24. Tak Beruntung

9K 1.8K 385
                                    

Suatu sore, Tiffany mengembalikan mobilnya ke garasi. Ia baru pulang dari salon untuk acara nanti malam. Ini Hari Minggu dan ia ingat Naufal akan datang malam ini dengan kedua orang tuanya. Tentu Tiffany senang karena ia akan dilamar pria itu dan tak lama akan menjadi seorang pengantin. Ia harap kali ini semua berjalan lancar.

Ia masuk melalui pintu samping dengan senandung bahagia. Jiwanya tengah terjebak asmara. Waktu kini memiliki kembali asa. Dan takdir mulai terang akan cahaya dari pelita.

Bahkan khusus untuk hari ini, Tiffany memesan hidangan dari restoran terkemuka. Dia sangat bersemangat. Langkahnya melompat-lompat girang hingga tiba di ruang tamu dan melihat wajah sedih tersirat dari kedua orang tuanya. Malah matanya terpaku pada mata Bunda yang terlihat sembab dan tissue di tangan.

"Ada apa?" tanya Tiffany. Sempat ia berpikir jika Clara membuat masalah lagi. Terakhir kali ia bahkan membuat Ayah masuk rumah sakit. Adik Tiffany yang satu itu memang sudah terbiasa nakal pada teman-temannya. Jika Tiffany korban bully, dia malah tukang bully.

"Kamu sabar ya, Nak. Pasti ada jodoh yang tepat untuk kamu," ucap Bunda lirih. Mendengar itu, hati Tiffany menjadi tak karuan. Apa maksudnya?

"Prapto menelpon. Ia membatalkan rencana lamaran karena Naufal dipindah tugaskan ke Sumatera. Ia juga kaget karena tiba-tiba dipindahkan. Bahkan perusahaannya tak memberi kerenggangan waktu. Jika besok Naufal tak berada di sana, ia akan dipecat. Prapto juga bilang selama masa kontrak Naufal di Sumatera ia dilarang menikah dulu," jelas Ayah.

Tubuh Tiffany membatu. Bahkan ia tak sadar jika ponsel di tangan jatuh ke lantai. Mengapa? Padahal Tiffany sudah merasa cocok dengannya. Ia harap bisa memiliki hidup yang sempurna dengan Naufal dan melupakan masa lalu.

"Naufal sebenarnya memintakau untuk menunggunya selama dua tahun. Tapi Ayah dan Bunda menolak karena itu terlalu lama. Pokoknya Ayah minta maaf." Pria itu meraih tangan Tiffany dan menepuk pundak putrinya agar lebih tenang. Namun percuma, Tiffany terlalu berharap banyak.

Air mata gadis itu mengalir. Tangannya mengepal kuat akibat amarah tak bisa ditahan. "Lalu dia memilih pekerjaannya? Apa aku tak lebih berharga dari pekerjaan itu? Jika ia butuh itu, aku kurang apa? Lebih baik membantuku berjualan roti daripada meninggalkanku seperti ini."

"Tiffany," panggil Bunda.

"Gak bisa, Bun. Dia sendiri yang janji. Dia janji hari ini akan datang dengan orangtuanya untuk melamarku. Harusnya ia tepati janjinya. Bahkan aku sudah mengatakannya pada Dylano. Ia pasti menganggap itu lelucon yang lucu ketika tahu aku dicampakkan!" Tak tahu mengapa Tiffany malah membawa-bawa nama Dylano. Rasanya jika ia tak mencampakkan pria itu dengan Naufal, tak lega.

Tiffany berlari ke kamar. Terdengar suara pintu kamar yang ia banting menggema ke setiap sudut rumah. Ia marah, pada dirinya sendiri. Sejak kecil Tiffany tak pernah merasa istimewa, ia selalu tersembunyi di balik punggung teman-temannya. Bukan, malah kebanyakan mereka menganggap Tiffany seperti seorang pesuruh. Ia melewati masa selalu dimanfaatkan orang lain hingga duduk di bangku SMP.

Sekalinya ia pernah merasa berharga karena seseorang. Iya, karena Dylano. Walau sering Tiffany berencana meninggalkan pria itu dulu, Tiffany tetap bertahan karena Dylano sering bilang tak bisa hidup tanpa Tiffany. Akhirnya Tiffany merasa hidupnya tak berarti lagi setelah Dylano pergi.

Jika saja Daniel tak di sana dan mengatakan Tiffany adalah alasan ia ingin bertahan meski ditinggalkan Ema, rasanya Tiffany akan semakin hilang arti.

Kini ia merasa bukan apa-apa untuk Dylano, juga untuk Daniel. Bahkan untuk seorang Naufal, Tiffany tak lebih berharga daripada pekerjaan. Mungkin memang benar, Tiffany tercipta untuk dirinya sendiri. Ia pikir tak pantas untuk seorang pria mana pun di dunia ini.

Sepasang Sepatu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang