23. sayang

10.2K 1.7K 198
                                    

FLASHBACK ....

"Ini ambil saja," ucap Tiffany. Senyumnya selalu ramah setiap kali bicara dengan orang. Itu terlihat menganggumkan bagi Dylano, kecuali kalau ia tersenyum pada pria lain seusia mereka.

Sepeninggal anak kecil yang ia berikan makanan, Tiffany baru sadar Dylano melihatnya dari kejauhan. Melihat itu, Tiffany tersenyum. Ia lari ke arah Dylano dan berhenti dalam pelukan pria itu. "Kok lama, aku nunggu dari tadi," keluhnya. Lengan Tiffany melingkar di pinggang Dylano. Terasa hangat ketika Dylano balas memeluk dan mengusap rambut Tiffany dengan pipinya.

"Aku datang duluan dari tadi. Malah lihat kamu turun dari angkot dan ngasih makanan ke anak kecil tadi."

Terkejut Tiffany sampai menatap wajah Dylano. Belakangan mereka harus bertemu di luar karena Ayah tak izinkan Fany pacaran. Apalagi dengan pria lebih kaya. Tiffany sendiri sudah jelaskan kalau orang tua Dylano tak keberatan. Salahnya ia sebutkan Dylano nakal, semakin tak setuju Ayahnya.

Ini pertama kalinya Tiffany bermain lari-larian di kebun teh. Malah ini pertama kali ia lihat langsung kebun teh. Berada di antara perbatasan Lembang dan Subang, kebun teh ini menjadi salah satu tempat wisata terkenal pada masa itu.

"Sini, nanti jatuh." Tangan Dylano meraih Tiffany. Gadis itu tak melihat jalan dengan baik hingga beberapa kalu tersandung akar pohon teh. Syukur Dylano bisa meraihnya.

Mereka mulai berjalan perlahan sambil berpegangan tangan. Satu tangan Tiffany lainnya merasakan pucuk teh yang ia lewati dengan merentangkan tangan di atas pohon itu.

"Kamu kasih apa sama anak tadi?" tanya Dylano memulai obrolan.

"Kasih risoles. Habis kasihan dia kurus banget."Wajah Tiffany terlihat sedih saat mengucapkannya.

"Memang ngapain kamu bantu orang lain, sih? Belum tentu mereka mau bantu kamu." Dylano selalu berpikir praktis.

Tangan Tiffany menangkup pipi kekasihnya. "Dylan sayang aku, nggak?" Dengan nada manja Tiffany bertanya sambil menatap wajah kekasihnya.

"Sayang banget."

"Kalau lihat aku senang, kamu senang?"

Dylano langsung mengangguk. Giliran Tiffany merangkai kata. "Selama ini sebelum menyayangiku apa kamu bahagia?"

"Nggak."

"Ketika kamu sayang aku, apa yang bikin kamu bahagia?"

"Lihat kamu senyum."

"Benar, Dylan. Kalau semakin banyak orang yang kamu sayang dan semakin sering kamu buat mereka bahagia, saat itu kamu juga akan semakin bahagia," jelas Tiffany. Ia genggang tangan Dylano. Dingin terasa di tempat itu walau sudah agak siang.

"Hanya aku nggak bisa sayang sama orang lain. Aku benci mereka. Orang tuaku juga, semuanya aku benci. Mereka hanya peduli diri mereka sendiri."

"Lalu apa bedanya dengan kamu? Kamu juga sibuk membenci mereka sampai lupa jika kamu bisa menyayangi mereka walau mereka tidak sebaliknya. Kamu sudah bisa menyayangiku, sekarang waktunya kamu menyayangi semua orang di sekitarmu. Buat mereka bangga dan senang. Karena dengan begitu, kamu juga akan senang walau hanya melihat senyum mereka."

Andai jika Tiffany tak mengatakan itu, Dylano tak akan membuat keluarganya bangga. Dia akan menikmati hidup yang bebas bersama dengan Tiffany. Hanya takdir mereka berjalan dengan seperti itu. Jika saja Dylano masih membenci Papanya, ia tak akan peduli perusahaan mereka terguncang, ia tak akan peduli Papanya harus operasi pemasangan ring jantung. Dia juga tak akan membantu perusahaan tetap stabil selama Papanya sakit. Andai jika ia masih membenci orang tuanya, ia tak akan dianggap berguna.

Sepasang Sepatu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang