Tanpa Jawaban

10.9K 1.9K 233
                                    

"Maaf, Fan. Mereka menolak memberi tahu kita. Itu privasi pasien dan seharusnya dijaga. Sudah kode etik dunia medis," jelas Laurace.

Kecewa? Pasti

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kecewa? Pasti. Tiffany tak bisa menyembunyikan wajahnya yang kusut. Ia hanya bisa menatap kosong ke dalam rumah sakit walau tubuhnya berdiri di depan resepsionis.

"Padahal aku ingin mengetahui keadaannya. Apa wanita itu masih hidup? Bagaimana bayi kecilnya? Ia juga menitipkan pesan padaku," keluh Tiffany. Bagaimanapun ia menjelaskan tetap tak ada secuil informasi yang ia dapatkan.

Pasrah, hanya itu yang bisa Tiffany pilih. Ia keluar dari gedung rumah sakit yang bagian luarnya memiliki ornamen bata merah. Bersandar di railing dekat tangga menuju subway, Tiffany tetap cemberut.

"Aku hanya ingin berbuat baik. Tak ingin macam-macam." Matanya melirik ke arah tiang biru yang menyangga lampu berbentuk bola. Lampu-lampu itu berbaris sepanjang E 77th street.

Kini keduanya berada di Upper East Side dari Manhattan. Laurace dan Tiffany berjongkok di trotoar. Di depan sana ada garis putih zebra cross dan perempatan jalan.

"Ayo kita pulang!" ajak Laurace setelah menghela napas. Tangannya mengulur membantu Tiffany bangkit.

Sambil menunggu rambu pejalan kaki menunjukkan lampu hijau, Laurace menepuk punggung Tiffany. Rumah sakit yang mereka datangi merupakan pusat medis nirlaba yang melayani area umum. Tiffany membawa wanita hamil yang ia tolong beberapa tahun lalu ke rumah sakit ini. Sayangnya karena identitas Daniel yang digunakan sebagai jaminan, Fany tak bisa mengakses keadaan wanita itu.

Terdengar suara rambu peringatan ketika lampunya berubah hijau. Kaki Tiffany melangkah. Tiba di trotoar seberang, mereka mencium bau kopi dari kedai kopi bermerk yang terkenal dengan label hijaunya.

Jalanan itu lebih lengang dan sedikit pejalan kaki. Di sana mereka menunggu taksi menuju apartemen Laurace jika saja ponsel wanita itu tak berdering.

Laurace bicara dengan orang di seberang sana. "Fan, kamu mau ikut ke kantorku dulu? Ada barang yang harus kubawa. Kalau mau ke apartemen duluan juga tak apa," ajak Laurace.

Tiffany butuh berpikir untuk itu. Sejak tiba di Amerika, Fany hanya diam di apartemen. Kalau jalan ke luar, ia harus sendirian. "Aku ikut. Sekalian ingin tahu seperti apa kantormu."

Dengan yellow cab, mereka berpetualang menuju Wall Street. Membujur dari timur, yaitu Broadway dan menurun ke arah South Street di East River, jalan itu menjadi pusat keuangan penting di Manhattan.

Sepanjang jalan, di mata bisa terlihat bangunan dengan arsitektur zaman Gilded Age yang juga memiliki sedikit pengaruh Art Deco. Jalan ini menjadi salah satu yang berpengaruh dalam bursa penjualan saham dan setara dengan Square Mile di London.

Taksi itu berhenti, tepat di sebuah gedung tinggi dengan fasad bawah bercat putih dan bagian tengah ke atas bercat merah. Rangka pintu memiliki patung-patung anak kecil dan ornamen bunga. Gedung yang indah.

"Kamu kerja di sini?" tanya Tiffany. Ia merasa kecil saat mendongak melihat ujung atas gedung itu. Ketika ia berputar, matanya menangkap kantor salah satu merk perhiasan dunia yang menyematkan nama Tiffany.

"Pulang nanti aku ingin beli perhiasan di situ," pinta Tiffany sambil menunjuk gedung di samping.

Laurace mengangguk. Gadis itu melangkah masuk ke dalam pintu gedung. Tiffany mengikuti dari belakang. Tak henti matanya melirik setiap sudut gedung. Bahkan ia sempat terpaku pada stand pizza di depan The Trump Building di seberang sana.

Melewati pintu putar, mereka bertemu dengan orang-orang yang lalu-lalang di entrance gedung. Bahkan meja resepsionisnya begitu besar dari tembok dengan marmer di bagian atas dan hiasan tanaman.

"Kamu tunggu di lobi, ya? Orang asing nggak boleh ikut naik ke atas. Ada penjaga di dekat lift," saran Laurace.

Fany mengangguk. Laurace mengantarnya menuju sofa hitam di lobi. Ia duduk di sana menunggu selama Laurace naik ke kantor di lantai atas.

Setelah melihat Laurace naik ke lift, kini Tiffany sibuk melihat ke sekitar. Banyak orang memakai mantel dengan kartu karyawan menggantung di leher mereka. Kartu itu digunakan untuk melewati bagian pemeriksaan dengan cara menempelkan di pintu tiket otomatis sebelum pintu lift.

"Kalau melihat banyaknya orang begini, rasanya ingin kerja kantoran. Jadi bos roti nggak enak. Kalau kerja nggak ada teman ngobrol. Karyawan lain pasti sibuk," keluhnya, sama sekali tak sadar uang puluhan juta yang masuk ke dalam dompet setiap bulan.

Ada tiga perusahaan di gedung yang sama. Satu perusahaan jasa keuangan nasional, perusahaan komunikasi dan Khan & Y Grouph. "Kalau nggak salah Laurace kerja di perusahaan itu."

Seingat Tiffany, Martin - suami Amelia pun memiliki kerja sama dengan perusahaan itu. Lain dengan di Amerika, KG hanya menyimpan dana investasi di perusahaan tempat Martin bekerja.

"Memang perusahaan macam apa ini sampai hari menjelang libur, Laurace masih sibuk?" Ia mengetik nama perusahaan di mesin pencarian.

Tifanny menekan-nekan tombol back hingga menghapus history browser. "Ini mataku yang rabun apa aku melihat nama Dylano Khani tadi?" batinnya. Kalau saja tak ingat harga ponselnya, ia sudah banting benda itu ke lantai marmer.

Jelas keadaan Tiffany kini tak tenang. Ia duduk dengan bergeser hingga menggerak-gerakan kakinya. "Gawat! Ada angin apa hingga aku datang ke tempat pria itu bekerja?" bisik Tiffany sambil menggigiti kukunya.

Ia terus melirik ke arah lift menunggu saat Laurace keluar lagi dari sana. Ternyata begitu lama dan Tiffany semakin tak tenang. Ia berdiri menyembunyikan diri di balik tiang dekat dengan lobi.

"Aku tak ingin bertemu Dylano. Aku mohon, Allah. Gedung ini begitu besar, pasti sama besarnya dengan kemungkinan aku tak bertemu dengannya. Jangan pertemukan aku." Tiffany meratap hingga memeluk tiang besar. Tangannya bahkan tak bisa melingkari tiang itu. Apa yang ia lakukan menarik perhatian tamu di lobi.

Sesekali ia mengintip ke arah lift. Tiffany mengembuskan napas lega melihat Laurace keluar dari sana membawa bindex berisi arsip.

"Maaf, Fany. Aku pasti lama di dalam." Baru Laurace berhenti berkata, Tiffany langsung menariknya ke luar gedung. "Kamu kenapa tergesa-gesa sekali?"

"Aku harus pergi dari sini. Ada aura mistis di gedung ini dan aku bisa merasakannya." Bahkan tangannya begitu kuat mendorong pintu kaca hingga berputar kencang.

"Lain kali aku tak akan kembali lagi ke sini. Tempat ini bahaya!" tegas Tiffany.

Laurace menatap pintu kantornya lalu berpaling ke arah Tiffany. "Padahal Chairmanku sangat tampan. Aku yakin kamu pasti ingin melihatnya. Semua karyawan di sini tergila-gila padanya. Kau harus melihat Tuan Dylano Khani. Kesempatan langka melihatnya langsung," seru Laurace.

"Yang benar saja, kamu ingin aku bunuh diri? Nggak ada, justru dia monster paling menakutkan di dunia ini!" Tangan Tiffany melambai ketika ada taksi lewat. Ia ingin pergi dari tempat ini segera.

🌳🌳🌳

🌳🌳🌳

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sepasang Sepatu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang