29. Catatan Orang Tua

9K 1.7K 241
                                    

Berhubung Ayah tak mampu menggendong Tiffany, jadilah Dylano yang menggendong gadis itu ke kamar. Ia baringkan tubuh Tiffany di atas tempat tidur dengan sprei Doraemon. Bunda bantu menyelimuti Tiffany dan membuka sepatunya.

Tentu Dylano tak bisa langsung pulang, ia harus menerima persidangan dari kedua orang tua Tiffany. Apalagi ini sudah pukul sembilan malam.

"Jadi kamu itu Dylano yang itu? Yang sering jemput Fany di perempatan Kiaracondong diam-diam biar agak jauh dari rumah, karena Bapak larang kalian pacaran?" tegur Ayah. Dan langsung dibalas Dylano dengan anggukan. "Sekarang kamu ajak anak Bapak keluar tanpa izin? Kalau mau ajak pacaran lebih baik jangan, Tiffany ...."

"Aku serius sama Tiffany, Yah. Aku mau nikah sama dia dan aku mau main ke sini menemui kalian, kok. Hanya Tiffany yang larang," jawab Dylano langsung to the point.

Ayah dan Bunda saling tatap. "Anak kita kenapa, Bun? Laki-laki ganteng begini malah ditolak?"

"Katanya karena aku duda," jawab Dylano polosnya.

Ayah tentu tertawa terbahak-bahak. "Ayahnya juga dulu duda dua anak waktu nikahin Bunda. Dia itu memang alasan saja. Mungkin karena alasan lain?"

"Aku pernah selingkuh," jujur Dylano.

Bunda dan Ayah berdeham. "Jadi kamu cerai karena selingkuh?"

Cepat Dylano menggeleng. "Istriku sudah meninggal setelah melahirkan. Maksudnya dulu sebelum menikahi istriku, aku dan Tiffany pacaran," tambah Dylano.

Ayah dan Bunda bertepuk tangan. Di sini posisi Dylano bingung. "Jarang ada pria yang mengakui kesalahannya secara jantan. Begini namanya menantu idaman."

Tak tahulah, Dylano sukses berbincang dengan keluarga Tiffany malam itu sampai diizinkam menginap di kamar tamu. Padahal ini pengalaman pertama ia datang ke rumah perempuan untuk meminta restu. Dulu mana begitu, orang tua wanitanya tak diminta tetap memaksa harus dinikahi. Padahal Dylano tak mau. Kini dia harus berjuang meminta restu.

Malam itu terasa sebentar untuk pertama kali. Tiffany bangun tepat ketika adzan subuh. Rumahnya dekat dengan masjid, sehingga tak perlu alarm untuk bangun subuh. Dikucek kedua mata dan digulung selimut. Ia kaget masih memakai pakaian yang sama dari pagi kemarin. Diingat-ingat dan syok, "Aku ketiduran di mobil Dylano. Terus siapa yang antar aku ke sini? Dylan?"

Bergegas Tiffany mandi dan berganti pakaian. Ia turun ke bawah menuju musala. Terkejut Tiffany melihat Dylano sudah duduk di sajadah tepat dibelakang Ayahnya. "Kamu kenapa nggak pulang?" tegur gadis itu.

"Kasihan sudah malam. Mana gendong kamu dari depan, pasti lelah tangannya," jawab Bunda.

"Ih, Bunda. Tiffany lelah bikin adonan roti saja nggak peduli, masa anak orang dipikirin," protes Tiffany.

Ayah melotot. "Siapa bilang anak orang, dia calon anaknya Ayah.

"Astaghfirullah."

Ini menjadi subuh pertama bagi Dylan dan Tiffany salat di musala yang sama. Tiffany membantu Bunda masak dan Dylan menemani Ayah main catur walau. "Kamu ngalah sekali saja bisa, nggak?" pinta Ayah.

"Aku dari tadi sudah ngalah, tapi Ayah salah ambil langkah terus jadi tetap kalah." Dylano memang polos-polos laknat.

Dylano tak henti tersenyum. Pertama kali ia merasakan memiliki keluarga. Keceriaan di meja makan saat sarapan, obrolan hangat dan pertengkaran Clara dengan Tiffany. Meja makan yang ramai dan belum pernah ia rasakan sebelumnya.

"Makasih," ucap Dylano.

"Untuk?" Tiffany yang hendak turun di depan tokonya bertanya bingung.

"Memberikan aku rasanya punya keluarga," jawab Dylano sambil tersenyum.

Akhirnya Dylano meninggalkan toko. Selesai perjalan keduanya dengan perpisahan di sini. Dylano harus ke Jakarta beberapa hari. Artinya beberapa hari pula mereka tak bertemu. Dia sudah izin pada Tiffany. Hubungan ambigu mereka mulai menghangat. Selama Dylano pergi, mereka sering mengirim chat.

Tiffany melihat ke luar jendela. Setiap kalian melihat pria, bayangannya selalu ingat pada Dylano Khani. Ia pikir sudah gila. Ia malas dikirim pesan oleh Dylano, tetapi kalau pria itu tak menghubungi ia jauh lebih kesal.

"Beneran Dylano Khani? Chairman Khan & Y Grouph? Yang pernah masuk di majalah Time, Town and Country Magazine sama Forbes?" tanya Penelope dengan suara yang lumayan kencang hingga Tiffany harus menepuk-nepuk tangannya.

"Jangan kencang-kencang, nanti orang lain dengar. Lagian aku belum berpikir mau balik sama dia, tak tahulah. Hatiku masih sakit karena pengkhianatan dia dulu," keluh Tiffany.

"Heh, jangan bodoh kamu. Kalau pun kalian nikah terus dia khianati, kamu masih bisa dapat harta gana-gini. Hartanya bisa bikin kamu kaya sepuluh turunan nggak belok-belok. Lain kalau sama Si Naufal itu," nasihat Lia.

"Paling nggak doain langgeng, malah doain pisah!" protes Tiffany.

Mereka selalu nongkrong di cafe yang sama. Bedanya kalau kemarin Tiffany masih jomlo, sekarang Tiffany sudah HTS (Hubungan Tanpa Status). Dia masih jual mahal. Bahkan kalau ditelpon pun masih marah-marah, tetapi kalau dimatikan pasti Tiffany akan mencari bahan obrolan lain agar telponnya terus bersambung.

"Tentu aku harapnya langgeng. Aku cuma ajarin kamu buat realistis saja. Dia memang duda, bekas orang. Hanya saja coba pikir berapa banyak wanita cantik kayak kamu rela dikatain pelakor cuman supaya bisa merebut suami orang yang kaya. Lha, kamu dapat duda apa salahnya? Dia bukan milik siapa-siapa. Sudah lapang jalan kamu dapatkan dia!"

Tiffany menggaruk kening. "Kalian itu kesannya aku ngejar harta dia. Padahal, aku benar sayang sama dia. Ih, kenapa aku harus suka dengan Dylano, sih?" Tiffany merasa kesal, akibat orang lain memaksanya kembali pada pria itu. Orang tuanya, Daniel dan Ema, sekarang teman-temannya.

"Dia ganteng, pintar, kaya, dan baik hati. Aku baca di majalah, rumahnya di Meadow Lane. Itu kompleks orang-orang kaya di dunia." Penelope mengabsen kelebihan Dylano dengan membuka satu per satu jarinya.

Tiffany mendengus kesal. "Kenapa juga dari seluruh wanita di dunia, dia malah suka padaku?"

"Karena kamu beruntung," jawab Penelope singkat.

Tak ada alasan cantik, kaya atau baik hati. Hanya beruntung. Ingin Tiffany mengumpat. "Kamu lupa aku ini juara umum di SMA Berbudi, SMA elit di Kota ini. Aku masuk universitas negeri dengan beasiswa. Aku lulusan Sorbone, salah satu kampus negeri terbaik di dunia dan itu beasiswa. Aku ini merintis bisnis dari jual asongan sampai jadi pengusaha merk roti mewah. Kurang apa aku? Wanita lain yang nikah dengan pria kaya belum tentu berjuang dulu aku dulu!" Tiffany sampai menepuk dada dan bicara dengan suara keras.

Semua orang di sana melirik ke arahnya. Namun, gadis itu malah mengibaskan rambut. "Kamu memang sukses, tapi belum punya rumah di Meadowlane," celetuk Lia.

Tiffany sampai melemparnya dengan gulungan tissue. Penelope, Tian dan Dakota tertawa terbahak-bahak. "Anggap saja itu hadiah kesabaran jadi perawan 29 tahun, Fan. Dapetin duda kaya, ganteng, populer kapan lagi? Nikah sama dia enak, Fan. Kamu mau ke pasar saja bisa naik helikopter. Mau ke WC umum saja naik Ferrari."

Tiffany menaikkan alisnya. "Memang istri crazy rich gitu ya kerjaannya?"

🌳🌳🌳

🌳🌳🌳

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sepasang Sepatu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang