21. Menjenguk

9.2K 1.8K 228
                                    

Akhirnya mereka tiba di ruangan tempat Reva dirawat. Ruangan ini berada di salah satu rumah sakit ibu dan anak. Letaknya berada di bagian timur Kota Bandung. Ia dirawat di salah satu ruang VIP. Maklum, Dave salah satu murid kaya di sekolah mereka dulu. Kata Dylano, ia bekerja di salah satu badan usaha milik negara dan menjadi orang penting di sana.

Kedatangan Fany dan Dylano jelas membuat heran pasangan itu. Tentu saja, dua orang yang menggemparkan SMA Berbudi dengan kisah cinta mereka yang berakhir tragis tiba-tiba datang bersama. Dylan menyapa keduanya lalu giliran Tiffany kini. Walau gadis itu masih merasa kaku saling sapa dengan Reva.

Hubungan keeampat orang ini bisa dibilang aneh. Reva dulu suka pada Dylano. Karena tak terima hubungan kedua orang itu, ia melaporkan pada orang tua Dylano. Sayang gagal, kedua orang tua Dylan mana peduli dengan anak tengahnya itu. Posisi Dave pun sama, ia suka Tiffany dulu. Sayang dia tak berani kalau harus melewan Dylano.

"Apa kabar, Reva?" tanya Tiffany dengan senyum di bibirnya merekah.

"Baik. Kamu apa kabar, Fany?" balas Reva dengan ramah. Ternyata kini hubungan mereka tak seburuk dulu.

"Aku ajak Tedy dan Ben, rupanya mereka sudah ke sini dengan Lorna dan Irma. Daripada tak ada teman, aku ajak Tiffany saja," jelas Dylano tetap sama sekali tak menyingkap rasa heran di pikiran pasangan suami-istri itu.

"Kalian pacaran?" terka Dave.

Baik Tiffany dan Dylano sama-sama nyengir. "Nggak kok, hanya kebetulan saja kami bertemu saat reuni kemarin," jawab Tiffany walau Dave dan Reva sama-sama terlihat tak yakin.

"Ini bayi kalian? Cantiknya," puji Tiffany melihat bayi yang terbaring di atas box bayi. Ia tahu itu bayi perempuan dari warna pakaian dan catatan di box bayi.

"Terima kasih, Tante." Reva tersenyum sambil menatap bayinya. Dari catatan di box bayi, bisa terbaca nama bayi itu Shazfa Fatharani, nama yang cantik sekali.

"Bagaimana rasanya melahirkan anak pertama?" tanya Dylano membuka obrolan.

"Sakit, tetapi menyenangkan. Malah ingin punya lagi. Nanti saja kalau Shazy sudah besar." Tangan Reva mengusap rambut putrinya. Di tangan itu masih menempel selang infus. Wajah Reva pun masih terlihat pucat.

Dylano mengangguk-angguk. "Tiara juga bilang begitu," timpalnya.

Tiffany menatap mereka satu per satu. "Tiara siapa?" tanya gadis itu dengan polosnya. Sampai tertawa baik Dave, Reva dan Dylan. "Lho, aku nggak ingat ada alumni di sekolah kita yang namanya Tiara," tambah Tiffany. Dan lagi memancing tawa di sekitarnya.

"Ya Allah, Tiffany. Itu nama istri Dylano. Memang kamu nggak tahu?" tanya Reva sambil menahan tawa.

Tiffany mencoba mengingat-ingat nama wanita di kartu undangan yang ia terima dan perbincangan alumni lain saat membandingkam Tiffany dengan istri Dylano. "Ouh iya, aku lupa. Maaf," ucap Tiffany sambil menepuk lengan Dylano.

Ruangan itu terlihat nyaman dengan cat berwarna krim. Ada hiasan wallpaper dengan corak bunga yang memisahkan tembok bercat di bagian atas dan tembok keramik di bagian bawah. Di sisi lain ada sofa tempat keluarga menunggu. Di sana kini Tiffany diajak Dylano untuk duduk.

"Kenapa anakmu tak diajak?" tanya Dave.

Dylan menggeleng. "Kamu bercanda? Dia pasti bilang tidak. Tertulis jelas di jidatku, ayah yang buruk," canda Dylano.

"Pasti sulit kalian hidup tanpa Tiara. Apalagi anak kalian hanya seminggu merasakan kasih sayang ibu. Makanya cepat carikan dia ibu pengganti!" saran Dave. Dylano melirik ke arah Tiffany dan langsung dibalas tatapan tajam.

"Dia yang enak buat anak, kenapa harus aku yang urus?" batin Tiffany. Tangannya sampai mengetukkan jari beberapa kali ke sandaran sofa.

"Aku yakin pas buat malah ia tak memikirkan rasa bersalah padaku. Bahkan saat menikah ia tak punya hati mengundangku datang ke acara pernikahannya. Padahal kami belum putus." Sambil membatin, ia terus menatap tajam ke arah Dylano.

"Tif!" panggil Dave membuat Tiffany kaget.

"Iya?"

"Kamu ke mana saja, sih? Sampai tak terdengar gemanya. Pindah rumah tak bilang-bilang." Dave membawakan dua botol air mineral untuk kedua tamunya. Ada beberapa kue di atas meja. Dari bentuk ruangan saja sudah tak terlihat seperti di dalam rumah sakit. Bahkan tempat tidur yang Reva tempati seperti kasur hotel. Dirawat di sini rasanya seperti sedang traveling.

"Aku ada saja di Bandung, sih. Hanya sebelumnya memang sempat kuliah di luar negeri dan kerja di sana," cerita Tiffany.

"Ouh ya? Di mana?" Reva ikut dalam obrolan.

"Paris. Aku kuliah hukum di Sorbone. Hanya sekarang malah jadi pengusaha roti. Mungkin karena aku tak berbakat jadi pengacara. Tahu sendiri aku tak bisa berdebat."

"Kau keren banget! Sorbone salah satu universitas terbaik di dunia, lho. Pas sekali, kamu lulusan Sorbone dan Dylan dari Harvard. Sepadan kalian, sama-sama lulusan kampus terbaik dunia."

Tiffany menaikan alisnya. "Lalu kalau sepadan kenapa?"

Dave menggeleng sambil nyengir akibat mendapat tatapan tajam dari Tiffany.

Mereka banyak mengobrol terutama tentang kelahiran anaknya Reva. Bagaimana sulitnya ia melahirkan hingga terpaksa Caesar.

"Ukuran kepala bayinya terlalu besar. Takut keracunan dan juga tak bisa bernapas selama persalinan, jadi dokter terpaksa melakukan prosedur itu. Memang aku tak merasakan mulas saat akan melahirkan. Hanya saja air ketuban keluar terus."

Tiffany bergidik saat Reva menceritakan bagaimana perutnya terasa nyeri hingga sekarang. Sampai Tiffany memegangi perut. Dulu saja saat mendengar kisah Ope melahirkan normal, Tiffany sampai bolak-balik ke kamar mandi.

"Dulu setelah melahirkan, Tiara tekanan darahnya terus naik lalu turun drastis. Dia juga mengalami demam terus menerus. Memang sejak dia pendarahan itu, dokter sudah memberikanku peringatan. Mereka tak mau melangkahi takdir, hanya saja memang keadaannya sudah tak memungkinkan. Sampai dua hari pertama, Tiara tak bisa tidur setelah sebelumnya ia koma selama dua hari penuh."

"Lalu saat meninggal kamu ada di rumah sakit?" tanya Dave dengan wajah sedih.

Dylano mengangguk. "Dia memintaku jangan pergi kerja. Dia bilang terus menerus merasa takut. Karena suhu tubuhnya tinggi, ia hanya bisa melihat putra kami di gendonganku. Satu minggu yang terasa berat. Bahkan sampai akhir dia belum sempat menggendong anak kami," cerita Dylano.

Tiffany menunduk. Ia tatap lantai ruangan. Mendadak ia ingat dengan ibu kandungnya. Selama ini ia hanya bisa melihat wajah ibu yang melahirkannya di dalam sebuh foto. Ia tak kenal dengan wanita itu, hanya Tiffany tahu betapa besar perjuangan ibunya hingga memilih meninggal dibanding mempertaruhkan nyawa Tiffany. Apa yang dirasakan Dylano, pasti itu juga yang dirasakan Ayah dulu.

"Aku yakin anakmu pasti akan mendapat ibu yang baik. Bunda juga sangat sayang padaku. Tak semua ibu tiri itu jahat. Aku yakin istrimu pasti terus meminta pada Allah agar kalian bisa mendapat penggantinya yang lebih baik," nasihat Tiffany.

Dylano tersenyum. Ia ingat ketika ia memeluk Tiara untuk terakhir kali. Pesan dari istrinya yang tak pernah ia lupakan. "Terima kasih, setidaknya setahun ini kamu sudah mau menerimaku. Terima kasih selama sembilan bulan ini, kamu mau menjagaku sebagai suami. Maafkan aku yang terus menerus menahanmu. Pulanglah, Dylan. Cari dia. Aku yakin dia rindu kamu seperti kamu juga rindu padanya."

Kadang Dylano ingin marah. Marah pada istri dan keluarganya. Mereka membuat semua ini sulit dan Dylano harus memperbaikinya sendiri.

🌳🌳🌳

🌳🌳🌳

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sepasang Sepatu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang