18. Ban Mobil

9.2K 1.8K 266
                                    

"Selamat pagi," sapa seseorang ketika Tiffany berjalan melewati bangunan toko. Gadis itu mencoba mengingat-ingat wajah orang yang menyapanya hingga seorang anak kecil muncul di belakang tubuh wanita paruh baya itu.

"Maaf, Nyonya. Aku ini pelupa. Selamat pagi." Kini Tiffany balas menyapa sambil menundukan tubuh. Tangannya mengulur mengusap pipi Christ. "Halo bayi lucu!" sapa Tiffany. Terlihat imut anak itu tersenyum. Matanya berbinar mendapat sapaan dari Tiffany. "Kamu apa kabar, Tuan Muda?"

"Christ, aja. Baik, Mama. Boleh panggil Mama? Aku kangen," ucap anak itu sambil berlari memeluk kaki Tiffany. Memang kaget mendengar anak itu menyebut Tiffany begitu. Hanya rasanya begitu senang dan hangat di hati Tiffany.

Tak mau melewati kesempatan itu, Tiffany berlutut, ia balas pelukan anak itu. "Aku juga kangen kamu. Sudah lama kamu nggak ke sini."

"Lain kali, main saja ke rumah. Christ sangat suka padamu," balas Neneknya Christ.

Terkekeh Tiffany. "Aku malu, Nyonya. Pasti aku akan sangat merepotkan."

"Tak apa, Nak. Aku malah senang sekali Christ bisa dekat dengan seseorang malah sampai dipanggil Mama. Ibunya sudah meninggal sejak dia lahir. Belum pernah aku mendengar dia memanggil seseorang Mama. Satu lagi, jangan panggil Nyonya, panggil saja Tante."

"Baik, Tante," timpal Tiffany.

Karena saking gemasnya, Tiffany sampai menggendong Christ. Anak itu tertawa kecil. Terlihat lesung pipitnya berlekuk. "Christ mau apa? Biar aku bawakan, ya?" tawar Tiffany.

Cukup lama Nyonya Lorena dan Christ bertamu. Christ banyak bercerita bagaimana ia sekolah di rumah dan mainan apa yang ia punya. "Mama ke rumah, Christ. Main, ya?" tawarnya sambil memegang tangan Tiffany. Ia sedang duduk di pangkuan Tiffany.

Tak lama keluarga itu pamitan karena hari sudah semakin sore. Tiffany antarkan mereka sampai parkiran dan melambai saat mobil mereka meninggalkan tempat itu. "Padahal aku ingin bawa Christ pulang, dia lucu banget."

Cukup lama termenung di sana, Tiffany ingat akan sesuatu. "Ya Allah, aku tadi mau menghubungi Dylano untuk mengembalikan dompet. Yah, besok saja. Ini sudah sore," pikirnya.

Sempat salat Asar di toko, Tiffany membawa mobilnya melaju meninggalkan toko. Sejak jalan Sukajadi dibuat satu arah, ia harus memutar naik ke atas dan baru turun di Jalan Setiabudi. Jalan itu menurun dan kalau menyetir di sana rasanya menyenangkan, turun dan berkelok.

Hingga ia merasa ada yang salah. Mobilnya terasa tak seimbang. Terpaksa Tiffany tepikan mobil ke sisi. Ia buka safety belt dan turun dari mobil. Kaget ia, ban mobilnya kempes. Ada paku menancap di ban mobil dan itu terasa menyebalkan. Di sisi ini dan di seberang hanya ada rumah dengan gerbang tinggi tertutup. Bengkel juga jauh dari sini. Hendak menelpon ke rumah, Tiffany dimarahi operator karena belum isi pulsa. Ia coba chat adiknya dan yang keluar jam.

Cek kuota dan pulsa semua nol. "Aku ini pengusaha, kenapa bisa pulsa dan kuota saja nggak beli? Kenapa aku lupa isi paketan?" keluhnya. Untuk mencari pertolongan, ia perlu berjalan jauh lumayan ke atas atau menurun, malas. Akhirnya ia pilih cara instan, melambai meminta belas kasihan.

Padahal ia masih cantik sore ini, tetap tak ada mobil atau motor yang berhenti. "Jiwa sosial pun tak berlaku untuk wanita cantik!" keluh Tiffany.

Ia berkacak pinggang. Memutuskan untuk berjalan ke keramaian, niatnya terhenti melihat mobil berhenti di depannya. Mobil merah mahal dan tak tahu kenapa melihat mobil mahal, Tiffany selalu tak enak hati. Begitu pemilik turun, ia tahu alasannya kenapa. Dylano Khani.

"Kamu kenapa?" tanya Dylan.

Bagian terpenting untuk Tiffany sekarang adalah pertolongan. Harga diri akan jadi nomor sekian. "Ban mobilku bocor kena paku. Aku mau ganti, nggak bisa."

"Kamu nggak bawa ban serep?"

"Bawa, sih. Nggak bisa turunin dan gantinya." Tangan Tiffany menggaruk kepala. "Aku boleh pinjam ponselmu? Pulsaku habis, kuota juga. Mau hubungi bengkel," pinta Tiffany.

"Mana kunci mobil?" Tangan Dylano mengulur. Tiffany berikan kuncinya. "Bannya ada di bagasi?"

Dengan yakin Tiffany mengangguk. Dylano berjalan ke bagasi. Ia buka pintunya. "Kamu punya alat lengkap begini, kenapa tak digunakan?"

"Berat," jawab Tiffany enteng.

Dylano menurukan dongkrak dan kunci roda mobil. Setelah dongkrak dipasang di ban mobil yang bocor, baru Dylano menurunkan ban mobil pengganti dari bagasi. Ia sempat membuka jas dan disimpan di atas atap mobil Tiffany. Lengan kemejanya tak lupa dinaikan hingga sikut. Saat tangannya mengangkat ban, otot-ototnya merentang.

"Dia kuat banget," pikir Tiffany.

Dylano mulai membuka satu per satu baut velg. "Kamu benar mau ganti itu?" tanya Tiffany bingung. Dylano tak menjawab, ia tetap tekun membuka satu per satu baut. "Nanti kemeja kamu kotor. Mana putih." Kini Tiffany duduk di samping Dylano. Karena hanya ada trotoar, di sana mereka bisa duduk.

"Tak apa, tinggal dicuci. Lagipula aku mau pulang," jawabnya enteng.

"Kamu bisa bilang tak apa. Hanya istrimu pasti kesal. Apalagi kalau nodanya sulit dicuci." Tiffany berkacak pinggang. Tiba-tiba ia terdiam. Ia ingat akan ucapan Lorna di telpon, istri Dylano sudah meninggal empat tahun lalu. Menunduk Tiffany. "Ih, mulut ini memang!" batinnya sambil menepuk bibir.

"Maaf, Dylan. Aku lupa kalau istrimu sudah meninggal."

Dylan malah terkekeh mendengar suara lemah Tiffany. "Tak apa. Kenapa? Kamu bisa jadi istri yang kesal itu."

Ingin marah, sayang Tiffany keburu merasa bersalah. "Kalian sudah punya anak?" tanya Tiffany mulai kepo.

Dylano mengangguk. "Anakku sudah empat tahun sekarang bersama neneknya. Mungkin karena aku tak bisa menjadi Papa yang baik. Aku juga tak bisa menggantikan posisi seorang ibu. Aku hanya pandai mencari uang."

"Kenapa nggak menikah lagi?"

"Mau, andai kau bilang iya," celetuk Dylano.

Tangan Tiffany tak tahu kenapa otomatis menepuk lengan Dylan. "Jangan mulai, deh! Mau aku laporkan Papaku?" ancamnya.

"Laporkan apa? Kalau aku mau melamarmu?" jawab Dylano. Seketika keduanya tertawa. Seperti hilang pagar yang telah mereka bangun sesaat itu juga.

Mata Tiffany menatap jauh ke langit yang terhalang rimbunnya pepohonan. "Aku lelah untuk jatuh cinta. Otakku tak memikirkan itu. Biar saja orang bilang aku bodoh, aku lebih ingin fokus memikirkan orang tuaku daripada terlena dalam rasa sakit akibat cinta. Well, orang ada waktunya lelah dengan sebuah keadaan."

"It's okay to feel this way right now, Tiffany. Every cloud has a silver lining!"

Dylano tak bisa memaksakan sebuah rasa. Ia tahu ikut andil di dalamnya. Hati seseorang ketika terluka akan sulit sembuh. Bahkan ketika maaf tercipta, rasa itu akan muncul sesekali dan menguliti kebahagiaan. Dalam hujan yang tak jadi turun, ada orang-orang yang kecewa penantiannya akan kesegaran tak dipenuhi. Hingga mendung selanjutnya hadir, hati tak ingin kembali berharap.

🌳🌳🌳

🌳🌳🌳

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sepasang Sepatu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang