16. Jantuh Cinta

9.9K 1.8K 303
                                    

FLASHBACK

Menurut penelitian, pria butuh tujuh tahap untuk yakin jika ia benar mencintai. Tahap pertama, Dylano jatuh cinta akan kecantikan fisik dan wajah ayu Sang Dewi. Tahap kedua, ia kagum akan kemandirian Tiffany yang sudah bekerja keras di usia semuda itu. Tahap ketiga, ia akan masuk ke dalamnya dan berharap mendapat respon positif.

Tiffany mungkin berpikir selama ini dia aman karena Dylano tak tahu, mereka sekolah di SMA yang sama. Salah, Dylano tahu dan dia pria yang lebih suka memperhatikan dari kejauhan, membuat perhitungan lalu mendekati.

Seperti sekarang ini, Dylano duduk di ujung lorong gedung sekolah sambil memakan es krim coklat. Ia perhatikan seorang gadis naik ke pohon yang memiliki daun sedang. Pohon dengan banyak cabang seperti naungan. Tak tahu mau apa dia di sana. Hampir setiap hari berpindah ke jenis pohon yang sama dan selalu di waktu istirahat makan.

Kali ini ada sesuatu yang memaksa Dylano maju. Tiffany tak sadar dahan yang ia naiki patah. Syukurnya ia sudah naik ke dahan yang lain. Hanya Dylano yakin Tiffany tak akan bisa turun dengan keadaan itu. Ia biarkan dulu gadis itu melakukan ritual di atas sana.

Pohon yang Tiffany naiki disebut pohon kersen. Orang Inggris menyebutnya singapore cherry sementara di Malaysia disebut kerukup siam. Daunnya yang lebat dan dahannya yang banyak membuat pohon ini menjadi tempat paling baik untuk berteduh. Bukan itu yang dicari Tiffany. Untuk apa susah-susah naik pohon kalau hanya untuk berteduh. Sekolah ini punya banyak naungan bahkan memiliki kursi dan meja nyaman.

Kersen memiliki buah kecil. Kalau sudah merah rasanya manis seperti gula putih. Bodohnya Dylano main petik yang hijau dan memakannya, tentu keset rasanya. Hingga ia bingung kenapa Tiffany terus mengumpulkan buah itu dan diam-diam memakannya di perpustakaan sepulang sekolah.

Kersen merah yang Tiffany petik ia masukan ke dalam plastik. Plastik itu ia curi dari gerobak Pak Jatmika setiap pergi sekolah, khusus untuk berburu kersen matang. Buah ini memang kecintaan Tiffany sejak kecil.

Lumayan lama ia mengumpulkan pangan, waktu Tiffany turun. Benar prediksi Dylano. Tiffany bingung caranya turun dari sana. Pohon ini terlalu tinggi dan dahan yang paling dekat ke tanah patah.

"Gimana aku turun ini? Kalau jatuh bisa gegar otak. Mana otakku dipakai buat dapat beasiswa. Lucu banget sih, siswi sekolah elite kehilangan beasiswa karena memanjat pohon kersen. Duh," keluh Tiffany. Ia duduk di dahan terakhir paling bawah. Beberapa kali mengukur tinggi dahan itu dari tanah, ia yakin tak akan bisa turun dari sana.

Ini saatnya Dylano berubah menjadi satri baja hitam RX. Ia bangkit berdiri, tak lupa gagang es krim dibuang dulu ke tempat sampah. Berjalan gagah hingga tepat berada di samping pohon kersen. "Ngapain di situ?" tegur Dylano.

Tiffany yang melihat Dylano di sana kontan takut. Bukan hanya karena ia buat masalah dengan si tampan, posisinya saat ini sangat berbahaya. Dylano di bawah dan Tiffany di atas pohon memakai rok sekolah. Memang pakai celana pendek, sih. Tetap saja.

"Maaf, Tuan. Bisa geser sedikit nggak? Nanti rokku kelihatan dari bawah sana," pinta Tiffany sambil merenyeh. Ia sampai memegangi roknya.

"Kamu nggak pakai celana dalam?" Dylano terang-terangan pula.

"Pakai, sih. Hanya aku nggak pernah pakai celana sependek ini, lho."

"Terus kamu bisa turun dari sana?" tegur Dylano. Padangan mata Tiffany menurun, ia menggeleng dengan sedih. "Turun, biar aku tangkap," tawar pria itu.

Jelas Tiffany mengedip-ngedipkan mata. Walau berusaha tak suudzon, tetap saja suudzon. "Pasti nanti aku dibiarin jatuh ke sana, 'kan?" Ia menunjuk permukaan tanah.

"Memang kamu pikir aku ini sejahat itu?" Sampai berkacak pinggang Dylano. Tidak heran, orang-orang memang selalu curiga akan kebaikan hatinya. Contohnya seorang gadis kemarin yang menggoda minta tumpangan, Dylano turunkan tepat di tempat sampah dekat kebun binatang.

Ingin mengangguk, tetapi takut. Ingin menggeleng, bukannya itu bohong? "Ini maaf ya. Maaf banget! Semua orang di sekolah ini tahunya begitu. Bukan kata aku lho ini!"

Kali ini mata Dylano menyipit. Ia masukan tangan kanan ke saku celana seragam abu-abunya. "Tadinya mau nolong. Berhubung tak dipercaya, lebih baik tunggu kepala sekolah saja ke sini. Dia pasti terkejut ada siswa sering metik buah di sekolah sembarangan."

Mendengar kata kepala sekolah mendadak jantung Tiffany merasa berolahraga. Ia panik sendiri. Dikeluarkannya plastik berisi kersen dalam kantung kemeja seragamnya. "Tolongin aku. Ini aku ganti pakai kersen. Semuanya." Plastik itu ia asongkan ke arah Dylano.

Alis Dylan terangkat. "Kamu pikir aku lelaki murahan?" sindirnya.

Seketika itu Tiffany merasa bodoh. Benar juga. Dylano anak orang kaya, mana mau dia disogok buah kersen. "Kamu tahu aku cuman anak penjual gorengan. Aku bisa ngasih apa?"

"Kasih aku waktu satu bulan buat ambil hati kamu. Gimana?" tawar Dylano.

Oleng nggak tuh, wanita ditawari begitu? Wanita tak suka miliknya dipaling, kecuali hati. Apalagi oleh pria setampan Dylano. Sayangnya Tiffany pikir ketampanan tiada guna kalau kelakukan seperti kerasukan iblis. Sama saja menukar masa depan dengan tali gantungan leher. Ia masih waras.

"Maksudnya gimana? Aku jadi pembantu Tuan gitu?" Di sini Tiffany lebih memilih pura-pura bodoh. Lebih baik, karena ia tak mungkin pura-pura miskin. Sudah miskin sesungguhnya.

Dylano berjalan tepat ke bawah dahan tempat Tiffany duduk. "Sini, aku tahan tubuh kamu biar nggak jatuh."

Tak tahu kenapa Tiffany masih ragu. "Kuat? Aku ini gemuk, Tuan."

"Kalau kamu gemuk, terus ikan paus apa?"

Mencoba memantapkan diri, Tiffany mulai bergeser. Ia menutup mata dan siap melompat. Sempat berteriak pasrah, Tiffany kaget karena tak terasa sakit sama sekali. Ia buka mata perlahan dan benar Dylano menangkapnya. "Beneran gemuk. Berat," ledek Dylano.

Dengan kasar Tiffany memaksa melepas pelukan Dylano di tubuhnya. Pria itu tak melepas pelukan. "Tuan, lepasin! Nanti ada orang yang lihat!" keluh Tiffany. Ia masih mencoba melepaskan diri. Sayang cengkeraman lengan Dylano di pinggangnya begitu erat.

"Kamu pernah ciuman?" tanya Dylano tiba-tiba.

"Hah?" Tiffany masih belum mendengar jelas apa yang dikatakan pria itu.

"Kamu pernah ciuman?" tanya Dylano lagi. Dengan tegas Tiffany menggeleng. Jelas, jangankan ciuman. Pacaran saja nggak pernah. Ia tak punya waktu. Waktunya hanya untuk belajar. Sayangnya ia menyesal menggeleng karena selanjutnya terkejut akan mendaratnya bibir Dylano di bibirnya. Serangan yang mampu membuat jantung Tiffany berdebar, darah bergejolak, pupil mata melebar dan wajah memerah.

"Kita impas. Itu sama-sama ciuman pertamaku," celetuknya santai lalu menurunkan Tiffany.

Dengan telapak tangan, Tiffany menutup bibirnya. "Ingat! Satu bulan. Kalau dalam satu bulan kita jatuh cinta, kamu harus jadi milikku selamanya." Kini giliran telunjuk Dylan yang menekan gemas hidung Tiffany.

🌳🌳🌳

🌳🌳🌳

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sepasang Sepatu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang