40. Titik Terang

9.6K 1.8K 329
                                    

"Ih, padahal aku sudah lucu lagi, ya? Kenapa masih nangis. Kalau gini, mataku bengkak nanti," keluh Tiffany yang masih menyeka air mata dengan lembaran tissue. Ia duduk di atas sofa di kamar Dylano.

Dengan lembut tangan Dylano mengusap bahunya. Sedang Tiffany masih sesegukan. "Aku tuh bingung sama kamu! Kenapa nggak kasih tahu aku? Padahal kamu sering bilang kalau susah dan senang harus kita bagi berdua," protes Tiffany. Ia tarik kemeja Dylano beberapa kali walau tak cukup kuat.

"Kamu tahu dari mana?" tegur Dylano sambil memegang kedua pipi Tiffany dengan kedua telapak tangannya. Ia sedikit naikan wajah Tiffany agar menatap ke arahnya.

"Aku dapat surat kamu untukku dan Daniel."

Tertegun Dylano mendengarnya. Sampai dilepas tangan dari kedua pipi tembam dan putih itu. "Daniel berikan surat itu padamu?"

"Aku ambil diam-diam." Tiffany tak mungkin mengaku Ema yang mengambilkan itu untuknya. "Terus aku tanya sama Lorna dan Irma. Aku desak mereka, makanya mau cerita," tambah Tiffany.

"Harusnya kamu tak tahu." Dylano memalingkan pandangan. Ia menatap lurus ke arah pintu kaca besar yang menghadap ke balkon.

"Kenapa? Mau aku terus marah sama kamu? Mau terus nyalahin kamu? Mau aku semakin merasa bersalah?"

"Aku nggak mau kamu sakit karena tahu itu semua. Aku nggak mau kamu nyalahin diri sendiri. Semua ini murni salahku. Andai saja waktu itu nggak ikut ke Amerika, nggak bantu perusahaan. Setidaknya lebih nyaman dianggap anak tak berguna." Dylano menunduk sambil meremas jemari tangannya.

Tiffany bersandar ke punggung Dylano. Ia peluk tubuh pria itu. "Maafkan aku yang terus maksa kamu untuk berubah. Kalau saja aku nggak minta kamu jadi anak baik, kamu nggak akan dikekang."

Tangan Dylano mengusap rambut Tiffany yang terurai. "Kalau begitu, tetap denganku. Jangan minta berpisah, apapun perbedaan kita."

Dengan yakin Tiffany mengangguk. Dylano bangkit dan bersamaan dengan itu Tiffany sedikit mundur. Lengan gadis itu ditarik Dylano dan dibawa dalam pelukan. Mata keduanya saling bertatapan dan dalam irama napas yang sama serta detak jantung yang sama cepatnya, bibir keduanya saling menyentuh. Lama, bukan hanya kecupan. Ada rindu di dalamnya akibat seminggu lebih tak bertemu.

Semua berakhir dengan suara perut keroncongan Tiffany. Dylano melepas bibirnya lalu tertawa. "Kamu belum makan?" tanyanya sambil cekikikan.

"Aku lupa karena saking marahnya. Bahkan semalam nggak tidur," adu Tiffany.

Dylano mengambil gagang telpon di nakas. Ia meminta untuk dibawakan makanan ke kamar. Baru menutup telpon, ponselnya berdering. Dylano ambil ponsel. Melihat nama di sana, ia berdiri. "Aku angkat telpon dulu, sayang." Dengan lembut Dylano mengecup kepala Tiffany lalu beranjak pergi meninggalkan kamar.

"Dia sibuk terus." Tiffany mengusap matanya. Ia berdiri dan becermin pada layar ponsel. Matanya bengkak. "Ah, aku mau cuci muka. Di mana kamar mandinya?"

Tiffany berdiri. Ada banyak pintu di sana. Jendela besar itu sudah jelas menuju balkon. Angin bertiup dari sana sampai bergerak indah gorden putih yang menutupi.

Bahkan untuk melihat ujung atas pintu, Tiffany harus mendongak. Ia buka pintu pertama dekat pintu ke balkon. "Ini toilet," ucapanya kesal karena hanya ada wastafel dan WC. "Kebiasaan orang kaya WC sama kamar mandi dibedain."

Ada pintu satu lagi yang memiliki dua pintu dan berhadapan dengan pintu menuju balkon. Ketika dibuka, menyipit mata Tiffany. "Apa-apaan ini? Baju dia malah lebih banyak dari aku!"

Itu walking closet dengan delapan lemari raksasa berbeda fungsi. Di tengah ruangannya ada lemari kecil berkaca tempat menyimpan jam tangan. "Ini baru di rumah ini. Rumah dia 'kan banyak. Artinya lebih banyak dari ini baju dia itu. Sudah pas Dylano kalau buka toko baju." Tangannya berkacak pinggang.

Ia tutup pintu itu dan masuk ke pintu yang satunya lagi. Salah lagi, itu ruang santai. Di dalam kamar ada ruang santai. "Aku benci kenyataan ini!"

Kali ini dia tak salah masuk. Benar-benar di kamar mandi. "Kamarku dan kamar mandinya saja lebih luas kamar mandi dia. Di sini aku bisa main sepak bola." Kakinya berjalan di atas karpet lembut yang tak boleh basah. Marmer gading di wastafel dan kerannya yang berwarna keemasan. "Aku merasa kaya diam di rumah ini."

Bahkan sabun tangannya bukan merk yang awam digunakan Tiffany. Handuk tanganya sangat lembut. Kaget Tiffany banyaknya perawatan wajah di samping wastafel. "Pantasan saja wajahnya glowing. Bahkan ada yang dari Channel segala." Memakai bath and body works untuk cuci tangan saja, Tiffany sudah merasa mahal. Apalagi ini dengan sabun merk L'Occitane.

Selesai cuci muka, ia keluar dari kamar mandi. Disentuhnya semua barang di sana. Ada empat sofa mahal berwarna abu-abu dan meja putih di tengahnya. Lampu kristal bergantung. "Melihat ini aku merasa masih miskin," keluhnya. Padahal selama ini dia sudah merasa sudah kaya.

Tanpa sengaja ia melihat foto Tiara di atas nakas. Tertegun Tiffany. Ia akhirnya tahu wanita yang ia tolong empat tahun lalu adalah Tiara Khani dari foto-fotonya di Google.

"Aku mengerti kenapa kamu minta maaf padaku dan suamimu. Kamu benar membawa banyak penderitaan untuk Dylano. Bahkan untuk anakmu sendiri. Kasihan Christ harus menanggung dosamu. Tapi, terima kasih banyak. Karena kamu aku sadar harus banyak memperhatikan Dylano."

Pada dasarnya Tiffany memang baik. Ia akan memaki untuk sekali, tetapi ia pasti memaafkan. Hatinya sudah berada di tingkat tertinggi untuk bersabar. Latihan hidup sulit membuat ia mengerti setiap karakter manusia.

Pintu terdengar dibuka. Seorang anak mengintip dari pintu. Tiffany tersenyum. Ia rentangkan tangan dan menunduk agar anak itu lari ke pelukannya. Benar, Christ langsung berlari memeluk Tiffany.

"Anakku yang lucu," ucap Tiffany sambil mengecup pipi Christ.

"Kata Nenek Mama ke sini. Sama Papa? Untung Christ di rumah Papa. Syukurlah," tanya Christ. Tiffany mengangguk. "Mama jadi Mama Christ?"

Ia gendong Christ ke sofa. Didudukannya anak itu dalam pangkuan. Ia usap rambut Christ. "Kamu nggak minta dilahirkan ke dunia. Kenapa harus kamu yang menanggung kebencian Papamu?" batin Tiffany. Ia merasa Christ yang paling tersakiti dalam hal ini. Anak itu tak tahu apa-apa, tetapi ikut merasakan perbuatan ibunya.

"Mama kenapa merah mata?" Ia menunjuk mata Tiffany.

"Habis nangis," jawab Tiffany sambil tersenyum.

"Jangan nangis. Christ sedih Mama nangis," ucapnya sambil memperlihatkan raut wajah sedih.

Dipeluk erat Christ oleh Tiffany. "Mama sayang sekali sama Christ. Jangan takut nggak disayang lagi. Mama mau jaga kamu, kok."

Mata Tiffany sempat melirik ke arah foto Tiara. "Terima kasih sudah memberikan anak baik ini di antara aku dan Dylano. Aku harap kamu tenang di sana. Aku akan sampaikan pesan yang kamu titipkan padaku. Aku juga akan jadi saksi atas kematianmu. Bukan untuk kamu, untuk Christ dan Dylan."

🌳🌳🌳

🌳🌳🌳

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sepasang Sepatu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang