17. empat, lima, enam

9.4K 1.8K 221
                                    

Tahap empat, saatnya membuat wanita terkesan setelah memberi respon positif. Duduk di depannya saat jam makan siang termasuk. Tentu itu menimbulkan kehebohan seisi sekolah. Pasalnya gadis yang tak pernah diperhatikan kehadirannya oleh seisi sekolah malah menjadi perhatian pria yang paling diperhatikan di sekolah ini.

"Tuan Dylan ngapain di sini?" tanya Tiffany bingung. Ia melirik ke kiri dan kanan, tatapan siswi-siswi lain sangat tajam dan menakutkan.

"Lagi goreng cireng. Bukanlah! Mau makan!" protes Dylano. Ia menyendok chiken katsu di kotak makannya. Di sekolah ini jam istirahat kedua pasti diberi makan pihak sekolah. Kantin ada walau harganya tak manusiawi untuk Tiffany. Siswa lainnya bilang itu wajar walau beli bakso semangkuk sampai seratus ribu. Sepertinya tetelannya saja import dari Jepang.

"Semua orang nggak ada yang mau duduk di sini." Tiffany menunjuk meja makannya.

"Kenapa?"

"Karena ada aku. Mereka takut miskinku menular," jawab Tiffany lirih.

"Mereka sudah SMA masih saja belum bisa bedakan penyakit menular atau bukan. Memang miskin itu sebangsa flu? Kalau takut miskin ya kerja. Bukannya jauhi orang miskin. Bodoh banget, ya?" sindir Dylano sampai siswa lainnya menunduk.

Tak tahu apa, baru kali ini Tiffany melihat Dylano begitu bersinar. Bukan hanya karena ketampanannya, tetapi sikapnya yang tak memandang kasta. Dia bahkan mau beli cireng di pinggir jalan, naik motor matic dan kini duduk dekat Tiffany. Dia juga tak protes makan kersen padahal belum dicuci.

"Hidup itu hanya punya dua tujuan, mati baik-baik apa mati dengan cara buruk. Kalau sikap mereka begitu, sudah jelas bagaimana nanti matinya," tambah Dylano.

Tiffany cekikan. "Kalau sikapnya kayak Tuan Dylan bagaimana?"

"Apa? Nggak kedengeran!" Dylano pura-pura mengorek telinganya. Padahal Tiffany cukup keras bertanya.

Tahap kelima, keyakinan. Dylano berusaha yakin jika ia berhasil menarik perhatian Tiffany. Saat main basket tak tahu mengapa ia lebih sering melihat Tiffany lewat ke lapangan. Padahal biasanya itu tempat yang Tiffany hindari.

"Kenapa Tuan Dylan jalan di sisiku, sih?"

"Kalau dibelakang, takutnya kamu diculik, aku nggak lihat. Kalau di depan takutnya kamu kesandung, aku nggak sempat tahan," jawab Dylano gampang.

"Memang kalau jalan di sisi bisa cegah aku diculik dan nggak kesandung?"

"Bisa, begini!" Kaget Tiffany begitu tangannya digenggam Dylano. Sampai berdebar jantungnya dan pipi merona. Fany tak mau jatuh cinta karena menghabiskan waktu belajar. Hanya kali ini tak tahu kenapa ternyata menyenangkan. Ia biarkan tangan Dylano di sana, menuntunnya.

Tahap enam, Dylano berusaha terus meyakinkan kembali dirinya. Ini pertama kali Dylano mengajak Tiffany jalan keluar. Diboncengnya gadis itu dengan motor sport merah dari Ducati.

Mata Tiffany berbinar. "Tuan! Aku belum pernah ke sini, loh!" serunya senang.

"Iyakah? Kamu baru tinggal berapa lama di Bandung?" tanya Dylano sedikit berteriak karena suara mereka teredam kendaraan lain.

"Aku lahir di Bandung dan dari lahir nggak pernah pindah rumah. Aku nggak pernah jalan-jalan walau di kota sendiri. Kalau libur paling ke jalan depan gang, bantu Ayah." Begitu polos Tiffany menjawab pertanyaan Dylano.

"Kalau begitu mulai sekarang setiap libur, aku akan ajak kamu jalan-jalan. Kamu harus tahu kalau Bandung itu luas. Apalagi dunia," timpal Dylano.

Angin meniup wajah Tiffany yang menaikan kaca helmnya. Bisa terlihat jelas pepohonan rimbun sepanjang jalan Aceh.

FLASHBACK OFF

Rambut Tiffany basah, ia habis keramas dan potong rambut. Ceritanya buang sial habis berpisah dengan mantan. Sambil mengeringkan rambut, Tiffany duduk di sisi tempat tidur. Matanya menatap lurus ke arah nakas di mana kantong kertas berisi topinya tersimpan. Iseng, ia simpan hair dryer di atas kasur.

Tanganya meraih tas kertas itu. Tak tahu kenapa tasnya berat. Sadar ada yang janggal, Tiffany keluarkan topi dari dalam sana. Ia kaget, sesuatu diselipkan dalam lekukan topi. Menyesal tak mengeluarkan isinya sejak di kantor, mungkin masih sempat dikembalikan. Ia hanya mengintip saja dari lubang tas kertas tadi pagi.

"Dylano! Maksudnya apa ini?" keluh Tiffany kesal melihat sebuah dompet dengan merk Prancis terkenal. Iseng saja Tiffany mencari-cari harga dompet ini di internet. Menggunakan Google Lens dompet itu dengan mudah ditemukan beserta harganya.

"Gila!Dia apa nggak bangkrut? Dia nemu topi harusnya dikasih komisi, ini malah ngasih hadiah lebih mahal dari topinya. Tunggu! Apa dia ngejek kalau topi yang kupakai dikepala nggak setara sama dompet yang disimpan di saku?"

Tak tahu kenapa kalau urusan dengan Dylano, rasanya Tiffany pasti selalu suudzon. Melihat dompet coklat kopi dengan simbol L dan V timbul keinginan untuk mengembalikannya. Tiffany ambil ponselnya di atas nakas dengan emosi marah yang tanggung.

Ia buka kontak ponselnya dan discroll layar. Tak lama ia terdiam. "Aku 'kan nggak punya nomor HP Dylano." Seketika dia terdiam. Tangannya meremas sprei Doraemon di kasur. Dia menatap nanar dompet mahal itu. Tak lama Tiffany tersenyum perih. "Kenapa aku menerima nafkah darinya?"

Seketika ia dapat ide. "Aku memang tak punya nomor HP Dylan, tetapi Lorna pasti punya," pikir gadis itu. Kembali ia buka kontak ponsel. Dicarinya nomor HP Lorna di kontak aplikasi chat. Lumayan lama menunggu telpon diangkat.

"Hai, Fany. Ada apa?" tanya Lorna dari balik telpon.

"Ini, tadi pagi Dylano mengembalikan topiku. Sepertinya ada barang dia tertinggal di paper bag. Ini barang mahal jadi kupikir harus mengembalikannya," cerita Tiffany.

"Barang apa?" Lorna malah kepo dengan pernyataan Tiffany.

"Dompet wanita, sih. Aku takutnya ini untuk istrinya."

Lorna cekikikan jauh di sana. Di sana Tiffany malah bingung. Apa dia salah berkata. "Ya Allah, Fan. Kamu nggak tahu kalau istri Dylano sudah meninggal?"

Hampir merosot ponsel dari genggaman tangan Tiffany. "Hah? Sejak kapan?" tanya gadis itu sambil menatap kosong ke cermin.

"Sudah empat tahun. Malah dia nggak pernah dekat dengan wanita. Mungkin itu hadiah tanda dia mendekatimu." Lorna memancing respon Tiffany.

Sayangnya menjadi jomblo bertahun-tahun dengan patah hati beberapa kali membuat Tiffany tak mudah percaya dengan ucapan semacam itu. "Mana ada. Aku dan dia nggak ada apa-apa. Lagipula tipeku sekarang bukan bule. Sekarang targetku anggota boyband Korea," tolak Tiffany tegas.

Lorna sempat tertawa. "Cobalah dulu, Fan. Lagipula kalian bukan remaja lagi. Sudah waktunya kalian memilih calon yang pasti," saran Lorna.

Menarik napas beberapa kali, Tiffany berusaha membuat dirinya lapang. Memilih calon yang pasti? "Pasti itu bukan Dylano," pikir Fany.

"Minta nomornya Dylano, Lorna. Aku harus mengembalikan dompet ini. Apapun maksudnya dia menyimpan barang ini di sini, lebih baik ini dikembalikan. Aku tak pantas menerimanya. Bagaimana kalau dia memang lupa meninggalkannya di sini?"

"Memaafkan itu bukan artinya kembali. Dan kembali pada Dylano bukan hal yang kuinginkan. Dia terlalu menyakitkan dan aku tak mau mengulangnya," batin Tiffany lagi sambil menatap kosong ke jendela.

🌳🌳🌳

🌳🌳🌳

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sepasang Sepatu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang