43. Keberuntungan

9.5K 1.7K 533
                                    

Kebencian itu tubuh dari rasa iri. Iri karena kelebihan fisik orang lain termasuk kelebihan keadaan ekonomi. Apalagi kalau rumahnya besar. Punya kolam renang yang langsung menghadap pantai dengan pasir putih dan deburan ombak yang tak terlalu besar. Bohong kalau rasa iri Tiffany tak muncul untuk Dylan.

"Hah? Dia terluka karena dipaksa nikah? Hah? Di mana sisi terlukanya kalau yang didapat macam ginian?" Mata Tiffany menyipit memandang suasana pantai.

Ia baru bangun dan mandi di dalam bak mandi dengan sabun bermerk mahal. Kamar tamunya saja sudah sekelas kamar presidential Suite hotel berbintang lima. Bahkan perlengkapan mandi semua disediakan. Selesai mandi, pelayan sudah menyiapkan pakaian untuk ke persidangan.

Kini Tiffany sedang menunggu waktu sarapan sambil duduk di balkon. Di depannya ada kolam renang dan menghadap ke pantai. "Hidup memang tak adil."

"Mama!" panggil Christ. Anak itu sudah membawa buku baru. Hanya saja di sampulnya tak seperti buku dongeng anak-anak.

"Ini buku apa, Christ?" tanya Tiffany.

"Ambil dari kamar Papa," jawabnya dengan lugu khas anak-anak seusianya. Dia tahu mengambil barang orang lain artinya mencuri, tetapi tak termasuk barang milik orang tuanya.

"Duh, kalau ini punya Papa, harusnya dikembalikan. Kita kembalikan sama-sama, ya? Karena mengambil barang milik orang lain harus dizinkan pemiliknya. Kalau kita ambil tanpa izin sebaiknya apa?" nasihat Tiffany.

"Bilang maaf."

Tiffany turun dari kursi santai. Ia hendak berjalan ke kamar Dylano dengan diantar Christ. Begitu keluar dari pintu besar kamar tamu mereka menyusuri lorong menuju ruang tengah. Tak tahu berapa tinggi atap rumah itu. Di ruang tengah mendongak ke atas layaknya seperti melihat atap hotel. Tinggi dan menjulang dengan ornamen lampu kristal dan lukisan khas romawi di langit-langit.

Seorang pelayan menghampiri mereka dan mempertanyakan ke mana keduanya akan pergi. Katanya dilarang ke kamar utama rumah itu karena hanya keluarga Khani yang diberi hak.

"Ya sudah, kita kembali ke kamar saja, Christ kita tunggu Papa turun," ajak Tiffany walau hatinya merasa kecewa.

Christ menarik tangan Tiffany. "No! I'm Khani too!" tegas anak itu sambil menarik lengan Tiffany dan membawa gadis itu menaiki tangga. Kelihatannya ucapan Christ membuat pelayan itu mati kutu.

Tangganya sangat luas dengan corak kayu coklat tua dan karpet khas timur tengah di bagian tengahnya. Perlahan mereka naik. Di bagian tengah, Tangga bercabang dua ke sisi kanan dan kiri. Intinya tetap saja satu tujuan.

"Kamar Papa yang mana?" tanya Tiffany.

Ada beberapa pelayan yang sedang membersihkan lorong. Mereka berhenti sejenak dan menunduk ke arah Tiffany dan Christ. Bahkan lorongnya saja sangat luas dan ada hiasan berupa meja kayu dengan vas-vas berisi bunga berbagai warna.

Tiffany tahu harga bunga satu buket saja mahal. Bayangkan, setiap sudut ada vas dan ada bunganya. Tak tahu berapa uang yang Dylano keluarkan untuk semua itu.

"Tanda-tanda Dylano miskin adalah vas bunganya kosong," pikir Tiffany.

Mereka naik tangga di ujung lorong tangga besar lagi. Jadi di lantai dua ada ruangan tengah lagi dan ada tangga ke atasnya. Dari tangga itu ada sekitar empat pintu. Pintu dengan dua daun pintu Christ tunjuk. "Itu kamar Papa!" serunya.

Kaki Tiffany sampai pegal berjalan ke kamar itu. Pintunya tertutup rapat. "Kayaknya Papa nggak ada. Lebih baik kita ...."

Baru Tiffany bicara, Christ sudah main dorong pintu hingga terbuka. "Papa!" panggilnya dan lari masuk ke dalam. Sedang Tiffany menunggu di luar.

"Kamu ke sini dengan siapa?" tanya Dylano begitu Christ berada di sampingnya. "Ada Mama sana!" tunjuk anak itu ke arah pintu.

"Tif!" panggil Dylano dengan suara kencang karena jarak dari tempat ia duduk ke pintu lumayan jauh.

Tiffany mendengar panggilan itu. Dia lekas masuk. Di ruangan itu tak terlihat ada tempat tidur. Hanya ada meja dan sebuah kursi kayu yang Dylano duduki juga sofa-sofa membentuk letter O dengan meja besar di tengahnya. Tak lupa ada empat lemari besar dengan bindex dan buku-buku. "Ini kamar?" pikir Tiffany.

"Ini Dylan. Aku mau ngembaliin buku kamu. Christ yang ambil," ungkap Tiffany.

Dylano melirik putranya dan terlihat Christ menurunkan pandangan. "Maaf, Papa. Habis ada Mama sana," katanya.

Tiffany menyipitkan mata. "Ada Mama?" tanyanya.

"Foto kamu. Ada foto kamu di sana. Itu hanya catatan kerja. Supaya rajin, aku simpan foto kamu sebagai penyemangat," dusta Dylano. Padahal itu buku yang berisi puisi untuk Tiffany.

Polosnya Tiffany percaya dan langsung mengembalikan foto itu. Ia duduk di kursi yang berhadapan dengan Dylan dan terhalang meja.

"Mau sarapan sekarang? Aku suruh pelayan bawa makan ke balkon, ya?" tawarnya.

Dylano menggendong Christ keluar kamar dan diikuti Tiffany. Salah satu pintu di lantai tiga ternyata pintu balkon. Balkon ini sangat luas dengan taman di atasnya. Di tengah ada semacam gazebo dengan atap berbentul kubah dan pilar dari kayu. Di tengahnya ada meja makan dengan empat kursi yang menghadap ke lautan.

"Beli rumah di sini harganya berapa?" tanya Tiffany penasaran.

"Mau kubilang?" Dylano menyunggingkan salah satu sudut bibirnya.

"Jangan, deh! Aku belum sarapan. Bisa-bisa nanti aku kena asam lambung."

"Jam sepuluh nanti kita akan ke persidangan. Sambil menunggu kamu mau ngapain?" tanya Dylano.

"Kamu?"

"Kerja. Ada proposal rencana kerja salah satu CEO perusahaan dan menurutku ini sangat menjanjikan."

"Aku main sama Christ saja. Keliling rumah. Lagian dari kamar ke sini saja jauhnya kayak main di kebun binatang Bandung."

Mata Dylano menyipit. "Rumahku disamain sama kebon binatang," keluhnya.

Selesai sarapan, mereka minum teh menikmati pemandangan. Meja sudah berganti dengan mainan Christ. Seorang penasihat hukum memberi wedjangan bagaimana nanti Tiffany harus memberi kesaksian dan pertanyaan mana yang tak boleh ia jawab.

"Mereka mulai melakukan penyerangan lewat status Tuan Christ," ungkap pensihat hukum Dylano.

"Saksi dari pihak firma sudah hadir?"

Dengan yakin penasihat itu mengangguk. "Sepertinya Tuan Arifin sempat berusaha menjegal jalan kita, Pak. Bahkan ia sempat merencakan penculikan terhadap beberapa saksi."

"Lalu?"

"Polisi berhasil menghentikannya. Mereka sudah menyadap alat komunikasi serta melacak orang-orang yang terlibat. Salah satunya penjaga Nyonya Tiara malam itu."

Dylano mengangguk. Sudah ia duga. Saat itu orang yang berpengaruh di Khan & Y Grouph adalah Abraham dan Rezha. Tentu para penjaga itu akan lebih menurut pada keduanya. Posisi Abraham yang sakit-sakitan membuat Rezha berusaha menguasa. Sayang, Dylano yang terpilih menjadi Chairman dan itu membuat pamor Rezha di perusahaan turun.

"Kita harus hati-hati. Kemungkinan akan banyak orang kita yang juga tertangkap basah terlibat atas peristiwa malam itu."

🌳🌳🌳

Tinggal 7 episode lagi. Novel Lami di Kbmapp nyusul ya. Mungkin siangan karena keadaanku belum stabil.

Sepasang Sepatu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang