35. Mulut Tak Bisa Direm

9.6K 1.9K 493
                                    

Bantu promo novel ini, ya? Baik vote dan komen aku harap bisa tembus seribu lebih. Mungkin ada rekan sesama pembaca yang kalian kenal. Makasih banyak 🙏

🌳🌳🌳

"Apa dari aku yang ngangenin?" tanya Tiffany dalam pangkuan Dylan. Mereka duduk di saung menikmati indahnya kolam ikan. Makhluk di dalam kolam itu biasanya membuat Fany cemburu karena pacaran di depan mata gadis itu. Sekarang terbalik keadaanya.

"Galaknya," jawab Dylano tanpa berpikir.

Tiffany menarik-narik kerah Dylano walau tak terlalu kuat. "Pikirin dulu yang benar, donk. Jangan asal jeplak saja, nggak romantis."

"Emang iya, kamu orang paling galak yang pernah aku temui. Apalagi kalau sudah main mukul, main nyubit, main ngomel sama ...." Dylano tak berani melanjutkan kalimatnya karena Tiffany sudah melotot mengerikan. Pria itu langsung menunduk. Kalau begini jadi jelas siapa ketua Khan & Y Grouph sebenarnya.

"Kamu cantik," ralat Dylano.

"Jadi kalau aku jelek kamu nggak kangen aku lagi?"

Dylano sepertinya menjadi salah satu dari ratusan juta lelaki yang mengeluh akan hukum wanita selalu benar dan lelaki selalu salah. "Kamu nggak pernah jelek," tegas Dylano. Kadang ia harus gunakan logika. Hanya wanita tak memakai seluruh logika.

"Kadang aku merasa jelek, loh," celetuk Tiffany.

Dylano sadar pembicaraan ini tak sepatutnya dilanjutkan. "Buatin soto, donk. Aku belum sarapan. Sengaja biar kamu buatin. Nanti aku ajak jalan-jalan ke suatu tempat, deh!"

Jajaran direksi, CEO hingga Manager plus karyawan pasti kaget kalau melihat kenyataan ini. Dylano Khani membantu memotong sayur lobak. Padahal urusan makan saja ada sekretaris yang mengaturnya. Pagi ini makan dengan siapa dan di mana lalu makan siang atau makan malam. Restorannya pun harus memiliki sertifikat halal dan aman. Tentu tak ingin mereka kalau sampai pimpinan tertinggi grup perusahaan itu celaka.

Namun, tak ada keribetan itu jika Dylano sedang bersama Tiffany. Ia hempas penjaga, sekretaris dan sopir pribadi. Dia hanya ingin dalam dunianya sendiri bersama Tiffany.

"Cuci dulu!" titah Tiffany dan langsung diiyakan Dylano dengan membawa lobak ke wastafel, baru dipotong bentuk lingkaran.

Semangkuk soto Bandung selesai bersama kacang kedelai goreng dan kerupuk emping. "Enak?" tanya Tiffany. Dylano mengangguk. Ia bahkan terlihat lahap memakan sayur itu dengan nasi. Wajahnya berbinar dan sesekali senyum tergaris di bibirnya.

"Aku dulu sering memasakan ini untuk Daniel. Dia makan, sih. Kupikir dia akan suka. Dia suka, hanya bukan makanan kesukaan dia. Ternyata dia lebih suka kari buatan Kak Ema," keluh Tiffany.

Dylano masih mengunyah. Ia siap dengan posisi menyimak. "Aku dekat dengan orang tuanya. Karena masalah Kak Ema, Daniel sempat musuhan dengan Papanya. Kupikir sebaiknya mereka bicara. Akhirnya setelah jadi penengah, mereka kembali akrab. Karena itu orang tua Daniel keberatan saat kami putus. Syukur, walau Daniel kembali pada Kak Ema, ia dan Papanya masih baik-baik saja."

Sendok di mangkuk Dylano berputar-putar. Pria itu diam sambil menatap ke permukaan mangkuk. "Daniel beruntung, dia sempat berdamai dengan Papanya. Sedang aku? Selama Papa ada, pasti aku harus terus mengikuti paksaannya walau aku tak suka."

"Memang kamu dipaksa ngapain?" tanya Tiffany polos.

Sendok lepas dari tangan Dylano hingga terdengar suara benturannya dengan mangkuk. "Maksa kerja," dustanya. Selama Papanya ada, orang-orang di perusahaan akan terus berada di bawah kekuasaan Papanya. Selama itu, ia mungkin tak akan kembali pada Tiffany.

Sepasang Sepatu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang