26. Perang

9.2K 1.7K 347
                                    

Pas banget bacanya sambil dengerin lagu di bawah ini. Ada terjemahan lirik dalam bahasa Indonesianya.

🌾🌾🌾

Pernah lihat dua mantan dari wanita yang sama bekerja sama? Salah satunya mungkin Dylano dan Daniel. Sementara Daniel menyiapkan kayu bakar, Dylano siap memancing bara api. Sore itu sebelum Tiffany siap pulang ke rumah, Dylano sudah berdiri di depan mobil Tiffany.

"Kamu ngapain?" tanya gadis itu sambil berkacak pinggang.

"Kamu bilang mau ngasih aku kesempatan, 'kan? Bagaimana kalau kita bicara sambil makan sore?" Dylano tahu cara paling tepat meraih hati Tiffany hanya satu, pemaksaan.

Tak ingin berdebat lama, Tiffany mengangguk. "Kita ketemu di tempat atau aku naik mobilmu?"

Cepat Dylano berjalan ke dekat mobilnya. Melihat mobil itu sudah berubah lagi. Rasanya Tiffany kesal. Dia mengganti mobil semudah mengganti keresek. Dibuka pintu mobil oleh Dylano agar gadis itu bisa masuk ke dalamnya. Barulah Dylan tutup pintu mobil dan berjalan menuju pintu di samping kemudi.

"Kamu masih ingat surabi di Setibudi? Kamu paling suka makan surabi coklat keju. Mau itu?" tawar Dylano sambil menyetir mobil.

Perlahan Tiffany menggigit bibir. Dylan sangat tahu dirinya dan pria itu sama sekali tak lupa. "Boleh."

Mobil bergerak terus ke atas. Jalan Setiabudi tepat ada di ujung jalan Sukajadi. Mengikuti alur jalan ini hingga bertemu salah satu SMP Negeri akhirnya masuk ke jalan yang mereka tuju. Sedikit naik ke atas, rumah surabi tepat berada di sebelah kiri setelah melewati persimpangan dengan Geger Kalong.

Lahan parkirnya berada di sisi jalan. Untung hanya mobil Dylano yang parkir di sana. Turun dari mobil, Dylano sempat mengirim chat pada Daniel yang sudah menunggu di dalam. Setelah Daniel memberikan jawaban siap, baru Dylano meminta Tiffany jalan lebih dulu. Mereka duduk di meja kosong yang sebenarnya sudah sengaja Daniel pesan.

Semua masih terasa baik-baik saja hingga suara seseorang mengalihkan perhatian Tiffany yang tengah melihat menu di warung itu. Lebih tepatnya disebut cafe, hanya saja kata warung lebih akrab didengar.

"Jadi kamu gagal nikah sama pengusaha roti itu?" tanya seorang pria.

"Iya, bapaknya ngusir kami dari rumah. Nggak tahu siapa yang ngasih bocoran rekaman obrolan kita. Kesel banget!"

Merasa akrab dengan suara itu, Tiffany berbalik. Ia kaget menemukan Naufal yang konon pergi ke Sumatera ternyata ada di sana.

"Jadi bapaknya tahu kamu mau manfaatin harta anaknya?"

Naufal mengangguk. "Padahal tinggal selangkah lagi aku bakalan jadi suami wanita kaya. Emang dasar itu orang sialan. Kalau saja ketemu siapa pelakunya, aku pasti balas."

Saat Tiffany semakin emosi, Dylano masih pura-pura santai layaknya kura-kura dalam perahu. "Kamu jadinya mau pesan apa?" tawar Dylano.

Tak ada jawaban dari Tiffany. Gadis itu masih lurus menatap Naufal. Tangannya meremas sandaran kursi. Kelopak mata terbuka dan napas semakin cepat. Jika itu gunung, Tiffany siap erupsi sebentar lagi.

"Kamu nggak jadi mundurin diri dari kantor, donk?"

"Nggak, lah! Tadinya mau mundurin diri biar bisa nikmatin harta perempuan itu. Ternyata malah hancur semua rencana. Siapa juga yang nggak kesal mau dapat penghasilan ratusan juta sebulan hilang?"

Saat Tiffany bangkit, Dylano masih duduk di sana memperhatikan. Perlahan Tiffany mulai mendekati Naufal dan langsung ditarik kemeja pria itu. "Ouh begitu, kamu mau numpang hidup sama aku? Laki-laki macam apa kamu itu! Tahunya cuman buang uang sama bikin anak! Buaya buntung!" bentak Tiffany.

"Bukan gitu, Fany. Aku cuma bercanda, kok. Aku nggak bermaksud begitu," alasannya. Justru itu malah semakin membuat Tiffany geram. Dulu mungkin dia masih berpikir tas jutaan sayang dipakai memukul orang. Sekarang lain, semakin mahal dan semakin tebal semakin manjur dipakai memukul.

Habislah sudah Naufal dipukul dengan tas itu. "Dasar laki-laki nggak tahu diri!" umpat Tiffany berkali-kali.

Daniel berdiri dari kursi tempat ia sembunyi. Ia hampiri Dylano yang masih duduk sambil melipat tangan di depan dada. "Kamu nggak mau nolongin Tiffany?" tegur Daniel.

"Kamu bercanda? Buat apa aku ajarin dia jadi galak begitu dulu. Dia bisa jaga diri sendiri. Kecuali laki-laki itu main fisik, aku yang maju!"

"Pantas saja kenapa pas sama aku dia mengerikan banget. Kamu yang ajarin," keluh Daniel.

Dylano terkekeh. Teman Naufal sempat melerai, tetapi mereka mundur karena dipelototi gadis itu. Naufal sempat merebut tas Tiffany. Sadar Naufal sudah mengambil sikap, Dylano maju. Begitu tangan Naufal hendak menampar Tiffany, langsung Dylano tahan. Naufal mencoba melepaskan diri, tetapi malah dipelintir Dylan dan ujungnya Naufal berteriak kesakitan.

"Kamu sudah cukup menyakiti hatinya. Kalau sampai kamu sakiti fisiknya juga, kamu pasti menyesal karena harus aku yang melawan kamu." Dylan menghempaskan tangan Naufal. Matanya menatap tajam pada pria itu. "Katakan pada atasanmu, salam dari Dylano Khani. Maka kamu tahu aku ini siapa."

Tak ingin membuat tempat itu semakin ribut, Dylan raih tangan Tiffany dan ia tuntun ke parkiran. Dibukakan pintu mobil untuk Tiffany. "Kita cari tempat untuk menenangkan diri saja."

Kini mobil itu semakin bergerak naik mengikuti jalan menuju Subang yang berbatasan dengan Lembang. Mobil Dylano menepi di pinggir jalan yang kanan dan kirinya kebun teh. Di sisi kebun itu ada tanaman nanas yang menjadi batas kebun dan pinggir jalan. Tiffany turun dari mobil. Ia tertawa.

"Ngapain sore-sore ke sini? Ke gunung itu pas matahari terbit dan ke pantai pas matahari terbenam." Gadis itu protes, tetapi ia masih berlari masuk ke jalan setapak di antara kebun teh.

Dylano menghampiri. Karena kaki pria itu lebih jangkung, ia bisa dengan mudah menyusul Tiffany. "Aku sudah pernah bilang, 'kan? Aku ingin mengajak kamu melihat dunia yang berbeda."

Rasanya lega bagi Dylano karena melihat Tiffany masih tersenyum. Gadis itu berbalik membelakangi Dylano lalu berlari. "Aku ingat tempat ini!" serunya.

Dylan menyusul dari belakang. Sudah agak sore dan mungkin akan berbahaya bagi Tiffany. Gadis itu belok ke arah kanan dan jalan mulai menurun. Tepat di ujung jalan ini ada pohon dan sebuah batu besar. "Batunya masih ada!" seru Tiffany sambil menunjuk batu dengan tinggi dua meter.

Dylan akhirnya tiba di sisi Tiffany. "Mau naik?" tawarnya. Dengan tegas Tiffany mengangguk. Dylan gendong Tiffany dan mengangkatnya naik ke atas batu. Tak lama Dylan ikut naik dengan menumpu pada bagian bawah batu. Ada bagian sedikit menjorok ke dalam di sana. Setelah berhasil naik, Dylan duduk di samping Tiffany dan melihat ke arah barat.

"Rasanya seperti masuk lorong waktu, ya?" ucap Tiffany.

Dylano mengangguk. "Aku sama sekali tak menyangka bisa duduk di sini lagi denganmu. Sama-sama melihat matahari terbenam dan hamparan teh. Bukan karena pemandangan yang indah, tapi karena kamu di sini."

🌳🌳🌳

🌳🌳🌳

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sepasang Sepatu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang