45. Rindu Seujung Langit

10.7K 1.8K 420
                                    

"Wa Enti!" sapa Bunda ketika membuka pintu setelah terdengar bunyi bel. Tiffany yang sedang duduk di sofa ruang tamu jelas mendengar suara itu. Moodnya yang sudah buruk lantaran Dylano jarang menghubungi semakin buruk. "Masuk, Wa," ajak Bunda.

Tak lama mereka tiba di ruangan itu. Mata Tiffany menemukan sosok Uwa julid beserta putri kebanggan Maira dan menantu kesayangan Edwin. Lengkap sudah kekesalan gadis itu hingga lebih memilih menatap ke layar televisi.

"Jatmika mana?" tanya Wa Enti.

"Sebentar, aku panggilkan." Bunda berdiri. Ia meminta Tiffany untuk ke dapur mengambilkan camilan dan air minum. Itu lebih baik bagi gadis itu daripada harus satu ruangan dengan keluarga yang rekor julidnya sudah segalaksi Bima Sakti.

"Gini loh, Jat. Maira mau adain upacara empat bulanan di hotel. Soalnya kalau di rumah malu. Edwin anggota dewan, tamunya pejabat semua. Malah ada rencana undang Presiden. Jadi mau diadain di hotel bintang lima," cerita Wa Enti.

Tiffany memutar bola mata. "Apa perlu ya disebut-sebut sampai segitunya? Lagian Presiden sibuk urusin negara. Ngapain ngurusin anak Wa Enti!" umpatnya dalam hati.

"Kapan? Insyaallah kami pasti hadir, kok," jawab Ayah.

Tiffany yang tadinya sedang menyimpan minuman di atas meja hendak ke kamar, tetapi Bunda langsung menahan. "Fan, ucapin selamat dulu sama Maira," saran Bunda.

"Selamat," ucap Tiffany dengan senyuman yang sangat dipaksakan.

"Aku dengar Tiffany gagal nikah lagi? Katanya benar calonnya lebih milih pekerjaan?" ungka Wa Enti mengorek luka yang sudah Tiffany kubur.

"Bun, aku mau ke kamar," izin Tiffany.

"Duduk, Nak," titah Ayah. Akhirnya Tiffany duduk di sofa kembali dengan wajah kesal.

"Nggak apa, Fan. Pasti ada gantinya, kok. Walau bukan laki-laki kaya, yang penting ganteng. Lagian kamu 'kan bisa biayi hidupnya," tambah Maira membuat urat leher Tiffany terasa tegang.

"Kalau kamu tahu calon suamiku punya jet pribadi sampai pulang naik heli, aku nggak jamin kamu masih kuat hidup!" gerutu Tiffany lagi di dalam hati.

Ia tak pernah bilang tentang Dylano pada kedua orang tuanya. Ayah dan Bunda pasti akan tiba-tiba melarang kalau tahu Dylano itu sekaya apa. Di awal memang setuju, hanya masalah tak sepadan ekonomi pasti membuat mereka mundur lagi.

"Tiffany masih buka toko? Beberapa hari lalu aku ke sana beli buat sarapan, nggak ketemu." Edwin masuk dalam obrolah. Catat! Edwin ini sebenarnya diam-diam suka pada Tiffany. Pria mana yang tak jatuh hati akan kecantikan gadis itu. Bahkan saat acara lamaran dan bertemu Tiffany, matanya terus memandang paras rupawan Tiffany.

Klimaksnya selesai acara pernikahan dia bilang menyesal bertemu Maira lebih dulu. Syukur saat itu terdengar Daniel dan langsung diberi peringatan. Tiffany juga tak mau membesar-besarkan masalah itu karena pasti Wa Enti akan menyalahkan dirinya.

"Aku nggak pernah kerja pagi, percuma ... uangku banyak!" Suara Tiffany terdengar sangat ketus. Ia tak suka cara Edwin melihatnya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Malah jelas sekali akhirnya terpaku ke dada Tiffany.

"Kamu yang sopan, Edwin ini wakil rakyat," nasihat Wa Enti.

"Aku nggak milih dia waktu pemilu," celetuk Tiffany seperti biasanya sangat galak. Gadis itu berdiri. "Aku ke dapur dulu, mau makan anggur."

Tiffany melangkah menuju dapur. Ia buka kulkas yang berada dekat pintu keluar dapur menuju halaman belakang. Saat berbalik, ia kaget akan keberadaan Edwin di sana.

"Mau apa?" tegur Tiffany.

"Mau ambil air putih saja. Santai!" jawabnya sambil mengusap lengan Tiffany. Jelas gadis itu langsung menepis lengan Edwin dan menjauh.

"Jangan kurang ajar, ya! Aku bisa laporkan kamu sama atasan kamu! Kamu itu hanya staff bukan anggota dewan!" ancam Tiffany.

Daripada terus memberi Edwin kesempatan, Tiffany memilih pergi dari dapur dan kembali ke ruang tamu sambil bergidik.

"Edwin nggak tersesat jalan ke kamar mandinya?" tanya Wa Enti.

"Katanya cuman mau ambil air putih," Tiffany melirik ke belakang sambil menatap Edwin tajam.

"Loh, katanya mau ke kamar mandi?" Maira ikut bertanya.

Edwin cengengesan. "Nggak jadi, malah jadi haus," jawabnya sambil melirik Tiffany.

Tiffany lekas berlari duduk di samping ayahnya sambil memeluk lengan pria itu. Setelah mereka pergi, Tiffany mau mengadu saja soal Edwin.

"Tif, sekalian aku mau nawarin. Bawahan Edwin ada yang seumuran kamu dan sedang nyari calon istri. Jangan lihat jabatan. Gaji dia memang kecil. Daripada kamu sendiri terus, mana sudah tua begitu," tawar Maira. Dia sangat menurunin sifat ibunya.

Bunda menggeleng. "Tiffany sudah ada calon. Iya, 'kan? Dylano bilang ke Ayah dan Bunda sudah mau serius sama kamu." Bunda mengusap rambut putrinya.

"Iya, kemarin telpon lusa mau melamar. Formalnya nunggu keputusan Ayah sama Bunda. Dia pulang ke Indonesia besok," jawab Tiffany.

"Ouh ya, kerja di mana? Pegawai pemerintah lagi?" tanya Maira.

Senyum Tiffany berkembang. "Kamu tahu apartemen tinggi baru di Cicadas? Itu proyek punya perusahaannya. Eh, bukan ... anak perusahaannya," jawab Tiffany bangga.

Bunda dan Ayah langsung menatapnya kaget. "Kamu bilang dia anak juragan toko alat tulis?" Karena mulut, lagi-lagi Tiffany ketahuan berbohong.

Tangan gadis itu menggaruk rambut. "Bukan, dia pengusaha. Lagian, Bun. Aku cinta dia. Pokoknya jangan tolak dia. Kalau nggak aku kawin lari. Aku maunya dia. Dia kurang apa coba? Ganteng, kaya, pendidikannya tinggi, sayang sama aku. Ya?" pinta Tiffany.

"Jauh sekali sama kita, Nak," timpal Ayah.

Tiffany manyun. "Pokoknya kalau nggak sama Dylano, mendingan Tiffany nggak usah nikah saja!" tegasnya.

Bunda dan Ayah jelas bingung kalau sudah begitu alasannya. Akhirnya mereka mengangguk. "Iya, nanti kita minta Wa Enti jadi sesepuh di acara lamaran. Sambil menunggu Dylano ke rumah dulu," jawab Ayah membuat Tiffany tersenyum.

"Kamu yakin dia pengusaha? Banyak orang yang ngaku pengusaha, loh. Bahkan artis saja ada yang kena tipu nikahin pengusaha tahunya cuman penipu dan ujungnya cerai." Maira sepertinya tak terima sekali jika Tiffany melampauinya.

"Kamu pikir aku bodoh? Aku saja tahu suami kamu bukan anggota dewan, tapi cuman staff di DPRD," balas Tiffany. Bunda mengusap punggung putrinya karena tahu kemungkinan akan terjadi baku hantam.

"Maira sudah jelas posisinya. Edwin benar kerja di lembaga pemerintahan. Gajinya jelas tinggi. Kamu? Buktinya apa kalau calon suami kamu itu pengusaha?"

"Kalian punya HP, cek Google saja. Tulis nama Dylano Al-Lail Khani," jawab Tiffany.

Karena penasaran semua orang membuka HP mereka dan mengetik nama yang disebutkan Tiffany.

"Ini masuk lima puluh orang terkaya di dunia? Dylano?" tanya Ayah kaget. Dengan yakin Tiffany mengangguk. "Penghasilan kamu saja jarang sampai seratus juta. Ini kekayaannya sampai ratusan triliyun?"

Bunda sampai menjatuhkan ponsel. Bagian itu sama sekali tidak Tiffany baca. Ia ambil ponsel Bunda dan membacanya. "Pantas saja jas dia sampai enam ratus juta sekali pakai. Dunia nggak adil banget ya, Yah? Kesel Fany, tuh! Padahal soal akhlak, Tiffany lebih baik," celetuknya

🌳🌳🌳

baca kelanjutannya di aplikasi  KUBACA atau buku cetak di SHOPEE KATADEPAN

Sepasang Sepatu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang