta sepadan karena memiliki perasaan yang sama!" tegas Tiffany.

"Halah! Paling kamu hanya ingin harta anakku saja!"

"Lalu bagaimana dengan Tante sendiri? Dulu Dylano bukannya Tante buang ke kakek dan neneknya? Setelah Tante sadar dia berguna, lalu dipaksa untuk memenuhi ambisi kalian menjadi pengusaha sukses. Aku ada saat kalian membuang Dylano dan menemaninya. Sedang kalian hadir saat tahu ia bisa menghasilkan banyak uang untuk kalian. Siapa di sini yang hanya ingin harta Dylano? Aku atau Tante dan Tiara Arifin?"

Terbelalak mata Cecilia. Anak gadis yang belasan tahun lalu mengahadapinya sambil menunduk dan menangis ketakutan, kini balas menyerang.

"Aku nggak akan biarkan Tante dan keluarga Tante menyakiti Dylano lagi. Dia hanya akan melakukan apa yang dia senangi sendiri. Dia akan memilih jalannya sendiri. Karena jika kejadian dulu terulang lagi, aku akan laporkan kalian atas pelanggaran HAM. Aku ini lulusan hukum yang memperoleh pelatihan khusus dalam hukum publik dan internasional dari universitas ternama di dunia, jadi jangan macam-macam denganku!"

Setelah puas melawan ibu kandung Dylano, Tiffany undur diri. Tentu saja Cecilia masih mengumpatnya. Ia tak peduli walau tak diterima menjadi menantu Cecilia sekali pun. Bagian paling penting, ia diterima hati Dylan. Toh, Cecilia tak sepenuhnya menyayangi Dylano. Anak baginya hanya sebatas investasi.

Kini mobil Tiffany membelah Kota Bandung. Ia teruskan perjalanan dalam mencari keadilan. Sampai Tiffany di rumah besar lainnya. Rumah ini sudah sering ia datangi.

Sebelumnya ia sempat menelpon menanyakan keberadaan Nyonya Lorena. Untung wanita itu sudah tiba di Bandung. Tiffany yakin Dylano juga sudah kembali, ia tak peduli. Dendamnya tak bisa ditahan untuk menunggu Dylano pulang.

"Tiffany?" sapa Nyonya Lorena.

Tiffany bahkan tak duduk sama sekali. Ia tatap tajam Lorena. Masih terekam cerita yang wanita tua itu ungkapkan padanya. Bagaimana mereka memenjarakan Dylano dalam neraka yang mereka buat.

Lorena melihat keanehan itu. "Ada apa, Tiffany?"

"Apa Tante bahagia sekarang? Apa yang Tante lakukan dulu sudah cukup membuat Tante puas?" tanya Tiffany.

Lorena terdiam. "Maksud kamu apa?"

Tiffany mengeluarkan undangan dari tasnya. Undangan pernikahan Dylano yang diberikan Mira. Lorena menerima undangan itu dan terkejut. Undangan yang dibuat delapan tahun lalu masih Tiffany simpan.

"Putri Tante berhasil. Dia memberikan udangan itu padaku lewat tangan orang lain. Dia berhasil membuatku depresi hingga ingin mati. Aku memang tak jadi bunuh diri, tetapi aku berusaha membunuh hatiku. Aku tanamkan kebencian pada Dylano selama bertahun-tahun. Aku tak ingin bertemu dengannya lagi."

Lorena menatap Tiffany dengan lirih. "Tiffany, aku minta maaf. Sungguh aku sangat merasa bersalah atas sikap Tiara. Aku yang gagal mendidiknya."

"Aku yang sangat merasa bersalah. Tante tahu rasanya bagaimana? Sampai ingin meledak kepalaku ini. Aku benci pada kekasihku sendiri. Aku membencinya dan ternyata orang yang aku benci itu melindungiku sampai tak peduli dengan perasaannya sendiri. Dia menderita sendiri sementara aku, aku bahkan tak ada disampingnya. Hancur sudah perasaanku, Tante. Selama delapan tahun ini aku terus mengutuknya, ternyata dia ...."

Tiffany menunduk. Ia sudah tak bisa lagi menahan tangis. Air matanya sampai menetes ke lantai. Kemudian ia tatap kembali Lorena. "Kembalikan delapan tahun itu pada kami. Kembalikan apa yang kalian rebut dariku. Tak bisa, 'kan? Meski Tante berlutut di depanku sekali pun, delapan tahun itu tak akan pernah kembali. Jangan minta maaf padaku, minta maaf pada Dylano. Karena dia yang paling menderita selama ini. Dan jangan usik hidup kami lagi. Sudah cukup kalian semua menyakitinya!"

Lorena melirik ke samping. Dylano mematung tepat di belakang tubuh Tiffany. Sedang gadis itu masih tak menyadarinya. "Bahkan Tante tak bisa menghapuskan rasa bersalahku padanya. Kalau saja aku tahu sejak dulu, aku akan peluk dia ketika kami bertemu lagi. Tapi kalian membuatku membencinya. Kalian sangat tega!"

Air mata itu tak tertahankan lagi untuk jatuh mengalir di pipi. Sampai terduduk Tiffany di lantai karena tak sanggup lagi membayangkan penderitaan kekasihnya selama delapan tahun ini. "Dia menitipkanku pada Daniel, sementara dia hanya sendirian."

🌳🌳🌳

🌳🌳🌳

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sepasang Sepatu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang