024

10.8K 1.7K 74
                                    

Aku menghela napas gusar sambil lagi-lagi melirik kursi Nona yang kosong. Gadis itu sudah dua hari absen kelas, tanpa keterangan.

Sudah berkali-kali Deka dan Okta aku tanyakan tentang Nona, mereka menggeleng tidak tau. Mereka berdua hanya meyakinkan jika Nona baik-baik saja, hanya sedang malas sekolah. Jawaban yang sama ketika aku bertanya kepada Nona melalui pesan pribadi.

Jika hari ini Nona tetap tidak masuk, aku akan menarik paksa Okta dan Deka untuk mengantarku ke rumah Nona. Jika perlu kuseret keduanya.

Hepta menghampiri mejaku, wajahnya sama lesunya dengan wajahku. Bibirnya tertekuk, mungkin juga efek Penta yang akhir-akhir ini sibuk sekali di organisasinya.

"Nanti kasih Nona satu, kalo ngga masuk juga buat lo dua-duanya."

Aku menatap dua plastik bening yang menampilkan kue kering buatan Hepta dengan pita berwarna kuning mengikat ujungnya.

"Kenapa ngga kasih sendiri?" Tanyaku penasaran.

Hepta memegang perutnya, wajahnya sedikit pucat. "Mau ke UKS, lagi dapet."

Aku menawarkan diri untuk mengantarnya, tapi Hepta cepat-cepat menggeleng bilang sebentar lagi bel masuk berbunyi—waktunya tidak cukup banyak.

Benar saja, saat tubuh Hepta hilang dari bingkai pintu, 2 menit kemudian bel berbunyi kencang.

Wanita paruh baya berbadan gempal memasuki ruangan, membuka buku absen siap menyebutkan nama kami satu persatu.

Tok tok tok!

Pintu diketuk perlahan.

"Maaf Bu saya telat."

Guru itu mengangguk, memerintahkan langsung duduk.

Aku mendelik dengan tidak sabar menarik sweeter Nona agar duduk denganku di belakang, membiarkan Okta duduk sendirian.

"Kemana aja? Lo sakit? Chat gue ngga pernah dibales." Sambarku dengan suara riuh

Nona terkekeh, tangannya mengambil kue dari Hepta. Aku bilang itu untuknya, Hepta yang buat.

"Sibuk gue biasa. Sampe ngga sempet liat hp." Jawab Nona dengan santai. Dia sudah sibuk menguyah kue kue kecil itu, manis.

"Kenapa pake seragam panjang?" Tanyaku penasaran, Nona paling malas menggunakan seragam panjang ini, tapi gadis ini sekarang memakainya.

Sekolah kami memiliki dua jenis seragam, seragam lengan panjang dan lengan pendek. Tidak ada peraturan khusus ingin mengenakan yang mana. Hanya rompi luar dengan potongan lengan sebahu yang selalu wajib digunakan.

"Penasaran aja pengen nyoba, ternyata lucu. Kiyowo! " Nona tersenyum lebar dengan mata dikedip-kedipkan, kedua tangannya membentuk kuncup memegang dagu.

"Tumben pake bedak." Aku memegang pelan pipi Nona.

Aku terkejut, Nona sedikit meringis saat aku menekan pipinya—apakah sakit? Tapi kemudian dia tertawa, kali ini cukup kencang untuk sampai di telinga murid yang lain.

"NONA! EL! KALO MAU BERBICARA SILAKAN KELUAR! JANGAN DI JAM SAYA."

Aku meringis, dengan cepat mengatupkan bibirku rapat-rapat. Terciduk.

Nona menatapku sambil berbisik. "Tumben banget cewek dingin yang satu ini bawel."

Aku mendengus sebal saat Nona sudah mulai menarik-narik pipiku. Tapi memutuskan diam tida bertanya lagi. Sekali lagi kami ketahuan berisik, pasti guru itu melempar kami keluar dari kelasnya.

"Psst psstt!"

Apa? Jawabku dengan membuka bibir tanpa bersuara.

Gue makan ya bagian lo ya. Nona menidurkan kepalanya dan menunjuk kue bagianku, dia bertanya tanpa bersuara.

bukan GADIS TANPA PERAN [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang