11. Suaramu

11.3K 2K 320
                                    

Waktu terasa berjalan begitu lama. Menengok layar ponsel, waktu tiga puluh menit layaknya tiga puluh hari. Terasa menggila setiap sel dalam tubuh. Setiap kali seperti ada angin berembus menyentuh punggung dan bahu dari arah yang sama, arah pria itu. Tak berani sekali pun Tiffany melirik ke samping.

Penderitaan itu semakin besar tat kala perut tiada henti melakukan unjuk rasa akibat belum diisi. Tentu saja, Tiffany terlalu fokus duduk manja di salon. Ia juga takut bagian bawah perutnya membuncit seperti gelembung sabun.

Ini tak bisa ditahan. Sebelum mengeluarkan bunyi kesengsaraan, perut harus diisi. Lekas berdiri Tiffany dari duduknya. Di sudut paling kiri ada meja buffet berisi makanan ringan juga minuman. Ia menyusuri ruang kecil di antara baris pertama dan kedua meja.

Mulai dari sisi kiri meja, Tiffany mulai memilih makan. Ia hanya mengambil coconut bavarois, dessert yang terbuat dari santan, telur dan cream. Makanan itu disajikan dalam gelas bulat dan diberi topping buah.

Tiffany lebih memilih terus bergeser ke kanan untuk membawa segelas kopi agar tak mengganggu tamu lain yang hendak memilih makanan. Tak tahu apa masalah yang terjadi. Tepat di ujung meja seseorang tiba-tiba berhenti lalu berbalik ke arah kiri meja dengan cepat. Tiffany tak sempat mengambil ancang-ancang untuk menghindar. Ia hanya mempertahankan makanan di tangan agar tak tumpah.

Sama sekali Tiffany tak menyadari orang yang ditabrak memiringkan gelas dan hampir menumpahkan kopi ke dress mahal Fany. Jika saja orang lain tak menahan itu dengan punggung lengan dan membuat kopi tumpah tepat ke jam tangan Patek Philippe yang harganya menembus angka tiga milyar.

Syok sudah pelaku yang menumpahkan kopi itu. Well, harga tiga milyar tentu tak akan membuat jam itu mati hanya tersiram kopi. Materialnya pun mudah dibersihkan. Hanya cairan itu panas. Jamnya saja tiga milyar, apalagi lengannya?

"Maaf, Tuan Dylano," ucap pelaku. Ia lekas mengambil tissue dari meja dan mengelap lengan pria itu. Hanya Dylano langsung menepis, ia lebih memilih mengelap dengan sapu tangan di saku jas.

Mungkin karena panik, rasa grogi bertemu Dylano hilang sejenak. Tiffany menyimpan makanan, ia lepas jam tangan Dylano untuk disimpan sejenak di atas meja. Lalu ia tumpahkan segelas air mineral dingin ke lengan pria itu. Dylano sempat terkesiap melihat perbuatan Tiffany. Ia hanya diam saja. Karpet merah ruangan itu jadi basah.

Seorang pelayan datang memeriksa apa yang terjadi karena kejadian itu lumayan menyita perhatian.

"Tolong ambilkan obat untuk luka bakar," pinta Tiffany pada pelayan yang langsung diiyakan. Kembali Tiffany menumpahkan air di lengan Dylano karena kulitnya masih memerah.

"Kopi itu tak seberapa panas. Cek saja," celetuk Dylan.

Tiffany memeriksa gelas kopi di tangan pelaku dan memang hanya terasa hangat. "Sial! Kenapa aku malah riweuh sendiri. Kalau begini, aku jadi baik padanya," maki Tiffany pada diri sendiri. Ia lepaskan lengan Dylano dengan kasar.

Di satu sisi Dylan sendiri menyesal. Jika saja ia tak bilang, Tiffany masih akan memegang lengannya.

"Syukurlah. Makasih banyak." Tiffany mengambil kembali makanan dan kopinya lalu menunduk. Ia kembali menuju tempat duduknya.

Sambil berjalan, ia merasa diikuti Dylano. Jelas saja, dekat pria itu jantung Tiffany berdebar cepat dengan sendirinya. Tahu rasanya kedatangan makhluk halus? Seperti itu. Walau tak melihat, tetapi bulu kuduk berdiri dan suhu tubuh jadi dingin.

"Kamu besok sibuk?" tanya Dylano tiba-tiba sambil memakai kembali jam tangannya. Tiffany berhenti dan Dylano mendadak menghadang di depan.

"Aku orang kerja, tentu sibuk," jawab Tiffany. Tak tahu kenapa, lain saat bicara dengan Ben, intonasinya kaku saat bicara dengan Dylan. Malah terkesan galak.

"Di mana kamu kerja? Hanya sedikit waktu. Tidak lama."

Di sini kedudukannya, Dylan bisa santai menatap Tiffany. Namun, gadis yang ia tatap salah tingkah. Mata Tiffany ngeloyor ke mana saja sudut yang bisa menyelamatkan dari sosok seorang Dylan.

"Untuk?"

"Mengembalikan topimu. Aku menemukan topi dan itu milikmu. Di New York," ungkapnya.

"Topi ...." Otak Tiffany langsung mengarah pada topi dua puluh jutanya yang hilang saat ia liburan tahun baru di New York. Topi itu memang bagian dalamnya dibordir dengan nama pemilik. Alasan kenapa harganya mahal.

"Kenapa dari 8,399 juta penduduk New York, malah Dylano yang menemukan topiku? Kenapa tidak Ashton Kutcher saja? Shawn Mendez sekalian juga, biar saling baku hantam aku dengan Camila Cabello," omel Fany dalam hati.

Tak ingin obrolan itu semakin panjang, Tiffany menyebutkan nama tokonya. "Le Pain."

"Apa itu?"

"Nama toko rotiku. Ada di jalan Sukajadi. Dekat mall PVJ."

"Ouh, jadi waktu itu di motor, kamu hendak ke Sukajadi mau ke tokomu?"

"Ya ampun, dia ingat lagi! Dibahas lagi! Apa dunia ini lebih mendukung mantan yang menyakiti daripada yang tersakiti? Apa hastag mantan maafkan aku yang dulu itu hanya hoax?" Tak hentinya Fany membatin.

"Iya," jawab Tiffany santai. Ia menunggu saat Dylan membahas betapa kucel ia saat itu di ojek.

"Nanti aku ke sana pukul delapan sebelum ke kantor," timpalnya lalu pergi.

"Dia memang tak membahas scene kucelku. Namun, kenapa harus pagi sekali? Kalau begitu aku harus langsung mandi habis salat subuh. Dia memang kejam!" umpat Tiffany lagi-lagi hanya bisa di dalam hati. Jiwa angkatan mandi siangnya meronta.

Tak ada lagi yang mengganggu, Tiffany kembali ke meja. Ia sempat melirik Dylano yang sedang tertawa karena membahas sesuatu dengan Ben dan Tedy. Setelah itu langsung berpaling. Lorna dan Irma tak tahu ke mana. Mungkin karena tadi Tiffany tinggal, mereka jadi harus mencari.

"Jadi kamu beneran bayar lima ratus juta ke CEO di perusahaanmu?" tanya Tedy.

Dylano mengangguk. "Aku kalah taruhan, mau apa lagi? Tak ada yang menyangka tim basketku kalah."

Senyum Tiffany melengkung begitu tipis. "Lima ratus juta dia pakai taruhan? Gila saja, gajinya sebanyak apa?" Sumpah karena Dylano, Tiffany harus banyak membantin.

"Gabut bilang, bos. Itu duit bukan kerupuk," protes Ben.

"Tahun lalu kapal boat yang jadi alat taruhannya. Melayang, donk. Gila memang dia." Tedy menunjuk Dylano yang masih terlihat santai.

"Kapal boat, donk. Aku beli kredit benda itu, lunasnya pas sudah keriput." Karena mendengar itu, menelan puding kelapa saja rasanya seperti menelan paku payung bagi Tiffany.

"Jadi kamu ambil makanan? Kupikir ke toilet." Lorna sudah kembali. Hanya Irma belum.

Sudahlah, lebih baik bicara dengan Lorna daripada mendengar kenyataan bahwa jadi bos roti saja uangnya tak sampai sejengkal harta Dylano.

"Lorna, kenapa reuninya tidak di sekolah atau di rumah alumni saja? Kalau di tempat begini jadi terasa formal, kan?" tanya Tiffany.

"Maunya di rumahku. Hanya Dylano sebelumnya rapat di meeting room hotel ini. Katanya biar sekalian dia yang bayar," jelas Lorna.

Tiffany menelan makanannya dengan paksa. Ia melirik kopi dan dessert di atas meja. "Berarti tanpa sadar aku sudah dinafkahi Dylano, donk?" batinnya lagi.

🌳🌳🌳

🌳🌳🌳

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sepasang Sepatu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang