Jangan lupa ajak temannya baca novel ini, ya? Biar Vote dan Komennya naik. Makasih banyak.
🌳🌳🌳
Kenangan tercipta untuk beberapa perkara. Pertama, sebagai pembelajaran agar di masa depan kita bisa memilah-milah jalan yang akan kita ambil. Kedua, untuk merasakan kebahagiaan saat mengenangnya. Ketiga, untuk menjadi sesuatu yang ditakuti ketika diingat. Keempat, menjadi tanda bila pernah ada orang lain yang singgah dalam hidup kita.
Ingat pulpen yang digunakan untuk memutar kaset yang kusut? Ingat kita pernah berkirim pesan lewat lembaran kertas saat guru sedang menerangkan? Ingat pernah berdebat mana yang lebih bagus antara sepatu NB dan Compass? Tiffany bahkan masih ingat saat menempel plester luka di sepatunya yang robek akibat tersangkut di pagar sekolah. Dan orang yang membelikan sepatu baru untuknya adalah Dylano Khani.
(FLASHBACK BAGIAN INI ADA DI SEPATU TANPA PASANGAN CHAPTER AKU MEMBENCI MITOS KETIKA ITU BENAR)
Sepatu baru itu ia kenakan selama duduk di kelas dua hingga kuliah. Kini sepatu itu masih ada sebelah, disimpan dalam sebuah kotak di sudut kamar. Ia sempat meminta Bunda membuangnya, tak lama Fany lari ke tempat sampah dan mencarinya lagi.
Membuka kotak itu seperti membuka mesin waktu. Kumpulan sticker hingga lembaran kertas Harvest yang Tiffany koleksi selama di SMA masih tersimpan dan semua itu tentang Dylano.
"Dia pernah sangat manis sebelum menjadi pahit. Ih, aku segitu cintanya, ya? Sampai sepatu pemberian dia walau hanya ada sebelah masih kusimpan."
Bagian yang membuat Tiffany tersenyum adalah beberapa kaset pita. Pemutarnya masih disimpan di sana. Fany ingat benda ini masih berfungsi beberapa tahun lalu sebelum ia pergi ke Paris. Walkman yang diproduksi oleh Sony itu menggunakan baterai 2A sebanyak dua buah. Nekat, Tiffany berdiri dan naik ke atas kasur. Ia turunkan jam dinding demi mengambil baterai di dalamnya untuk menyalakan walkman.
Benar, begitu kaset dimasukan dan ditekan tomblol play, benda itu menyala dan memperdengarkan suara yang direkam di dalamnya.
"Ngomong, donk!" terdengar suara Tiffany yang masih cempreng layaknya remaja usia belasan tahun.
"Ngomong apa?" tanya Dylano bingung. Suaranya belum seberat sekarang.
"Kamu cinta aku, gitu," tegas Tiffany.
"Kamu cinta aku." Dylano mengulang ucapan Tiffany.
"I-ih, kamu nyebelin."
"Tapi kamu sayang, 'kan? Cinta, 'kan?"
"Nggak!"
"Mulut kamu bilang nggak, tapi di hati iya."
Ribut suara dua remaja itu. Teringat dalam memori Tiffany bagaimana ia sering mencoba memukul Dylan dan langsung ditahan pria itu. Akhirnya, Tiffany malah mematung karena Dylan menarik tangannya dan memberi kecupan.
Kini ia ganti kaset dengan yang baru. Rekaman ini mereka ambil di belakang sekolah saat mereka naik kelas tiga.
"Cepet bilang, dong!"
"Iya ini mau," timpal Dylano. "Aku Dylano Al-lail Khani berjanji. Di kelas tiga aku akan dapat rangking satu dan lulus Ujian Nasional dengan nilai lebih dari sembilan agar orang tuaku bangga. Kalau aku ingar janji, aku akan pakai baju tidur Tiffany sambil lari pagi keliling komplek."
Lagi-lagi Tiffany terkekeh. Dylano benar jadi rangking satu di kelas dan nilai ujian nasionalnya rata-rata sembilan koma delapan. Jadilah tak ada kenangan Dylano memakai baju tidur Tiffany yang bergambar Keroppi.
Berganti dari satu kaset ke kaset lain, ia mengingat kenangan manis dengan Dylano Khani. Kini yang tersisa kaset terakhir yang tanggalnya tepat saat mereka lulus SMA.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepasang Sepatu (TAMAT)
Romance(SUDAH TERBIT CETAK DI PENERBIT KATADEPAN) Tiffany terpaksa bertemu kembali mantan kekasihnya, Dylano dalam reumi SMA. Ia ingin membuat pria itu terpesona dan menyesal sudah memutuskan hubungan mereka. Apalagi delapan tahun lalu Dylano hilang begitu...