Bandung di guyur hujan sore itu. Hujan lebat yang mengganggu lalu lintas hampir di seluruh jalan utama. Akhirnya berakibat fatal bagi Tiffany karena terjebak macet di dalam mobil yang sama dengan Dylano.
Benar-benar berbahaya. Sejak meninggalkan rumah sakit hingga terjebak di sini, Tiffany duduk di samping Dylano yang tengah menyetir. Waktu yang ingin ia lewati dengan cepat malah terasa bertambah lama. Kesialan yang jauh di dalam hati Tiffany justru terasa menyenangkan.
Keduanya sama-sama diam seribu bahasa. Sulit bagi Fany berbincang dengan Dylano. Sepertinya Dylano juga begitu. Sayang, keadaan malah membuat semua berlangsung begitu lama. Mobil Dylan sama sekali tak bergerak selama sepuluh menit ini. Macet yang parah.
Ponsel Tiffany berdering, ada pesan singkat dari Lia. Dia menanti Tiffany dan khawatir karena Fany tak juga datang menemuinya. Mereka janjian belanja sore ini. Tak lama pun pesan dari Ope yang juga menanyakan keberadaan Fany hingga mencari ke toko, tetapi tidak ada.
"Kamu pernah kembali ke Bandung sebelumnya?" akhirnya Tiffany beranikan diri untuk mulai berbicara.
"Baru kali ini. Pekerjaanku di Amerika benar-benar memenjarakan aku di sana hingga tak bisa kembali kesini. Tapi kali ini aku kembali, iya 'kan?," timpalnya.
Tiffany terdiam.
"Daniel apa kabar? Aku dengar dia sudah menikah," tiba-tiba Dylano mengubah topik pembicaraan mereka.
Di sana posisi Tiffany terasa membingungkan. Daniel dan Dylano memang kenal. Mereka dulu sering balapan motor liar dan nongkrong dengan grup yang sama. Tiffany juga dalam email yang dikirim ke Dylan sering cerita tentang Ema dan Daniel. Hanya saja ....
"Dia tahu, tidak kalau aku dan Daniel pernah pacaran?" batin Tiffany.
"Iya, sudah lumayan lama. Malah mereka sudah pulang bulan madu. Kenapa menanyakan itu?" Mata Tiffany menatap keluar jendela.
"Aku belum memberinya selamat. Mungkin aku akan ke rumahnya. Mau antar?" tawar Dylano.
Itu terasa aneh bagi Tiffany, seperti makan semangka dengan nasi. "Aku ada janji dengan temanku hari ini, mau beli pakaian. Biasa, para wanita," tolak Tiffany.
Terlihat jelas wajah kecewa Dylano. Sebenarnya ia masih ingin menghabiskan waktu yang lama dengan Tiffany. Mungkin hujan ini menjadi balasan atas doanya.
"Kamu datang ke acara pernikahannya?" tanya Dylano membuat suasana semakin tak nyaman untuk Tiffany. Lucu tidak, sih? Harus membahas mantan pada mantan.
Dengan mata yang masih menatap keluar jendela, Tiffany mengangguk. "Malah aku yang mengantar dia ke meja akad. Aku sahabatnya, tentu harus datang. Kak Ema juga sudah kuanggap seperti kakakku sendiri. Mereka sangat berarti bagiku."
"Walau kalian pernah bersama?" tegur Dylano.
Saat itu juga Tiffany langsung menatapnya heran. Ia terbelalak. "Jadi Dylano tahu," pikirnya.
"Aku dan Daniel memang pernah mengalami hubungan yang baik, kamu dengan istrimu juga," serang Tiffany.
"Itu hak kalian. Daniel pria yang baik. Kupikir kalian akan bersama selamanya. Kalian cocok."
Sungguh tak Tiffany sangka kata itu akan keluar dari mulut Dylano. Tiffany mungkin senang Dylano pergi dari hidupnya. Ternyata mendengar kalimat seperti itu terasa menyakitkan. "Daniel milik Ema. Kamu tahu sendiri mereka saling mencintai. Kamu tahu mereka pernah kabur karena tak direstui keluarga. Saat Ema hilang, Daniel kehilangan kehidupannya. Aku baginya hanya sedikit bantuan oksigen, tetapi Ema adalah nyawanya."
Tangan Tiffany melipat di depan dada. Ia memalingkan pandangan kembali ke jendela. "Kalau begitu, jangan kembali padanya," ucapan Dylano kali ini kembali membuat Tiffany terbelalak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepasang Sepatu (TAMAT)
Romance(SUDAH TERBIT CETAK DI PENERBIT KATADEPAN) Tiffany terpaksa bertemu kembali mantan kekasihnya, Dylano dalam reumi SMA. Ia ingin membuat pria itu terpesona dan menyesal sudah memutuskan hubungan mereka. Apalagi delapan tahun lalu Dylano hilang begitu...