28.💞

915 120 21
                                    

Happy reading 💞
Jangan lupa vote dan komennya.



Riski termangu sendirian di teras rumahnya. Pikirannya sekarang sedang kosong dan hampa. Selepas Ayahnya tiada, separuh semangat hidupnya kandas diterpa keadaan. Kini, tak ada lagi yang selalu merecoki atau menyuruh ini itu kepadanya.

Dia merenung dengan mengenggam sebuah buku diary bernuansa coklat yang dulu pernah ia temukan di lorong meja kelas empat diniyah putri. Ia senantiasa menjaga buku tersebut karena ia tahu seberapa berharganya buku itu oleh pemiliknya. Dia sadar bahwa selama ini sudah lancang untuk membaca privasi orang. Namun, dari untaian kata di dalam buku tersebut, dia kembali mendapatkan apa yang sudah dia lepas selama ini.

Adelia Rahma.

"Lia," lirih Riski.

Riski mengusap lembut cover depan buku diary yang ternyata adalah milik Adel.

"Kita dipertemukan oleh kenyamanan yang dilepaskan keterpaksaan lalu kembali temu atas dasar ketidaksengajaan. Dan kini, akankah lobbisa mengingat gue di masa depan sebagai gue di masa lampau?" rintihnya dengan menikmati suasana kesejukan pagi.

Dia membuka lembar demi lembar buku diary itu sambil menyunggingkan senyum. Kekagumannya tetap sama seperti awal ia menemukan tulisan itu. Dia jatuh cinta pada tulisan rapi nan khas dari seorang Adelia Rahma.

"Riski," panggil Ibu Riski seraya duduk di sampingnya.

"Iya, ada apa, Bu?"

"Besok kamu balik pondok, kan?" tanya Ibu Riski.

"Iya," jawab Riski singkat.

Ibu Riski mengelus rambut kepala anaknya. "Jangan lupa ya, Ris."

Riski mengerdikkan bahu. "tentang apa, Bu?" tanya Riski heran.

Ibu Riski tersenyum lalu memberi isyarat dengan melingkarkan jari tangan kirinya ke pergelangan tangan kanannya.

Riski seketika menganggukkan kepala dan memeluk buku diary itu.

"Siap, Bu," jawab Riski dengan raut yang sedikit agak tegang.

♥♥♥

Keesokan harinya, seluruh santri pondok pesantren Asy-syifa berbondong-bondong kembali ke ponpesnya. Setelah dua minggu pulang ke rumah, terasa amat rindu dengan suasana rumah kedua santri tersebut. Ya! Pondok adalah rumah kedua bagi seorang santri. Karena di sanalah tempat mereka tumbuh dewasa, mencari jati diri, belajar mandiri, dan harus jauh dari kedua orang tua atau sanak saudara.

Mungkin banyak santri yang tidak tahan dengan ketidakbebasan dan kerasnya aturan di ponpes, sehingga mengakibatkan mereka berhenti di tengah jalan. Namun, tak sedikit pula juga yang berhasil menahan ego atau nafsunya sehingga ia bisa boyong dengan ridho Kiai dan Bu Nyai. Alangkah beruntungnya bagi santri yang kuat mondok sampai tuntas tanpa pernah berniat untuk keluar pondok.

"Ratna mana, sih. Udah jam segini batang hidungnya belum nongol  juga," gerutu Adel yang kini sedang duduk di teras asrama putri.

Sudah hampir satu jam dia duduk sendirian demi menunggu sahabatnya datang. Sembari menunggu, ia membuka alqur'an untuk deres hafalannya.

Mahkota Impian Santri ✓[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang