14. Subuh

9.9K 1.8K 334
                                    

Cinta itu memang lebih rumit daripada memecahkan Voynich Manuscript, buku tebal yang ditulis dalam bahasa asing dan dilengkapi gambar tanaman aneh. Bagian paling rumit dari cinta adalah bagaimana ia bisa menembus bagian terdalam yang disebut otak dan mengalir mengikuti aliran darah? Cinta memiliki taktik gerilya terbaik sampai membuat musuh bertekuk lutut dan menjadi budaknya.

Anggap saja, korban kali ini tak sadar apa yang terselip di dalam hatinya. Bangun pukul empat pagi, ia lantas mandi dan salat Subuh. Diam mengendap-endap ke dapur, dicuri selembar roti dari atas meja. Sarapan dengan persegi putih dan selai coklat di atasnya. "Selembar saja. Efek karbo membuat perut bergelambir. Aku ini manusia, bukan kalkun."

Berlari ke pintu dapur, hendak keluar ceritanya Fany kaget melihat Bunda sudah berdiri memakai mukena putih. Mana lampu mati. Efeknya seperti melihat hantu kesubuhan.

"Bunda, napa nggak bersuara, sih?" Fany usap dadanya. Ini lebih membuat jantung mencelat dari tempat dibanding sadar Dylano sudah ada di sisi.

Bunda menekan stop kontak listrik. "Kamu mau ke mana subuh begini sudah rapi? Jangan bilang kamu ikutan judi!" omel Bunda.

Dengan tegas Tiffany menggeleng. "Apa nggak kesiangan, Bun. Subuh begini judi, hantunya mana sempat kasih nomor bocoran. Keburu mabur dengar azan."

Sampai ditepuk lengan Tiffany oleh Bundanya. Sambil memperlihatkan senyuman, ia kecup pipi Bunda dan pamit pergi ke toko. Bunda biarkan ia pergi walau seisi pikiran dirubungi kekhawatiran. "Ya Allah, putriku itu apa tidak kerasukan? Apa perlu dimintai air doa?"

Sedang pelaku lekas berlari ke garasi. Ia keluarkan mobil dari sana. Hanya perlu dipanaskan sebentar. Begitu niat, Tiffany sampai memanaskan mobil pukul sepuluh malam tadi. Ia tak mau kesiangan ke toko.

Dari pukul lima pagi, perlu empat puluh lima menit kemudian hingga sampai di jalan Sukajadi. Parkiran toko roti Tiffany sudah mulai ramai. Pagi begini banyak orang yang sudah mencari roti untuk sarapan. Itulah, kenapa bisnis ini lebih menguntungkan. Roti ada di pagi, siang sore dan malam hari. Apalagi jika lembut dan memiliki isian berlimpah serta cafe tempat makannya didesain cantik.

Terdengar suara bel ketika Tiffany membuka pintu toko. Hendak menyapa orang yang disangka pelanggan, jatuh sudah nampan di tangan Risa ke lantai melihat majikannya Sang Pejuang Siang datang ketika kabut di luar masih menyapa. "Teteh, sehat?" celetuk Risa tanpa berpikir pertanyaan itu bisa saja memancing surat pemecatan untuknya.

Untung Tiffany itu atasan no baper-baper klub. "Alhamdulillah, belum sampai kedaftar di RSJ. Aku mau ke kantor dulu. Kalau kupanggil, lekas datang."

Bagai kerbau sedang diare, Tiffany berlari sekencang mungkin ke kantor. Ingat dia akan ruangan itu yang kotor. Hingga pikiran dan hati digerakkan agar segarang traktor. Masalahnya keadaan ini tak semanis kue astor.

Kertas berserakan di meja. Tempat file alias bindex tak jelas posisinya. Ada yang tidur miring, ada yang tegak tetapi menyerong. Ada pula yang jatuh ke lantai tak ditolong. "Selama ini aku ngapain di sini? Perang dunia?" keluh Tiffany. Lekas ia bereskan semua kekacauan ini. Ia takut Dylano benar datang hari ini dan melihat bagaimana kapal remuk pindah ke kota.

Ketukan pintu terdengar. "Masuk," izin Tiffany yang hampir selesai membereskan ruangan. Terdengar suara pintu dibuka.

"Teh, ada laki-laki nyari Teteh. Ganteng orangnya, nggak mungkin penjahat." Tuti berdiri di depan pintu yang setengah terbuka.

Tiffany manyun. Ia duduk di atas meja. "Tahu dari mana kamu? Emang orang jahat bisa dipandang dari wajah? Sekarang saja banyak cowok ganteng jadi begal," omel Fany tak terima. Ia sudah menebak itu Dylano.

"Begal hatiku, Teh!" timpal Tuti sambil menyilangkan ujung jempol dan telunjuk membentuk love.

"Astaghfirullah."

"Yang kali ini jangan sampai lepas lagi ke janda kayak Aa Daniel," pesannya membuat Tiffany hendak melepas sepatu highheels untuk dilempar.

"Suruh masuk saja. Tunggu lima menit, kamu pura-pura telpon aku, baru suruh masuk." Telunjuk Tiffany bergerak-gerak di udara.

"Supaya?"

"Kamu nggak liat aku keringetan? Paling nggak kasih waktu benerin make up sama pakai obat ketek, kek!"

Sepeninggal Tuti, asistennya di toko pusat, Tiffany lekas becermin. Ia pakai bedak dan lipstik kembali karena taburan bumbu kecantikan lainnya masih awet menempel. Tak lupa deodorant dan parfum agar wangi semerbak bagai bunga kemuning kala mekar.

Lagi-lagi terdengar pintu diketuk. "Masuk," izin Tiffany. Ia mengondisikan diri duduk gemulai di kursi kerjanya. Hari ini tak seperti biasa, ia sampai memakai blazer dan rok span bantik. Pokoknya tak kalah gaya dari ibu PKK.

Pintu terlihat digeser. Benar, Dylano Khani muncul dari sana. "Demi apa, makhluk itu ada di kantorku? Ini namanya takdir nggak disangka-sangka, tetapi nyata," batinnya. Sempat Tiffany melirik ke jam dinding, jam setengah delapan. "Dia mau ngembaliin topi apa mau upacara bendera? Pagi banget."

"Hai, apa kabar?" tanyanya dengan suara bassnya yang seksi. Dari rambut hingga pakaian dan sepatu, semua rapi dan glowing. Dia seperti manusia yang baru keluar dari dalam plastik kemasan.

"Baik. Duduk, Tuan Khani." Tiffany menunjuk sofa di ruangan kantornya. Hanya ada satu sofa panjang di sana karena ruangannya sempit. Tentu itu membuat Dylano dan Fany harus duduk di sofa yang sama. Keduanya saling berhadapan.

"Aku ke sini bukan untuk berbisnis. Kenapa kamu panggil nama belakangku?" tegur Dylano.

Tak sempat menjawab, Tiffany terpaku pada benda yang Dylano simpan di belakang tubuhnya. Ia membawa benda itu tepat ke depan Tiffany. "Untukmu." Sebuah buket bunga mawar merah muda.

Sempat tertegun Tiffany. "Dia memang selalu tahu apa yang aku suka," batinnya. Tak lama Tiffany menggeleng, ia harus sadar diri. Tangannya menerima buket itu lalu disimpan ke atas meja. "Terima kasih. Tapi, bukannya tak enak jika istrimu tahu? Cukup kembalikan topi saja itu sudah buat aku senang."

Dylano mengedip. Dia masih menatap ke arah Tiffany walau mata gadis yang ia tatap berlalu ke tempat lain. "Topimu." Kemudian ia berikan tas kertas coklat. Tiffany menerimanya. Ia periksa apa yang ada di dalam sana. Itu benar topinya dan membuat Tiffany terkejut. "Aku harap itu tak hilang lagi. Kupikir itu berharga untukmu."

Tiffany mengangguk. "Mau minum apa? Biar kusuruh asistenku buatkan minuman."

Dylano menggeleng. Ia memeriksa jam di pergelangan tangan kirinya. "Aku harus melihat proyek salah satu perusahaan tempatku berinvestasi. Mereka baru membangun apartemen."

Mendengar itu mengingatkan Tiffany pada suatu fakta. "Ouh, apartemen yang meratakan kampung tempat aku tinggal dulu? Keren, ya," sindirnya.

Serangan telak karena Dylano seketika terkesiap hingga pupil matanya terbuka lebar. "Apartemen sebesar itu pasti sangat menguntungkan. Tak peduli dibangun di atas apa."

🌳🌳🌳

🌳🌳🌳

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sepasang Sepatu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang