Happy reading 💞
Jangan lupa vote dan komennya.•
•
•Apakah melupakan senada dengan meninggalkan?
•••
Kegiatan belajar mengajar MA Ar-rohman telah masuk seperti biasanya. Berbagai kegiatan seperti ekstra, organisasi, atau olahraga sudah kembali efektif seperti semula. Penghuni kantin pun juga sudah menyamankan dirinya dengan menyilangkan kakinya di kursi bangku kantin.
Walaupun segalanya sudah tampak normal, tapi tetap tidak berlaku untuk merekatkan kembali hati Adel yang telah retak. Hatinya begitu rapuh dan terluka. Segalanya terasa hambar di matanya. Tak ada rasa asin, manis, asam, dan pahit yang melengkapi kehidupan masa SMAnya saat ini.
Ia terlamun dalam untaian kata dari sebuah novel yang sedang dibacanya di perpustakaan sekolah. Fokusnya teralih menuju masa lalu yang awalnya berwarna bagai pelangi hingga gelap seperti malam. Ia berusaha sekeras mungkin untuk mencoba memfokuskan pikirannya pada novel yang ada di depannya, tapi hasilnya nihil. Rengkuhan emosi yang ada di dadanya menguap dengan tak sopannya. Jiwanya terlilit kebencian yang mengobar dengan panasnya saat mengingat sebuah nama, yaitu Riski.
"Adel," lirih seorang laki-laki dengan sangat pelan.
Adel tidak langsung menoleh ke arah lelaki tersebut. Dia menghembuskan nafas kasar terlebih dahulu untuk meredam kembali emosinya yang tadi sedang memuncak. Setelah menetralkan egonya, dia mendongakkan kepalanya. Setelah itu, ia mengepalkan kedua tangannya dengan sangat kuat.
Adel beranjak dari duduknya dan langsung berjalan cepat tanpa sedikitpun melirik wajah laki-laki tersebut. Mengingat namanya saja sudah membuatnya muak, apalagi melihat dengan jelas lekuk wajahnya. Ia lebih memilih pergi saja karena dia tidak ingin kesabarannya terkuras dengan lelaki tak punya hati itu.
Terdengar teriakan Riski yang menggema memanggil nama Adel di perpustakaan. Sedangkan orang yang dipanggilnya, hanya melenggang pergi tanpa ba bi bu. Riski berusaha mengejar wanita tersebut, tapi jiwanya seakan menolak untuk menggerakkan kakinya untuk melangkah. Dia pun berdiri diam di ambang pintu perpustakaan dengan raut yang sesal.
"Adel udah tahu semuanya ya? Adakah kesempatan untuk gue buat mengungkap kebenaran? Atau–salah paham ini akan berlanjut hingga waktu yang entah sampai kapan," cecar Riski dengan menatap Adel yang semakin menjauh dari pandangannya.
♥♥♥
"Adel, mau bantu Mbak Silfa nyuci, gak?" ajak Mbak Silfa pada Adel yang sedang termenung.
"Mau, Mbak. Emang cuciannya masih banyak?"
"Tadi Mbak udah nyuci dua ember. Dan ini masih satu ember. Nih punggung rasanya udah ada tanda-tanda encok," celetuk Mbak Silfa yang berhasil membuat bibir Adel sedikit melengkungkan senyuman.
Adel melipat lengan bajunya hingga sampai siku lalu mengambil alih pekerjaan Mbak Silfa dengan senang hati.
Sekarang, ia lebih sering di kamar Mbak Silfa daripada di kamarnya sendiri. Dia tidak ingin terus menerus mengingat sosok Ratna yang selalu terngiang di memorinya. Ia tak lagi ingin tinggal di dalam keterpurukan hanya karena kehilangan seorang teman. Toh dia masih punya teman sejati yang selalu menemaninya di kala kesulitan atau bahagia, menangis atau tertawa, diam atau berbicara. Dialah Allah SWT.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahkota Impian Santri ✓[END]
Teen Fiction"Maksud kamu apa megangin hijabku?" ketus Adel tanpa menoleh ke arah Riski. "Lo ngapain pindah pondok?" tanya Riski keluar dari topik. "Bukan urusan kamu!" "Lo pindah pondok mana?" Riski tetap menanyakan hal yang sama walaupun tidak mendapatkan ja...