28. Pengorbananmu

9.3K 1.7K 324
                                    

Di tengah kebun teh itu ada tajug. Orang Sunda mengenal kata tajug sebagai masjid kecil di tengah kampung. Mendengar suara adzan, kini Dylano dan Tiffany sempatkan salat di sana. Hanya ada beberapa orang yang salat karena rata-rata mereka pelancong yang kebetulan lewat atau liburan. Sehingga salat maghrib mereka lakukan sendiri-sendiri.

"Kita orang kota pasti belum pernah merasakan suasana maghrib di kampung begini. Unik, ya?" Tiffany memulai obrolan saat mereka turun dari masjid kecil itu.

Berjalan melewati perkebunan dengan keadaan gelap, keduanya sangat memperhatikan langkah. Dylano sengaja jalan lebih dulu sambil menuntun Tiffany di belakang. Hanya beberapa langkah lagi, mereka sampai di mobil dan perut Tiffany berbunyi.

"Aku lapar. Ya maklum, aku makan tadi pas sarapan dan tak sempat ngemil. Terus di warung surabi aku malah marah-marahin orang. Energiku habis," alasannya.

"Ada tempat makan sedikit ke atas sana. Kita sering makan di situ dulu." Dylano menuntun Tiffany ke mobil dan melanjutkan perjalanan sedikit ke arah Subang menuju restoran sunda.

Ada restoran yang tempat makannya berbentuk saung-saung di atas kolam, hanya bentuknya lesehan. Sedang tempat makan yang menggunakan meja berada ruangan besar beratap jerami. Dylano hendak membawa Tiffany ke sana, tetapi langsung ditahan gadis itu. "Aku maunya di situ!" tunjuk Tiffany ke saung. Tanpa mendengar jawaban Dylano, gadis itu langsung berlari ke saung dan naik ke atasnya. Ia duduk bersila sambil menghadap ke meja.

Mata Dylano berkedip-kedip. Sesekali ia menggaruk kepala karena bingung. Akhirnya secara terpaksa Dylano naik ke saung itu. Wajahnya terlihat gelisah.

"Kamu kenapa?" tanya Tiffany bingung.

"Adakah hal yang lebih mudah dibandingkam harus bersila?" Dylano masih kesulitan mengatur kaki panjangnya saat duduk di karpet saung.

"Masih belum bisa?" tanya Tiffany.

Dylan menggeleng dan terdengar suara dengusan Tiffany. "Payah! Kaubilang mencintaiku? Sementara berkorban untuk duduk bersila saja menyerah."

"Ini bukan soal tak bisa, tapi tubuhku memang tercipta bukan untuk bersila," kilah Dylano. Akhirnya ia duduk dengan posisi seperti gerakan salat, duduk di antara dua sujud.

"Darah bulemu kental sekali, ya? Daniel saja masih bisa," keluh Tiffany lalu turun dari saung itu menuju ruangan yang ada meja-meja di sana. Dylano mengusap dada. Syukur ia, Tiffany bisa mengalah. Masalahnya bukan pada berjuang atau tak berjuang. Struktur tubuh Dylano yang lebih seperti orang barat membuatnya sulit.

"Soto Bandung, ayam goreng, lalapan sama sambal. Nasinya yang merah, ya? Pakai tespong. Ouh, tumis kangkung juga," pesan Dylano pada pelayan yang datang untuk mencatat pesanan. "Ada yang tertinggal?"

Tiffany menggeleng sambil membuka mulut lebar akibat kagetnya. Pria itu tahu benar apa yang Tiffany suka. "Kamu masih suka soto Bandung?"

Dengan yakin Dylano mengangguk. "Aku kadang buat sendiri di rumah. Rasanya beda dengan buatanmu."

"Karena pasti kamu nggak pakai micin. Itu kunci kenikmatan, Bro!" Tiffany terkekeh. Suaranya begitu renyah memancing Dylano untuk tertawa kecil.

Terdengar suara dari penyanyi di panggung. Menyanyikan lagu Cintai aku lagi yang dulu dinyanyikan oleh Sania. Seperti tersindir pasangan mantan rasa pacar itu. Lagu tahun 2006, tahun saat keduanya duduk di sini dulu sebagai sepasang kekasih.

Sepasang Sepatu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang