15.💞

1K 127 25
                                    

Happy reading💞
Jangan lupa vote dan komennya



"ketika masa lalu buruk terbesit tanpa permisi, saat itulah luka yang belum kering tertabur dengan garam. Dan justru, rasa sakitnya akan berlipat," -Adel

•••

Cahaya putih yang masuk dari pintu kamar Adel membuat silau penglihatannya, Sehingga ia harus menutup matanya dengan kedua telapak tangannya. Saat cahaya putih tersebut mulai menghilang, Adel mencoba membuka telapak tangannya satu persatu. Alangkah terkejutnya ketika dia melihat seorang laki-laki yang tidak asing dihidupnya, kini mendekati ranjang tidurnya. 

Pria itu menyunggingkan senyuman tulus beserta memaparkan wajah yang penuh dengan kebahagiaan dan kasih sayang.

Laki-laki itu hanya diam membisu dan terus tersenyum melihat Adel yang saat ini, wajahnya merah padam menahan tangisan.

"Ayah," panggil Adel.

Adel meneteskan air matanya karena orang yang dirindukannya selama ini, hadir dihadapannya.

"Aku rindu sama ayah," lirih adel dengan tangisan yang semakin kencang.

"Jangan nangis, Nak. Kalau Adel nangis, nanti Ayah ikutan nangis. Kalau Adel tersenyum, Ayah ikut tersenyum," ucap Ayah Adel dengan bernada sangat rendah, "Adel mau Ayah nangis?"

Adel mengusap lembut kedua pipinya yang telah dibanjiri oleh air mata. Ia berusaha sekeras mungkin agar tidak lagi mengeluarkan cairan bening dari matanya.

"Ayah, Adel butuh Ayah. Adel sayang Ayah. Adel kangen Ayah. Adel cinta Ayah. Adel ingin didekat Ayah. Adel belum siap kehilangan Ayah. Adel ingin bertemu Ayah." Tangisan Adel kini tak bisa dibendung lagi. Ia menangis sesenggukan di atas tempat tidurnya.

Ayah Adel mengelus-elus rambut kepala Adel dengan sangat lembut. Adel pun merasa tenang dan menikmati setiap belaian dari Ayahnya itu.

"Jika aku nanti bertemu sama orang yang telah membuat Ayah tiada, aku akan membuat hidupnya menderita sama seperti apa yang aku rasakan sekarang," geram Adel dipelukan Ayahnya.

"Adel," panggil Ayahnya.

"Iya, Yah?"

"Kamu mau jadi orang pendendam?" tanya Ayah Adel dengan tersenyum ke arah anaknya tersebut. "Kayaknya Ayah gak pernah ngajarin Adel jadi orang pendendam seperti itu."

"Ayah memang gak pernah ngajarin Adel, Adel cuma ingin orang yang buat kaluarga kita menderita, bisa merasakan kesulitan hidup yang kita rasakan juga," jelas Adel yang masih mendekap di pelukan Ayahnya.

Ayah Adel hanya diam mendengar penuturan anak sulungnya tersebut.

"Adel, dengerin Ayah. Jikalau nanti kamu bertemu dengan orang yang sudah membuat keluarga kita menderita, jangan Sekali-kali kamu berpikiran untuk balas dendam. Kamu boleh benci, tapi jangan untuk dendam. Mungkin, mereka punya alasan tersendiri membawa lari uang ayah. Mereka juga manusia yang pasti mempunyai kesalahan. Ingat, Nak. Jangan dendam." Tangan Ayah Adel mulai berhenti mengelus rambutnya.

Adel yang awalnya terisak, kini diam tak berkutik. Ia bangga punya Ayah seperti itu. Yang tak pernah benci kepada siapapun, padahal orang itu telah membuatnya tiada. Ayah yang selalu menebar kebaikan tanpa mau mengharap balasan.

Mahkota Impian Santri ✓[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang