20. Pemaksaan

9.4K 1.8K 265
                                    

Percuma kita menjaga harga diri jika takdir mengungkap aibnya sendiri. Pukul sebelas siang, Tiffany mendapat kejutan luar biasa. Membuka pintu toko, ia dapati Dylano Khani duduk di kursi cafe menikmati segelas kopi dan sepotong roti.

"Tadi aku sudah tawarkan untuk aku telponkan Teteh, katanya nggak usah. Dia maunya nunggu saja sampai Teteh datang. Aku juga sudah bilang kalau Teteh datangnya pasti siang, kalau pagi juga bisa dihitung jari," ungkap Tuti hingga membuat Tiffany oleng dan harus berpegangan ke etalase.

"Kamu bilang kenapa aku sering kesiangan?" Inginnya Tiffany tak menanyakan hal itu. Ia takut kecewa dengan jawaban Tuti.

"Risa bilang, Teteh habis Subuh tidur lagi karena semalaman nonton drama Korea." Benar, jawabannya sungguh membuat kecewa hingga kalau bisa ia ingin memutar waktu atau minggat ke planet EXO.

Suara sepatu Tiffany terdengar bernada. Hatinya sudah tabah. Lagipula siapa Dylano, hingga ia harus jaga image? "Hanya sekadar mantan yang memiliki masa lalu, bukan masa depan," pikir Tiffany.

Kini mereka berhadapan. Dylano mendongak. Padahal pria itu tadi tengah memutar-mutar gelas kopi dan melihat ke permukaannya hingga tak menyadari Tiffany sudah mendarat di toko. "Hai, kapan kamu datang?"

"Barusan. Kenapa nggak buat janji dulu kalau mau ketemu? Aku sibuk," omel Tiffany dengan wajah angkuh.

Dylano menunjuk Tuti yang tengah menjelaskan pada seorang customer. "Asisten kamu bilang hari ini kamu datang hanya mengecek karena tak ada pekerjaan."

Tiffany langsung berpaling pada Tuti. Pipinya kembang kempis saking kesal Tuti membuka kartunya, Risa juga. "Lama-lama aku daftarkan wajib militer mereka semua!" batin Tiffany.

Dylano bangkit. Tiba-tiba ia pegang pergelangan tangan Tiffany dan ditariknya gadis itu keluar. "Kamu mau bawa aku ke mana? Aku baru datang, woy!" protes Tiffany.

Dylano terkekeh. Dia ingin mencoba menggunakan jurus jerat paksaan seperti yang dilakukan dulu. Mencoba meronta dan tak berhasil, Tiffany berhasil Dylano bawa ke luar. Para karyawannya hanya menatap sambil tertawa melihat itu. Mereka pikir Tiffang sedang main film India ala Rahul dan Anjali.

"Masuk!" Dylano mendorong Tiffany ke kursi di samping pengemudi. Tak kuasa menahan kekuatan pria itu, Tiffany menurut saja. Dylan menutup pintu mobil dan berlari menuju pintu sebaliknya. Kini mereka duduk bersebelahan dan sama-sama memasang safety belt.

"Mau ke mana coba?" Mata Tiffany tajam ke arah Dylan.

"Tahu Dave? Tahu Reva?"

Lumayan lama Tiffany berpikir. "Dave teman kita waktu SMA dan Reva, wanita yang suka kamu dan mengadukan hubungan kita pada orang tuamu?"

Dylan mengangguk. "Mereka menikah. Reva melahirkan kemarin, masih di rumah sakit. Kamu nggak mau jenguk? Paling tidak, itu anak Dave."

Memang sebaiknya Tiffany ikut menjenguk. Hanya saja, "Aku nggak bawa kado. Kamu bisa berhenti di toko alat-alat bayi dulu? Aku mau membeli kado untuk mereka. Malu kalau nggak bawa apa-apa. Kamu bawa apa?"

Dengan polosnya Dylan menggeleng. Tangan Tiffany begitu lancar memukuli lengan pria itu. "Makanya kalau mau apa-apa itu mikir dulu! Kebiasaan main mulai saja!"

Malah tertawa Dylano mendengarnya. "Aku tinggal minta sekretarisku belikan dan antar ke rumah sakit." Santai sekali jawabannya. Santai yang membuat jiwa iri Tiffany meronta.

"Mati saja kau sana! Kamu pikir aku punya sekretaris yang bisa kutelpon dan langsung mengantar apa yang kumau?"

Terus diomeli Tiffany, akhirnya Dylan menyetir mobil ke salah satu toko alat-alat bayi dari brand terkenal. Namanya gaul dalam lingkungan orang kaya, tentu tak sembarangan membeli hadiah. Apalagi ini Reva, dulu dia paling sering menjelek-jelekan Tiffany.

"Selamat datang Tuan dan Nyonya," sapa SPG di toko itu.

Nyengir Tiffany mendengar kata Nyonya. "Nona, Mbak. Saya masih gadis. Kalau dia memang ada buntutnya," ralat Tiffany lalu menunjuk Dylano. SPG itu sampai tersenyum menahan diri agar tak tertawa. Ini masih mending, waktu ke pasar malah Tiffany dipanggil Ibu. Rasanya itu menusuk hingga ke tengah jantung. "Nona ya, Mbak," tegas Tiffany lagi.

Keduanya berkeliling memilih barang apa yang tepat untuk dijadikan kado. Mata Tiffany sempat tertarik pada beberapa box bayi yang dipajang di sudut ruangan. Iseng dia menghampiri, tangannya tak bisa ditahan untuk mengusap lembut kasurnya. "Kalau aku punya bayi, ingin beli box bayi kayak gini. Cantik sekali."

"Pikirkan dulu calon ayahnya, baru bayinya." Celetukan Dylano sukses membuat ambyar awang-awang Tiffany. Kadang Tiffany sadar apa yang membuat ia dulu begitu nyaman dengan Daniel. Pria itu dan Dylano punya sikap yang mirip, jagoan dalam hal meledek. Daniel benar, bukannya Tiffany sudah melupakan Dylano. Gadis itu hanya menemukan sosok Dylano dalam diri Daniel.

"Aku mau beli sepatu bayi saja. Setidaknya masih bisa dipajang dan terpakai lama. Kaki bayi tidak mudah cepat membesar, 'kan?" tanya Tiffany sambil berbalik menatap Dylano.

"Mungkin." Pria itu menjawab dengan tatapan bingung.

"Kamu punya anak, 'kan? Maksudku, waktu anakmu bayi, apa yang lakukan? Memang tak membantu istrimu menjaga bayi kalian?" tegur Tiffany.

Dylan menyandarkan punggung ke rak tempat pakaian balita digantung. "Satu, istriku meninggal saat anak kami lahir. Dua, aku sudah bilang ingin merawat anakku, tetapi mertua dan Mamaku tak izinkan kecuali aku sudah menikah lagi. Dan ketiga, aku kerja dari pagi sampai malam dan sering berpindah tempat bahkan negara, apa itu memungkinkan untuk membawa bayi?"

Ucapan Dylan itu langsung membuat Tiffany merasa iba. "Kasihan. Anakmu, bukan kamu. Sudah ibunya meninggal, dia harus punya ayah sepertimu," sindir Tiffany tegas.

Ia langsung melewati Dylano dan berjalan menuju rak sepatu bayi. Tiffany sangat lihai memilih sepatu untuk bayi dibawah satu tahun. "Paling penting alasnya lembut dan bisa menopang mata kaki. Penting juga yang bisa menyerap keringat seperti ini." Ia menunjukan sepatu bayi itu pada Dylano.

"Kamu sudah siap jadi seorang ibu."

Dengan bangga Tiffany melipat tangan di depan dada. "Tentu, aku sering jadi pengasuh anak-anaknya temanku. Kalau mereka bulan madu kedua dan seterusnya apalagi. Sampai Bunda bilang aku ini lebih pintar jadi pengasuh daripada pengusaha."

"Kalau kaunikah denganku, kamu bisa dapat bonus satu anak umur empat tahun," tawarnya.

Tiffany tertawa. Ia sampai menepuk-nepuk lengan Dylano. "Kamu itu mau nikah apa jual barang obralan beli satu dapat dua? Lagian, Dylan. Kamu bisa dapatkan wanita yang jauh lebih dariku, kok." Setelah berkata begitu, Tiffany melangkah pergi menuju kasir. Sementara Dylan masih berdiri di tempat itu. Ia tatap gadis itu dari kejauhan.

"Mungkin iya, tetapi aku tak akan bahagia. Lebih baik denganmu dan segala kelebihan dan juga kekuranganmu. Kadang aku bersyukur Tiffany, aku masih melihatmu baik-baik saja. Andai jika aku dulu egois untuk terus memilikimu, mungkin aku tak akan melihat wajahmu lagi sekarang. Aku bersyukur melakukan semua ini."

🌳🌳🌳

🌳🌳🌳

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sepasang Sepatu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang