36. Surat

8.7K 1.8K 318
                                    

Maaf ya Gaess telat. Akhirnya revisinya selesai. Lami juga aku up hari ini satu chapter, kok. Kalian bisa baca di KBMAPP. Divan mudah-mudahan bisa nyusul. Habis tanganku pegel dan malam harus isi materi.

🌳🌳🌳

Kadang Tiffany ingin bertanya, siapa bilang jadi pacar pengusaha sukses itu enak? Buktinya bahkan tak sehari penuh ia dengan Dylano. Tak lama setelah sekretarisnya datang, Dylano ikut dengan mereka. Tiffany hanya diantar sampai depan rumah. Mobil Dylano pun dibawa salah satu penjaganya.

Ponsel Tiffany masih seperti biasa, sunyi. "Punya pacar atau nggak sama saja jomlo. Dia itu niat pacaran atau nggak, sih?"

Dylano mengirim pesan, tadi pagi dan isinya hanya, bangun pagi sayang. Sarapan. Maaf aku nggak nemenin. Aku masih di Jakarta. Kadang Tiffany bernafsu ingin menyusul Dylano ke sana. Hanya saja pasti Ayah marah. Belum Dylano tak akan izinkan. Kalau nekat datang, ia paling disebut orang gila karena mengaku-ngaku pacar pimpinan mereka.

Sampai terdengar suara embusan napas Tiffany yang berat. Matanya melihat jauh ke luar toko. Ia lagi-lagi duduk menghadap kaca jendela besar di atas kursi pelanggan yang sedang kosong. Hujan di luar sana cukup deras.

"Lorna!" panggil Tiffany di telpon setelah Lorna mengangkat telponnya. "Kamu tahu nggak, Dylan lagi apa? Dia tadi pagi kirim pesan, sekarang nomornya nggak aktif," keluh Tiffany.

Lorna berteriak. "Kalian balikan? Balikan? Beneran? Aku pikir dia bercanda!" seru Lorna.

Tiffany memainkan jari di atas meja. "Iya, tapi rasa nggak balikan. Kemarin mantan rasa pacar. Sudah jadi pacar malah rasa rujak cuka, asem banget dia!" keluh Tiffany.

"Dia lagi sibuk, Fan. Yang dia urusi ratusan ribu karyawan. Mereka punya keluarga yang harus dihidupi. Kalau Dylan ceroboh dan buat rugi perusahaan, hidup orang-orang itu akan dipertaruhkan juga. Coba kamu pikir berapa banyak orang cerai karena hilang pekerjaan, berapa banyak anak kelaparan karena orang tuanya di PHK?"

Tiffany melihat karyawannya. Ada Teh Retno, janda dua anak yang suaminya kabur dengan wanita lain. Andai kalau toko roti Tiffany bangkrut, ia mungkin akan bingung mencari pekerjaan. Andai kalau itu Tiffany yang dulu, mungkin ia tak akan mengerti hal itu. Kadang ada alasan kenapa dia harus berjuang untuk jadi pengusaha, untuk mengerti Dylano.

"Kamu benar Lorna, dia pasti sibuk. Hanya saja aku takut dia lupa makan atau lupa berbaring sejenak. Dia bisa sakit juga," timpal Tiffany.

"Dia lebih kuat dari yang kamu bayangkan. Karena itu dia ada dengan kamu sekarang." Lorna melihat tetesan hujan jatuh ke atas daun pohon palem di halaman belakangnya. Dia ingat dengan wajah penderitaan Dylano. Kini wajah itu kembali berbinar ketika mengatakan Tiffany sudah kembali ke pelukan. "Kamu harus dukung dia, beri dia semangat dan jangan tinggalkan dia. Percaya sama aku, kamu itu kekuatannya."

Tak lama telpon dengan Lorna terputus. Hujan di luar mulai mereda. Mata Tiffany terpaku melihat sebuah mobil menepi di pelataran parkirnya. Tiffany kenal mobil itu milik Daniel. Pintu mobilnya dibuka dan terlihat Ema turun dari sana dengan Rio.

Berdiri Tiffany dari posisi duduknya. Ia berlari ke pintu untuk menyusul wanita itu. Ema tersenyum saat keduanya bertemu di pintu. "Aku ingin bicara denganmu. Ini penting," ucap Ema.

Tiffany mengangguk. Ia ajak ibu dan anak itu untuk masuk ke kantor di lantai atas. Tiffany mempersilakan Ema untuk duduk di sofa. Tak lupa ia minta Tuti membawakan camilan dan minum ke kantor.

"Aku mau memberitahu hal yang kamu titipkan padaku, tentang Daniel dan Dylano. Semalam aku temukan ini." Ema memberikan sebuah amplop pada Tiffany.

Masih tersimpan perangko dengan bahasa Inggris dan alamat yang tertera di sana adalah kampus tempat tiffany dulu meraih gelas sarjana. Tiffany ingat tulisan itu milik Dylano. Tulisan rapi yang sering ia katai jelek. Tak tahu kenapa melihat amplop itu terasa berat napas Tiffany. Tak mau terus bertanya, ia buka amplop itu. Ada dua lembar kertas dengan lipatan yang berbeda.

Tiffany buka salah satu surat. Ia baca isinya. Surat itu ditulis untuk dirinya dan atas nama Dylano sebagai pengirim.

Untuk Tiffany,

Surat ini tak akan berisi kata rindu dan cinta. Sepanjang aku menulis hanya akan ada kata maaf dan kesedihan. Kali ini Tuhan menakdirkanku untuk tak kembali, walau aku berharap suatu hari Dia mengubah semuanya. Mulai detik ini saat kaubaca kalimat setelahnya, bakar semua fotoku yang kau simpan, hapus kenanganku dalam hidupmu, lupakan namaku dari daftar orang yang pernah kau kenal. Anggap saja aku tiada.

Jangan cari aku, Tiffany. Lanjutkan hidupmu dengan senyuman. Kamu wanita terkuat dan kamu bisa lalui semua ini. Aku janji akan hilang dari hidupmu, kecuali suatu hari nanti kau butuhkan aku. Aku tidak akan memperhatikanmu dari jauh. Aku yakin kamu bisa berdiri di atas kakimu sendiri.

Lanjutkan kuliah untuk mengejar cita-citamu. Kamu luar biasa Tiffany. Wanita yang bisa mengubah pandangan dan karakter seorang Dylano Khani yang keras. Maaf sudah membuatmu menunggu lama dan hilang begitu saja.

-Dylano Khani-

Tertegun Tiffany membaca surat itu. Surat yang tak pernah sampai ke tangannya. Sampai menetes air mata Tiffany membaca itu.

"Baca surat satunya lagi. Aku yakin kamu akan mengerti alasan dia menulis surat itu," saran Ema.

Kini giliran lembaran kedua yang Tiffany baca. Surat itu Dylano tulis untuk Daniel. Jatuh kertas itu ke lantai ketika Tiffany selesai membacanya. Tangannya bergetar dan wajah berubah pucat. (Fokus gaess ... Surat kedua buat Daniel ada di chapter sebelumnya)

"Tenangkan dulu diri kamu, Fan," nasihat Ema.

Tiffany menggeleng. "Apa yang mereka lakukan pada Dylan? Apa maksudnya ini? Kenapa mereka setega ini?" Menetes air mata Tiffany dan tak lama bercucuran deras. Ia menepuk dada yang sakit. "Kenapa bisa begini? Kenapa dia nggak bilang sama aku? Kenapa dia selalu berpikir aku selemah itu sampai ...."

Tangisan Tiffany mengalahkan kemampuannya untuk mengungkapkan rasa. Sampai terdiam dia menatap lembaran kertas di tangan. Kenyataan ini begitu sulit untuk Tiffany, lebih sulit lagi karena terkubur selama delapan tahun.

Sepertinya awan mendung itu tiba hingga tempat Dylano berada. Matanya menatap lurus ke jendela sambil mendengar perdebatan jajaran direksi perusahaan. Sebagian yang hadir hanya wajah di layar karena tak bisa menyusul datang ke Indonesia.

Rapat ini berlangsung hingga berhari-hari dan menguras energi pun pikiran. Kini tak tahu kenapa rasanya terpanggil untuk mengingat Tiffany.

"Sepertinya kita harus berkorban banyak. Melepaskan Arifin Corp. pilihan terbaik. Banyak informasi yang Rezha Arifin bocorkan pada perusahaan lawan. Belum lagi banyak aset perusahaan yang ia alihkan secara ilegal."

"Bagian yang harus kita pertanyakan putra hasil hubungan gelapnya. Hingga hari ini simpanannya menolak untuk melakukan tes DNA." Lorena melipat tangan di depan dada.

"Sebaiknya anda angkat kembali kasus kematian Nyonya Khani. Aku yakin ada hal yang akan memberatkan Rezha Arifin," saran salah satu direktur.

Dylano memijiti kening. Bukannya tidak mau, kalau pun harus diangkat kembali, Tiffany harus terlibat di dalamnya. Karena dia salah satu saksi kunci malam itu. Dylano tak ingin Rezha menyakiti kekasihnya.

🌳🌳🌳

🌳🌳🌳

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sepasang Sepatu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang